Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Dari Hassan Hanafi ke Pondok Pesantren Bina Insan Mulia

Almarhum Hassan Hanafi dianggap sebagai salah satu pemikir Arab kontemporer terpenting

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Dari Hassan Hanafi ke Pondok Pesantren Bina Insan Mulia
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Dari Hassan Hanafi ke Pondok Pesantren Bina Insan Mulia

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNEWS.COM - Duka cita itu begitu membaca kabar meninggalnya seorang pemikir muslim, Hassan Hanafi. Ia adalah salah satu profesor bidang filsafat, yang sempat menjadi jalur sanad keilmuan penulis, selama menempuh pendidikan di Universitas Kairo. Pada usianya yang ke-86 tahun, pemikir besar yang banyak mempengaruhi ilmuan Indonesia ini meninggalkan kita untuk selamanya.

Almarhum Hassan Hanafi dianggap sebagai salah satu pemikir Arab kontemporer terpenting. Proyek intelektualisme Arab yang digagas mengantarkannya menjadi salah satu profesor filsafat paling terkenal di Mesir. Tetapi di Indonesia, nama Hassan Hanafi setidaknya sudah populer sejak awal tahun 90-an. Sudah banyak apresiasi penerbit-penerbit buku dan ilmuan-ilmuan Indonesia yang membicarakannya.

Kita misalnya bisa belajar mengenal Hassan Hanafi dari karya-karya Ahmad Hasan Ridwan, antara lain yang berjudul Reformasi Intelektual Islam (1998), Pemikiran Hassan Hanafi (1997); dari Suyoto yang menulis Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban (1994); dan dari Kazuo Shimogaki yang menulis Kiri Islam (1993), Hassan Hanafi sudah begitu populer di Indonesia.

Ketika penulis melanjutkan pendidikan ke Al-Azhar, beberapa buku karya Hassan Hanafi yang populer antara lain "At-Turats wa al-Tajdid", "Min al-Naql ila al-Ibda'", "Mawsu'ah al-Hadharah al-Arabiyah", "Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib". Tentu masih banyak lainnya, yang belum terjangkau oleh penulis kala itu. Tetapi, bukunya berjudul “Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah” (1988) betul-betul menyita hari-hari penulis saat di Mesir.

Buku Hassan Hanafi "Min al-'Aqidah ila al-Tsaurah"ini, pada perkembangannya, menginspirasi Pondok Pesantren Bina Insan Mulia (BIMA) Cirebon. BIMA benar-benar ikhtiar kecil untuk menerjemahkan pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi, termasuk yang tertuang dalam “Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib”. Penulis rasa, santri sulit membangun percakapan yang setara antara Peradaban Timur dan Barat, tanpa terlebih dahulu mengikuti jejak Hassan Hanafi, menempuh pendidikan tingkat tinggi di Eropa.

Berita Rekomendasi

Almarhum lahir di Kairo pada tahun 1935. Ia lulus dari Fakultas Seni Jurusan Filsafat Universitas Kairo pada tahun 1956, kemudian melakukan perjalanan ke Prancis. Di Eropa, ia memperoleh gelar master dan doktor dari Universitas Sorbonne pada tahun 1966. Perjalanan karir intelektual semacam ini selalu penulis sampaikan kepada santri-santri BIMA. Mereka harus menjadi master dan doktor dari universitas-universitas terkemuka di Eropa.

Sementara, sekitar tahun 1989, almarhum Hassan Hanafi sempat bekerja sebagai konsultan untuk program penelitian ilmiah Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa Jepang. Karenanya, santri BIMA pun ada yang menapak tilas karier akademik Hassan Hanafi ini dengan melanjutkan pendidikannya ke Shizuoka Eiwa Gakuin Jepang. Semua ikhtiar untuk mengikuti jejak Hassan Hanafi, kami coba di Pondok BIMA.

Dalam pentas sejarah, kita semua mengenal salah satu murid Hassan Hanafi yang paling menonjol adalah almarhum pemikir Dr. Nasr Hamed Abu Zaid (1943-2010) dan Ali Mabrouk (1960-2016) yang menjabat Asisten Profesor, Departemen Filsafat, Fakultas Seni, Universitas Kairo. Di Indonesia, walaupun banyak ilmuan mengkaji Hassan Hanafi, tetapi sejauh ini penulis belum temukan orang yang secara terbuka berkomitmen meneruskan pemikirannya.

Untuk itulah, Pesantren Bina Insan Mulia berkomitmen untuk meneruskan visi besar Hassan Hanafi. Walaupun belum ada satupun santri BIMA yang berjumpa dengan Hassan Hanafi, tetapi persentuhan penulis dengan Hassan Hanafi selama di Mesir adalah modal awal, agar cita-cita ini terwujud dan sanad intelektualitas terus bersambung. Hari ini, Pesantren BIMA merancang 1000 sarjana, master dan doktor, lulusan luar negeri di tahun 2028 karena terinspirasi dari Hassan Hanafi.

Jejak pemikiran Hassan Hanafi patut diteruskan, karena prestasinya yang tidak diragukan. Ia sempat memenangkan sejumlah besar penghargaan, terutama penghargaan-penghargaan dari negaranya pada tahun 2009, Penghargaan Nil untuk Cabang Ilmu Sosial 2015, dan Penghargaan sebagai Pemikir Liberal dari Polandia. Secara resmi, Hassan Hanafi disambut dan diterima oleh presiden Polandia kala itu.

Liberalisme ala Hassan Hanafi diterima dengan baik di pondok pesantren Bina Insan Mulia. Misalnya, dalam “Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah”, Hassan Hanafi membayangkan pemikiran teologi yang antroposentris-transformatif. Dalam lingkungan Bina Insan Mulia, spirit santri untuk meraih gelar master dan doktor di luar tidak bisa dipisahkan dari asupan energi dari tirakat dalailul khairat, mujahadahan, Puasa Dahr, dan lainnya.

Sebab, seperti kata Hassan Hanafi, posisi agama harus tegas dan kontribusinya dalam membangun negara harus jelas. Bagaimana mungkin para santri akan dinilai mampu berkontribusi pada negara tercinta kita, Republik Indonesia, jika mereka bukan lulusan Barat (Eropa dan Amerika) atau lulusan China dan Rusia?! Sementara mayoritas bangsa kita sendiri hari ini masih terbingkai bayangan pemikiran bahwa Barat merupakan rujukan sains dan teknologi modern.

Dengan kepergian Hassan Hanafi selama-lamanya, kita tidak dapat membiarkan pergi gagasannya begitu saja. Apa yang dilakukan oleh Pondok Pesantren BIMA hanya ikhtiar kecil saja, agar agama Islam benar-benar diterjemahkan oleh umat muslim dengan baik, sehingga kontribusinya terhadap pembangunan negara-negara ketiga maupun negara berkembang seperti Indonesia, menjadi jelas dan kentara. Tentu kita tidak mau citra Islam di Indonesia ini terseret oleh wacana sebagian dai-dai selebritis, yang membuat Islam menjadi jumud, terbelakang, jadi olok-olokan saudara kita yang lintas iman. Amin.

*_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas