Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berkat di Balik Kritikan Duo Elite Demokrat dan PPKM Darurat
SEJAK BEM UI mengunggah serangkaian tweet yang populer disebut "The King Of Lip Service", masalah kritikan terhadap Jokowi terus bergulir.
Editor: Sri Juliati
Oleh: Xavier Quentin Pranata
SEJAK BEM UI mengunggah serangkaian tweet yang populer disebut "The King Of Lip Service", masalah kritikan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus bergulir, meskipun Jokowi sendiri sudah melakukan konferensi pers dan menyatakan dirinya sudah biasa dikritik. Ma'ruf Amin pun dijuluki "The King of Silent" oleh BEM Unnes. Pro kontra terus ramai khususnya di jagat medsos, khususnya kinerja pemerintah dalam mengatasi pandami.
Duo elite Partai Demokrat—AHY-Ibas—yang menyatakan Indonesia terancam menjadi failed nation langsung disambar Jokowi Mania sebagai upaya cari panggung dengan terus-meneruskan memainkan narasi lama. Di tengah hiruk pikuk ini masih banyak yang membuat kegaduhan di medsos.
Seorang ibu yang makan di restoran bebek menyatakan, tidak perlu takut Covid sambil menunjukkan orang-orang yang makan tanpa menjaga jarak. Seorang dokter bernama Lois menjadi tersangka karena tidak percaya adanya Covid-19. Bukan hanya itu, yang membuat kita mengelus dada, masih ada saja tokoh masyarakat bahkan rohaniwan yang menentang penutupan rumah ibadah, meskipun sifatnya hanya sementara.
Ibarat batu kecil yang menggelinding, kalau dibiarkan akan membesar dan akhirnya memporak-porandakan rumah besar kita bernama Indonesia. Saat mengikuti kegaduhan dan saling serang antara pendukung dan penentang pemerintah, saya menemukan adanya 'blessing in disguise' saat saya merenungkan berbagai peristiwa ini di pagi hari saat hati masih bening. Apa manfaat yang bisa kita dapat di tengah kubu-kubu yang saling menyengat ini?
Mengendapkan Air Keruh
Saat berbaring dan tidak bisa tidur, pikiran saya terus-menerus merenungkan keriuhan ini. Setelah hampir tidur, kolam pemikiran saya yang tadinya jenuh dan keruh tiba-tiba menjadi bening dan jernih, sehingga saya bisa melihat isi kolam dan melihatnya dari kacamata baru.
Sekilas apa yang terjadi di media massa arus utama atau—ini yang lebih ramai—di jagat media sosial tampaknya terjadi polarisasi antara pendukung dan pembenci pemerintah yang tokoh sentralnya Jokowi. Kalangan pendukung mempunyai dua cabang, yaitu yang mendukung Jokowi karena kinerjanya.
Survey SMRC yang dimuat di media online pada Kamis, 1 April 2021 menunjukkan, kepuasan terhadap kinerja Jokowi naik menjadi 77 persen. Jadi dukungan mereka riil karena berdasarkan data. Bagi pendukung yang fanatik, kaum oposisi menyebutnya buzzeRp, artinya para pendengung yang membela, bahkan menyengat, para penentang karena dibayar.
Sebaliknya, kelompok oposisi pun mempunyai dua aliran besar. Pertama, mereka yang mengambil sikap oposisi sebagai 'check and balance' di alam demokrasi. Artinya, mereka mengkritisi apa yang diperbuat Jokowi sehingga bisa mendukung saat sudah on the track atau sebaiknya menegur saat terjadi penyimpangan atau out of the track.
Kedua, ada haters yang pada dasarnya memang tidak suka Jokowi. Ini pun hal yang wajar karena siapa pun yang bermain di media sosial di samping memiliki fans selalu memiliki haters.
Jeffree Star mengatakan, "Haters are just confused admirers because they can't figure out the reason why everyone love you." YouTuber yang multi-talented ini bisa menganalisa haters dan admirers dengan cara yang cerdas dan menggelitik. Bagi saya, haters bisa menjadi admirers. Demikian juga sebaliknya. Mengapa? Karena mereka menjadi haters dan fans bisa jadi karena belum paham the whole story. Half truth memang berbahaya.
