Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Memahami Khittah NU Secara Jernih Hasil Muktamar Situbondo dan Upaya “Penyelewengan Narasi"
Warga Nahdliyyin mendapat arahan politis praktis dari para pendahulu. Sayangnya, sebagian oknum terus-menerus berkampanye bahwa NU harus mengisolasi
Editor: Husein Sanusi
Memahami Khittah NU Secara Jernih Hasil Muktamar Situbondo dan Upaya “Penyelewengan Narasi”
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Rumusan Khittah NU hasil Keputusan Muktamar XXVII Nomor 02/MNU-NU/1984 sejatinya sangat "strategis", andai tidak disalahpahami. Warga Nahdliyyin mendapat arahan politis praktis dari para pendahulu. Sayangnya, sebagian oknum terus-menerus berkampanye bahwa NU harus mengisolasi diri dari kekuasaan dan politik praktis.
Buktinya, Putusan Muktamar 27 tahun 1984 menyediakan satu subbab khusus tentang politik dan kehidupan bernegara. Dalam keterangannya dikatakan bahwa NU secara sadar mengambil "posisi aktif" dalam proses perjuangan mencapai dan memperjuangkan kemerdekaan, serta "ikut aktif" dalam penyusunan UUD 1945. Keberadaan NU senantiasa "menyatukan diri" dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan warganya "selalu aktif" mengambil bagian dalam "pembangunan bangsa" menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT (Khittah NU dan Khidmah Nahdlatul Ulama, Pati: Majma' Buhuts An-Nahdliyah, 2014: 48-49).
Sadar dan aktif berjuang menuju masyarakat adil dan makmur adalah ciri NU yang sangat strategis, sebagai mana dianjurkan oleh Keputusan Muktamar 27 NU tahun 1984 di Situbondo. Hanya saja, kenyataan hari ini ingin menjungkirbalik NU. Ada upaya bersifat "pasif" dalam berjuang untuk menciptakan masyarakat adil makmur. Kesadaran aktif NU digerus, dikerdilkan, dibonsai, dengan cara-cara yang tidak ksatria. Ada oknum atas nama Muktamar tahun '84 mengkhianati hasil Keputusan Muktamar '84 itu sendiri.
Misalnya, NU itu punya banyak fungsi. NU dalam berjuang untuk memakmurkan masyarakat dan menegakkan keadilan adalah NU yang sedang menjalankan fungsinya sebagai organisasi kemasyarakatan. NU juga punya fungsi keagamaan yang mengusung prinsip persaudaraan, toleransi, kebersamaan, dan berdampingan dengan warga negara lain yang beda keyakinan. NU juga punya fungsi pendidikan yang bertujuan membuat warga negara sadar hak dan kewajibannya pada bangsa dan negara (hlm. 49). Ada banyak fungsi, dan satu fungsi tidak boleh meninggalkan fungsi lain, terutama fungsi politik.
Artinya, NU bisa manifes ke dalam banyak rupa yang sifatnya fungsional. Ketika NU menjalankan fungsinya sebagai ormas keagamaan, ia beda dengan saat menjalankan fungsi sosial maupun fungsi edukasi. Tiga fungsi ini (keagamaan, sosial, pendidikan) membentuk satu kesatuan sistem yang menubuh dalam diri NU. Ketika tidak memahami bahwa tiga fungsi ini berbeda walaupun saling topang-menopang maka kita juga akan gagal memahami fungsi NU yang paling sensitif, yaitu: fungsi politik.
Fungsi politik NU berbeda dari tiga fungsi sebelumnya. Dikatakan bahwa NU sebagai Jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun (hlm. 49). Hal ini sudah jelas bahwa NU tidak mau mengikat diri dengan partai politik manapun "kala itu," seperti PPP, Golkar dan PDI. Bahkan, hari ini NU juga tidak bisa berafiliasi pada tiga partai politik tersebut.
Pengalaman memisahkan diri dari partai manapun di tahun 1984 dapat dipahami sebagai puncak kekalahan NU di panggung pertarungan politik kekuasaan. Tahun 1984 adalah tahun paling luka, paling perih, paling sedih bagi NU. Demi menjaga eksistensi dan keutuhannya, NU memilih strategi memilih keluar dari parpol manapun, untuk rehat sejenak. Karena sebelumnya betul-betul dibuat seperti bola pingpong, baik oleh Partai Masyumi tahun 1952 maupun oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1982.
