Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pinangki, Dewi Keadilan pun Membuka Matanya Untukmu!
Pinangki adalah terpidana kasus penerimaan suap dari Djoko Soegiarto Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung.
Editor: Hasanudin Aco
Kasasi, hukuman Angie malah ditambah 8 tahun, dari 4 tahun menjadi 12 tahun.
Di tingkat PK, hukuman Angie dikurangi “hanya” 2 tahun, menjadi 12 tahun penjara. Di depan Angie, Dewi Keadilan ternyata tak mau membuka matanya.
Padahal, saat itu Angie juga punya anak balita, Keanu Massaid, buah pernikannya dengan Adjie Massaid, yang dilahirkan tahun 2009.
Mantan Bupati Bekasi, Jawa Barat, Neneng Hassanah Yasin, yang terjerat kasus korupsi perizinan proyek pembangunan Meikarta, juga tak mendapat “berkah” yang sama seperti Pinangki. Pun Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; Siti Masitha, mantan Walikota Tegal, Jawa Tengah; Atty Suharti, mantan Walikota Cimahi, Jabar; Sri Hartini, mantan Bupati Klaten, Jateng, Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, dan Vonnie Anneke Panambunan, mantan Bupati Minahasa Utara, Sulut.
Mengapa Dewi Keadilan tak mau membuka matanya buat mereka?
Hukuman Ringan
Padahal, hukuman bagi koruptor di Indonesia rata-rata terbilang ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama 4 tahun terakhir sejak 2016 hukuman koruptor rata-rata ringan atau di bawah 4 tahun.
Bahkan selama 2020, hukuman koruptor rata-rata 3 tahun 1 bulan penjara. Dikurangi remisi setiap hari raya dan 17 Agustus, hukuman yang mereka jalani sungguh singkat.
Apakah jaksa akan mengajukan kasasi atas "mutilasi" hukuman Pinangki? Mungkin akan pikir-pikir dulu. Sebab di tingkat kasasi pun MA kerap memberikan diskon hukuman.
Apalagi setelah Artidjo Alkostar sudah tidak di MA. Jangan-jangan justru Pinamgki yang akan mengajukan kasasi supaya bebas.
ICW mencatat, sepanjang 2020, MA telah mengurangi hukuman 8 koruptor. Termasuk Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi terpidana korupsi proyek Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olah Raga.
Hukuman Anas dikorting 6 tahun, dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Tujuh koruptor lainnya yang dipotong masa hukumannya oleh MA adalah mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, mantan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi, Sri Wahyumi Maria Manalip, mantan Walikota Cilegon, Banten, Tubagus Iman Aryadi, mantan anggota DPR RI Musa Zainudin, serta dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
Sebelumnya, MA juga telah memberikan diskon gede-gedean hukuman koruptor, seperti Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, Samsu Umar Abdul Samiun, Billy Sindoro, Hadi Setiawan, OC Kaligis, Irman Gusman, Helpendi, Sanusi, Tarmizi, Patrialis Akbar, Tamin Sukardi, Suroso Atmomartoyo, Badaruddin Bachsin, Adriatma Dwi Putra, dan Asrun.
Hakim, jika ditanya mengapa menjatuhkan vonis ringan, tentu jawabnya sudah sesuai dengan undang-undang, dan juga dengan hati nuraninya. Nah, hati nurani inilah yang parameternya subyektif. Mengapa Dewi Keadilan tidak hadir di hati para hakim itu? Ataukah memang hadir, tapi Dewi Keadilan sudah membuka matanya?
Hakim juga berlindung di balik independensi profesinya, sesuai amanat undang-undang. Kekuasaan kehakiman adalah merdeka dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Bahkan hakim diasumsikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Sebab itu, keputusan hakim selalui didahului dengan frasa, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayangnya, tak sedikit hakim yang kemudian tertangkap basah menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah hati nurani mereka sudah tertutup seperti mata Dewi Keadilan?
Lalu, di mana independensi mereka kalau masih terpengaruh oleh kekuasaan uang? Apakah mereka dalam menjatuhkan vonis didahului frasa, “Demi keadilan berdasarkan keuangan yang maha kuasa”? Wallahu a’lam.
* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media, tinggal di Jakarta.