Two selves in haters
Jika kita melongok ke rumah jiwa para haters, ada dua self yang menjadi penghuninya.
Pertama, self-pity. Kita sering mendengar ungkapan playing victim. Orang semacam ini justru menjadikan 'kekalahannya' sebagai upaya untuk menarik simpati orang banyak. Bukankah korban biasanya mendapat simpati kita dalam berbagai bentuk? Kalau dia benar-benar jadi korban, masyarakat luas pasti dengan senang hati membantunya agar keluar dari lumpur keterpurukan itu.
Sebaliknya, jika dia menggunakan kelemahannya agar dikasihani, cepat atau lambat akan ketahuan sehingga rasa simpati bisa berubah menjadi antipati. Apalagi kalau motivasinya dendam masa lalu.
Kedua, self-elevated. Ada orang-orang yang playing God. Dia merasa bahkan memposisikan dirinya sebagai 'Tuhan' sehingga suaranya atau tindakannya dianggap—lebih tepatnya dia sendiri yang menganggap—mewakili Tuhan. Bisa jadi dia merasa sebagai jubir Tuhan.
Siapa yang mengangkatnya? Dirinya sendiri! Orang semacam ini gampang sekali menyalahkan orang lain dan kebijakan yang dibuatnya serta menganggapnya menyimpang. Tidak jarang mereka melontarkan kata ‘sesat’ sehingga perlu 'dilaknat'.
Three selves in us
Di dalam diri kita ada tiga self yang perlu kita sadari. Pertama, selfish yang diterjemahkan 'lacking consideration of others'. Sederhananya, yang penting aku. Tidak peduli orang lain. Asal aku senang dan mendapatkan manfaat, apa perlunya memikirkan orang lain. Sifat ini dibawa sejak kita dilahirkan sampai usia anak-anak sehingga seringkali disebut child self. Karena merasa tidak berdaya, maka naluri untuk melindungi diri sendiri dan apa yang kita punyai membuat kita selfish.
Ingat bagaimana anak-anak kita berebut mainan meskipun sebelumnya tidak mereka pakai? Namun begitu ada anak lain yang mau memainkannya, dia langsung merebut dan mempertahankannya mati-matian, seringkali dengan minta tolong ke orang lain. Saat menghadapi bahaya, child self ini memiliki dua opsi: fight or flight.
Orang-orang yang menjadi korban kebijakan Jokowi—kehilangan posisi yang berakibat langsung terhadap income—ada yang mengadopsi sikap ini dan meradang. Jika tidak terkendali, timbul defense mechanism dalam berbagai bentuknya: menyerang secara frontal sampai menyebarkan hoaks yang pada intinya memburukkan nama Jokowi atau lari sebentar untuk mengumpulkan kekuatan dan menyerang balik saat lawannya di posisi genting atau lemah.
Saat ini, pemerintah berjibaku habis-habisan untuk mengatasi pandemi. Fokus ke arah penyakit global inilah yang membuat pemerintah lemah dan rentan diserang.
Kedua, self-righteousness, yaitu orang yang merasa dirinya benar sendiri, sehingga bisa juga disebut sanctimoniousness yang gampangnya disebut kesalahen yang munafik. Orang semacam ini selalu memandang orang lain kurang/tidak benar dibandingkan dirinya sendiri tanpa pernah bercermin.
Inilah perkembangan dari child self yang terancam sehingga memunculkan our own defender. Pengaruh latar belakang pengasuhan dan pendidikan ini membuat pertahanannya bisa baik bisa ngawur.
Karena merasa benar sendiri, maka dia pun melakukan apa yang benar menurut pendapatnya sendiri sedangkan pendapat orang lain pasti salah. Kalau dipelihara, hal ini bisa menjadikannya punya prinsip ‘pokoknya’. Pokoknya pendapatku begini, pendapatmu terserah.
Ketiga, self-awareness yang akhirnya menuju self-evaluation. Kesadaran bahwa dirinya sendiri tidak sempurna membawanya kepada evaluasi diri. Di tingkat inilah kematangan jiwa terjadi. Kita bisa menyebutnya adult self. Orang dewasa yang sungguh-sungguh matang jiwanya, tidak reaktif, melainkan antisipatif dan proaktif. Kalaupun ada masalah yang mengancam, dia mempertimbangkan banyak aspek sebelum memilih untuk bertahan, menyerang atau berdamai.
