Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Puja-Puji di Istana dan Kenangan Jelang Tumbangnya Orde Baru
Alhasil, saya memandang pertemuan dan pesta puja-puji di Istana itu sebagai wujud tidak proporsionalnya para elit koalisi dalam memosisikan diri.
Editor: Malvyandie Haryadi
Ataukah pertemuan penuh puja-puji di Istana merupakan tanggapan balik atas kian maraknya mural di ruang publik?
Atau jangan-jangan itu cara mengompensasikan peran buzzer yang sudah terbaca permainannya dan tak lagi efektif memengaruhi masyarakat?
Sementara pertanyaan-pertanyaan itu tak berhasil saya jawab, saya justru terkenang masa menjelang tumbangnya Orde Baru.
Sekian kelompok menemui Presiden Soeharto dan mengklaim membawa pesan rakyat bahwa rakyat menginginkan Pak Harto menjabat sebagai presiden lagi.
Angin sejuk bagi penguasa. Status quo berkelanjutan, seiring dilantiknya Pak Harto sebagai Presiden untuk periode berikutnya. Tapi angin langsung berbalik arah. Ombak tsunami menggulung, kapal penguasa pun binasa.
Lesson learned bagi kita semua: kubu status quo tidak akan pernah menang melawan kubu progresif. Mereka yang ingin memanjang-manjangkan masa kekuasaan, termasuk lewat pengunduran jadwal pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden, pada akhirnya akan ditaklukkan oleh mereka yang ingin Indonesia dipimpin oleh sosok yang lebih kompeten dan berwatak negarawan.
Parpol oposisi tinggal dua. Tapi jangan sepelekan apalagi lupakan Fraksi DPD di MPR RI.
Fraksi DPD berada pada posisi progresif dengan fatsoen politik yang berporos pada etos kenegaraan-kebangsaan, bukan kekuasaan.
Saya mengamini perkataan bijak. Bahwa, sebaik-baiknya teman adalah dia yang membawakan cermin bagimu, dan seindah-indahnya bingkisan adalah kritik yang dibingkiskan untukmu.