Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menguji Dasar Vonis Bersalah Rizieq Shihab
Hakim tidak terdorong untuk mengeksplorasi variabel lain yang boleh jadi punya bobot lebih menentukan terhadap kenaikan positivity rate di Jakarta.
Editor: Setya Krisna Sumarga
OLEH : REZA INDRAGIRI AMRIEL, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
PROSES hukum Habib Rizieq Shihab masih terus berjalan dan suhunya kian panas. Jaksa mengajukan banding atas putusan hakim di peradilan tingkat pertama.
Dalam kasus kerumunan Megamendung, hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada Habib Rizieq Shihab (HRS).
HRS dinyatakan hakim telah menciptakan kerumunan (hasil acara Maulid Nabi yang dirangkai acara pernikahan) yang kemudian menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Untuk menopang putusannya itu, hakim antara lain berlandaskan pada dua teori. Pertama, teori conditio sine qua non.
Suatu perbuatan haruslah dianggap sebagai sebab dari suatu akibat, apabila perbuatan itu tidak dapat ditiadakan untuk timbulnya akibat itu maka perbuatan itu adalah sebab.
Baca juga: Kubu Rizieq Shihab Serahkan Kontra Memori Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Semua syarat yang turut menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat ditiadakan dalam rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap sebab (causa) dari akibat itu.
Kedua, teori adequate, yakni antara rangkaian peristiwa yang mendahului akibat tersebut adalah yang dekat/sepadan dengan timbulnya yang dilarang.
Demikian redaksional utuh kedua teori tersebut yang saya kutip dari halaman 358 Putusan Nomor 221/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim.
Penggunaan dua teori hukum, seperti yang dicuplik oleh hakim, menarik disorot. Keduanya tampaknya tidak menyediakan dasar pembuatan simpulan yang absolut ketika diterapkan dalam perkara HRS.
Saya mengajukan dua argumentasi untuk menyatakan hal tersebut: metode ilmiah dan studi tentang kerumunan.
Pertama, dari sisi metode ilmiah. Dalam kejahatan, pelaku adalah pihak yang menjadikan pihak lain sebagai korbannya.
Harus bisa dipastikan bahwa individu tertentu telah melakukan perbuatan tertentu dan perbuatan itu mengena ke individu tertentu lainnya. Tidak bisa hanya berdasarkan asumsi.
Sementara dalam situasi pandemi, siapakah sesungguhnya individu yang telah menyebarkan virus dan siapa pula individu yang terjangkiti virus tersebut, tidak dibuktikan dalam persidangan HRS.
Dalam kerumunan di Petamburan dan Megamendung, misalnya, siapakah hadirin yang di tubuhnya telah terdapat virus Corona dan menyebarkannya ke orang-orang yang juga berada di situ.
Juga, siapakah hadirin yang semula bersih dari virus Corona namun kemudian tertular virus yang bermigrasi di tengah-tengah kerumunan tersebut.
Para pihak di ruang persidangan tidak melakukan pelacakan (tracing) tentang penularan virus Corona yang bertitik mula dari Petamburan.
Sehingga, tidak bisa dipastikan, melainkan sebatas dugaan, bahwa kerumunan Petamburan adalah episentrum bagi kenaikan positivity rate di Jakarta.
Virus Corona juga membutuhkan waktu hingga kemudian tampak gejalanya di tubuh orang yang menjadi inangnya.
Tidak serta-merta orang yang datang ke acara HRS di Petamburan akan seketika itu pula memperlihatkan tanda bahwa ia mengidap Covid-19.
Padahal, dalam rentang waktu antara acara di Petamburan (diasumsikan sebagai momen penyebaran virus) dan meningkatnya positivity rate di Jakarta.
Warga Jakarta, termasuk mereka yang datang ke acara HRS di Petamburan, bisa dipastikan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang bisa saja menjadi sumber penyebaran virus.
Dengan kata lain, ada terlalu banyak peristiwa atau aktivitas sisipan yang berlangsung di antara acara Petamburan dan momen kenaikan positivity rate di Jakarta secara umum.
Dalam bahasa metode penelitian, ada terlalu banyak variabel ekstrane yang menyusup lalu melemahkan simpulan bahwa pastilah variabel A yang menyebabkan variabel B.
Keberadaan variabel ekstrane yang luar biasa banyak itu dinihilkan dalam persidangan. Seolah seluruh wilayah Jakarta bisa ditutup tanpa rongga sekecil apa pun dan kegiatan warga Jakarta bisa dihentikan total.
