Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kontroversi Pembatasan Kuota Mahasiswa Indonesia ke Al-Azhar Mesir
perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan perlu diapresiasi. Tetapi, sebagai orang yang belajar sedikit organisasi.
Editor: Husein Sanusi
Kontroversi Pembatasan Kuota Mahasiswa Indonesia ke Al-Azhar Mesir
(Tanggapan Serius untuk Sekjen IKANU Mesir, Gus Anis Masduki)
Oleh: Moh. Hadi Bakri Raharjo, Lc.*
TRIBUNNEWS.COM - Minggu 16 Mei 2021, website ikanumesir.id mengeluarkan rilis berupa statement bahwa pembatasan kuota mahasiswa Indonesia ke Al-Azhar Mesir oleh Kemenag dinilai sudah tepat. Pendapat ini disampaikan oleh Sekjen IKANU Mesir, Gus Anis Masduki. Sementara itu, pendapat Gus Anis bersebarangan dengan berita sebelumnya, yang disampaikan oleh PLPA (Pengelola Lembaga Pesantren Alumni Al-Azhar), yang diturunkan oleh tribunnews.com, Sabtu 15 Mei 2021.
Gus Anis mengatakan, pembatasan kuota tersebut sudah tepat dengan tujuan menaikkan standar kompetensi keilmuan, menguji komitmen wawasan kebangsaan, serta nilai-nilai Islam Moderat yang menjadi visi-misi Al-Azhar itu sendiri. Selain itu, selama ini banyak calon mahasiswa yang berangkat ke Mesir tidak belajar moderatisme Al-Azhar, dan pulang ke Tanah Air membawa doktrin yang kontradiktif dengan nilai-nilai kebangsaan.
Gus Anis pun menambahkan, banyak mahasiswa Al-Azhar asal Indonesia yang mengalami disorientasi selama di Mesir, tidak memiliki komitmen belajar dan lebih memilih menjadi tenaga kerja. Semua alasan empiris ini layak digunakan untuk mengapresiasi kebijakan pembatasan kuota oleh Kemenag RI (ikanumesir.id, 16 Mei 2021).
Sementara KH. Didik L. Hariri (Sekjen PLPA) mengatakan, “Kami meminta agar Kemenag tidak membatasi kuota santri/calon mahasiswa Indonesia yang berminat kuliah studi khazanah Islam di Al-Azhar. Karena secara prinsip bagi yang biaya mandiri, Al-Azhar sendiri tidak membatasi, tetapi hanya memberi standarisasi bahasa Arab. Maka dari sini, justru Kemenag harus mendorong sebanyak mungkin santri di Indonesia untuk belajar di Al-Azhar, serta turut memfasilitasi program peningkatan bahasa itu.” tuturnya. (tribunnews.com, 15 Mei 2021).
Karena itu, Sekjen PLPA dengan banyak pertimbangan, salah satunya adalah amanah dari Al-Azhar yang membuka secara luas bagi siapa saja yang hendak belajar, dengan catatan sudah sesuai standart martikulasi kelas bahasa, maka dengan tegas mengkritik siapa saja yang ingin menghalangi amanah Al-Azhar tersebut, termasuk keputusan Kemenag RI yang membatasi kuota bagi Camaba ke Al-Azhar.
Sekjen PLPA juga menolak difungsikannya Markaz Lughoh Syekh Zayed Cabang Indonesia, yang bernama PUSIBA (Pusat Studi Islam dan Bahasa Arab), hanya diperuntukkan bagi yang lulus seleksi Kemenag, baik yang beasiswa maupun non beasiswa. PLPA berharap Kemenag masih memberi kesempatan bagi Camaba yang tidak lulus agar tetap bisa diterima belajar di PUSIBA demi penyesuaian matrikulasi.
Sebenarnya, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan perlu diapresiasi. Tetapi, sebagai orang yang belajar sedikit organisasi dan kebetulan ada di group WhatsApp kedua lembaga ini, penulis menemukan kejanggalan. Sebagai perbandingan, PLPA sebelum memutuskan sikap di media massa telah mengikuti langkah-langkah keorganisasian, misalnya dengan melakukan jajak pendapat, lalu disepakati bersama (sebelum KH. Didik L. Hariri selaku Sekjen PLPA melakukan Press Release).
Sementara proses yang sedemikian rumit dan tertib itu belum ditemukan pada IKANU. Sebagai junior yang masih butuh banyak bimbingan dalam belajar ini, penulis menduga-duga bahwa statement Gus Anis Masduki hanyalah pandangan pribadi (karena sebelumnya belum pernah dibahas di grup WhatsApp). Maka tak berlebihan jika beliau dianggap sedang mencari panggung dengan mengatasnamakan IKANU Mesir (?). Karena, bukankah bagi ASN di daerah, sudah menjadi rahasia umum menginginkan posisi di pusat? Tetapi, dugaan penulis ini butuh tabayyun dari Gus Anis, mengingat tabayyun adalah bagian dari ajaran Islam.
Maaf beribu maaf apabila penulis menyematkan diksi yang sedikit sarkas: "mencari panggung." Sebab, posisi Gus Anis adalah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenag. Sudah sangat wajar apabila penulis sebagai orang yang tidak begitu mengenal secara dekat untuk menduga-duga maksud dan tujuan di balik statement yang mengatasnamakan IKANU Mesir.
Atas tuduhan adanya Camaba yang tidak moderat alias radikalis sebagaimana disampaikan Gus Anis, benarkah? Apa ukuran dan variabelnya? Apabila tuduhan radikalis ini tuduhan serius, apa dia bisa membuktikan? Jangan sampai cara berpikir negatif ini jadi dasar menghalangi dan memakan korban Camaba. Lalu setelah dibatasi oleh Kemenag apakah ada jaminan bahwa mereka ini sekarang atau kelak tidak radikalis? Di sinilah perlunya kita berlaku bijak, sekaligus percaya bahwa Al-Azhar mampu mencetak kader-kader terbaik yang Wasatiyah, dan itu sudah terbukti berabad-abad.
Alasan lain yang sedikit kami sesalkan, sebagai seorang Sekjen IKANU Mesir, Gus Anis sama sekali tidak menunjukan etika yang pantas kepada salah seorang seniornya, yaitu KH. Didik L. Hariri. Gus Anis menyebut Kiai Didik belum sepadan/selevel dengan dirinya (?). Ini sungguh amat kami sesalkan. Sebab bagaimana pun, akhlak adalah nomor satu di atas ilmu.