Jeda Menulis
Bagaimana sikap kita terhadap peperangan di dunia maya—yang kalau dibiarkan—bisa menjadi adu fisik sampai perang saudara beneran? Kita perlu menarik diri dari hiruk pikuk pro kontra ini agar bisa melakukan me time. Di saat teduh pribadi inilah air kolam di bejana jiwa kita menjadi tenang sehingga permukaannya bisa kita jadikan cermin.
Saat menyaksikan tayangan YouTube 'Jeda Nulis' dari Habib Husein Ja'far Al Hadar bersama Pendeta Yerry Pattinasarany, saya merasakan kesejukan air kolam yang teduh. Dalam salah satu episodenya yang berjudul 'Kenapa & Bagaimana Kita Bersama Meski Tak Sama?" saya merasakan dua tokoh agama ini benar-benar menjiwai dialog persaudaraan yang kental. Mereka menyebutnya "Inilah Cerita Kebersamaan Kita".
Menurut pengakuan keduanya yang dikemas seperti podcast, mereka bisa mengobrolkan hal serius—seperti konflik Palestina-Israel—dengan keterbukaan dan keteduhan. Tawa renyah dan meriah membuat tayangan mereka enak dinikmati dan perlu.
Kebersamaan mereka bukan hanya untuk tayangan YouTube, melainkan mereka praktikkan dalam keseharian. Menurut Habib Jafar dan Pendeta Yerry, mereka saling berkunjung, bahkan saling memberi saat upacara keagamaan masing-masing baik Idul Adha maupun Natal. Saat Natal, Habib Jafar memberi hadiah kepada Pendeta Yerry. Sebaliknya, saat Idul Adha yang sebentar lagi dirayakan, Pendeta Yerry menyumbang hewan korban. Berbagi hadiah itu memang indah, apalagi berbagi berkah.
Blessing in Disguise
Apa berkat tersembunyi dari kegaduhan dan kritikan terhadap pemerintah, khususnya di saat PPKM darurat? Saya percaya, Jokowi maupun Ma'ruf Amin bukah hanya mengikuti semua kritikan yang ditujukan kepada mereka, tetapi juga merenungkannya. Setiap kita pasti merasakan sakit—entah seperti tikaman pedang atau gigitan semut—saat mendapatkan kritikan terbuka semacam ini.
Jika kita impulsif dan emosional, kita bakal meradang, mencabut pedang dan menabung genderang perang. Child self kita muncul diiringi defender yang reaktif. Sebaliknya, jika kita bisa menahan diri, seperti Jokowi dan Ma’ruf Amin, bisa menanggapinya dengan senyuman arif.
Berbagai kritikan ini bisa kita analogikan sebagai rasa tidak nyaman di tubuh kita yang membuat kita perlu kontrol ke dokter atau bahkan melakukan general check up. Bisa jadi, meskipun tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi tinggi, tetap saja ada yang merasa tidak merasakan hal itu.
PPKM darurat yang dianggap ampuh mencegah penularan varian Delta lebih jauh dan lebih luas di sisi lain juga mematikan usaha rakyat kecil. Di sinilah Jokowi diharapkan mampu mengendarai mobil bernama Indonesia ini sehingga tahu kapan menginjak rem dan kapan menginjak gas agar Indonesia tidak menjadi failed nation.
Evaluasi diri dan kinerja tidak harus menunggu sampai 'tutup buku', melainkan bisa dilakukan sewaktu-waktu. Bisa jadi pemerintah kurang mengkomunikasikan kebijakannya dengan baik sehingga rawan disalahartikan atau bisa jadi memang tidak dipahami sekelompok orang. Seberapa besar atau seberapa kecil rasa sakit itu, kalau demam, kita memang perlu rehat sejenak untuk melihat ke dalam.
Sebagai saudara sebangsa, alangkah eloknya jika persahabatan Habib Jafar dan Pendeta Yerry kita jadikan teladan dalam mensikapi perbedaan. Bukankah bangsa kita dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah satu terhadap yang lain? Masa dengan saudara sendiri kita sering ribut? Mari kita sudahi ‘perang’ ini. Sudah saatnya kita move on dan fokus pada musuh bersama bernama korona yang semakin menggila! (*)
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.