Karena itu tiada lain kerumunan HRS-lah satu-satunya faktor (variabel sebab) yang menyebabkan naiknya positivity rate (variabel akibat) di area ibu kota.
Dari kompleksitas sebab-akibat sedemikian rupa yang tidak diuji secara empiris di persidangan, penarikan simpulan yang menyalahkan HRS adalah semata-mata berdasarkan asumsi yang dibangun dari dua teori hukum di atas.
Tak dapat dielakkan, asumsi itu terbangun dari pemikiran yang terkesan terlalu sederhana (oversimplistis) tentang sebab dan akibat.
Penarikan simpulan sedemikian rupa merupakan bentuk availability bias. Yakni, penilaian (simpulan, putusan hakim) ditegakkan berdasarkan konstruksi sebab akibat yang dihadirkan jaksa semata.
Hakim tidak terdorong untuk mengeksplorasi variabel-variabel lain yang boleh jadi punya bobot lebih menentukan terhadap kenaikan positivity rate di Jakarta.
Atas dasar itu, pertalian antara kerumunan Petamburan dan kenaikan positivity rate di Jakarta sesungguhnya sebatas bersifat korelasional belaka.
Artinya, anggaplah ada hubungan antara acara HRS dan memburuknya situasi pandemi di Jakarta. Namun hubungan itu semata-mata berupa rangkaian dua peristiwa yang waktunya berlangsung secara kronologis.
Acara HRS mendahului kedaruratan kesehatan masyarakat di DKI Jakarta. Bukan hubungan kausal, yaitu acara HRS mengakibatkan situasi darurat di Jakarta.
Mirip dengan hujan yang turun deras sesaat setelah asisten rumah tangga menjemur pakaian.
Kendati keduanya berlangsung secara berurutan dalam jarak waktu yang sangat berdekatan, sama sekali tidak dapat dikatakan turunnya hujan disebabkan aktivitas menjemur pakaian.
Keduanya memiliki hubungan korelasional, tapi bukan kausal (sebab akibat).
Kepastian dalam Kerumunan
Mengambinghitamkan kerumunan Petamburan sebagai penyebab kenaikan positivity rate di Jakarta, dan itu dijadikan sebagai dasar untuk memvonis bersalah HRS, semakin patut dipertanyakan berdasarkan argumentasi kedua: studi tentang kerumunan.
Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa, mencuplik pendapat ahli epidemiologi yang dihadirkan ke persidangan. Bahwa, dalam situasi kerumunan 'sangat mudah terjadi penularan covid-19'.
Karena pilihan kata yang digunakan adalah 'sangat mungkin', bukan 'pasti', maka hingga derajat tertentu terdapat peluang kerumunan tidak mengakibatkan penularan virus Corona.
Kemungkinan semacam itu juga terbuktikan lewat riset. Dhaval M. Dave, Andrew I. Friedson, Kyutaro Matsuzawa, Joseph J. Sabia, dan Samuel Safford (2020) meneliti dampak aksi protes besar-besaran Black Lives Matter di sekian banyak tempat di Amerika Serikat terhadap risiko pandemi.
Mereka menarik simpulan mencengangkan. Yaitu, walau dimungkinkan aksi protes mengakibatkan kenaikan penyebaran Covid-19 di kalangan warga yang mengikuti aksi tersebut, namun studi Dhaval dan timnya memperlihatkan hasil lain.
Aksi protes ternyata memberikan efek yang kecil saja bagi penyebaran Covid-19 di masyarakat selama lebih dari lima pekan sejak berlangsungnya rangkaian demonstrasi itu.
Baik Dhaval maupun saya tidak mengatakan kerumunan tidak berisiko menyebarkan Covid-19. Tapi dalam konteks perkara HRS, karena persidangan berimplikasi pada dipidananya terdakwa, maka ruang spekulasi harus ditutup rapat.
Konkretnya, harus dipastikan kerumunan Petamburan secara nyata berkontribusi bagi terjadinya situasi darurat kesehatan masyarakat di Jakarta.
Dengan kata lain, meminjam perkataan ahli epidemiologi, HRS layak dan harus dihukum hanya apabila kerumunan yang ia ciptakan bukan 'sangat mungkin'--melainkan pasti--turut mengakibatkan kenaikan positivity rate di Jakarta.
Tanpa pembuktian akan hal tersebut, maka sejauh apa sesungguhnya HRS pantas dinyatakan bersalah dan menerima hukuman penjara? (*)