Dijadikan bola pingpong membuat NU kelelahan dan harus memisahkan diri dari dua parpol tersebut, Masyumi dan PPP. Namun, setelah rehat sejenak, apa yang NU lakukan? NU bangkit lagi, 17 tahun kemudian, tepatnya tahun 1998. Pada tahun 1998, tenaga baru NU bagi sudah pulih kembali.
NU memasuki era reformasi, lalu dari rahim NU lahir putra tunggalnya, yaitu PKB.
PKB sebagai bayi yang baru lahir kala itu berbeda dengan PKB yang sudah dewasa hari ini. PKB kala itu betul-betul disusui penuh oleh NU. Berbeda dengan hari ini, NU mulai setengah hati untuk PKB. Alasannya yang paling ironis adalah NU tidak berpolitik praktis, tidak berpolitik kekuasaan, tetapi sebatas politik kebangsaan dan itu berdasar Muktamar Situbondo '84.
Kalau memang benar Khittah NU dalam Muktamar 27 tahun 1984 adalah untuk melegitimasi NU tidak terjun ke politik kekuasaan, atas nama politik kebangsaan, berarti saat PKB dilahirkan tahun 1998 oleh NU, adalah bertentangan dengan hasil Muktamar 27 Situbondo 1984 ini. Apakah ada di antara kita yang mau bilang begitu? Tentu tidak. Artinya, keputusan Muktamar Situbondo bisa berjalan seiring mesra dengan pengalaman NU berpartisipasi total untuk PKB di awal kelahirannya.
Namun, keberhasilan NU-PKB semacam ini tentu tidak disukai oleh penyusup-penyusup ideologis yang berasal dari era orde baru. Mereka ingin memisahkan NU-PKB kembali, dan secara diam-diam dan tersembunyi. Karena itulah, keputusan muktamar 27 Situbondo dipakai sebagai alat untuk memisahkan NU dari PKB. Jika logika politik ini diangap kebenaran maka otomatis prestasi PKB di Pemilu tahun 1999 dengan perolehan 51 kursi, tidak bisa disebut sebagai kontribusi NU.
Hari ini kita tidak boleh terkecoh oleh oknum-oknum tertentu yang ingin membenturkan Keputusan Muktamar 27 Situbondo '84 dengan pengalaman NU bersama PKB, baik saat Pemilu 1999 maupun ke depannya. Muktamar 1984 dan Politik Kekuasaan/Praktis bisa berjalan berdampingan. NU memang bukan partai politik, dan selamanya tidak akan bermetamorfosis menjadi parpol. Tetapi politik kekuasaan berbeda dari menjadi parpol, karena politik kekuasaan adalah bagian dari fungsi politis NU. Pemilu 1999 adalah bukti konkritnya.
Penulis melihat, ada pembusukan yang diam-diam ditanam ke dalam tubuh NU, untuk menghilangkan fungsi politik kekuasaan, atas nama fungsi politik kebangsaan. Jika ini dibiarkan tanpa ada penolakan maka warga Nahdliyyin akan digiring pada opini publik bahwa apa yang NU lakukan dengan PKB pada Pemilu 1999 bertentangan dengan Keputusan Muktamar 27 Situbondo 1984. Padahal, dua peristiwa ini saling melengkapi satu sama lain. Dan kiyai ulama NU tahun 1999 tidak mengkhianati Muktamar 27 Situbondo tahun '84.
Hari ini menjelang Pilpres 2024, fungsi politik kekuasaan NU itu penting dioptimalisasi kembali, agar mengulangi prestasi pada Pemilu 1999 sekaligus mengikuti kiyai ulama zaman itu. Hari ini NU tidak perlu lagi bergabung dan berafiliasi pada partai politik seperti PPP tahun 1982, atau Masyumi 1952. Cukup NU mengoptimalkan fungsi PKB, sebagaimana pada Pemilu 1999, sebagai sayap tunggal fungsi politik kekuasaan NU. Dan jika ada oknum-oknum yang tidak suka NU bergabung pada PKB hari ini maka hal itu tidak aneh, karena ketidaksukaan semacam itu sudah muncul sejak Pemilu 1999, ketika NU all-out untuk PKB. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.