Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kontekstualisasi Kitab Kuning dan Pembaharuan Pemikiran Kiai Imam Jazuli
Adanya respon terhadap tulisan Kiai Imam sejatinya Kiai Imam mencoba menghidupkan kembali tradisi kritik yang akhir-akhir ini mandek.
Editor: Husein Sanusi
Dalam pandangan Kiai Sahal Mahfudz di dalam Fiqih sosial setidaknya mempunyai lima ciri pokok Pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermadzhab, dari qouli (tekstual) menjadi manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar untuk menemukan ajaran yang pokok (ushul) dan cabang (furu’). Keempat, fiqh dijadikan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, mengenalkan metodologi pemikiran filosofis, khususnya dalam aspek budaya dan sosial.
Menurut Kiai Sahal, selama ini kebanyakan masyarakat lebih memperlakukan fiqh sekedar sebagai tatanan normatif, fiqh dipahami sebagai sesuatu yang tekstual, statis dan karena itu tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Padahal, dengan memahami definisi daripada fiqh yaitu fiqh sebagai ilmun bi hukmin syar’iyyin ‘amaliyyin mukatasabun min dalilin tafshiliyyin, mengetahui hukum syariat amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global) karenanya memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-mukatasab), menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang kita kenal sebagai ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, melainkan juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Oleh karena itulah, Kiai Sahal menekankan bahwa fiqh adalah sesuatu yang realistis dan dinamis, sesuai dengan karakter proses ijtihadnya. Dengan wawasan ideal ini, pada waktunya akan mampu mengoptimalkan, memaksimalkan dan mengaktualkan potensi fiqh sebagai tata nilai, perilaku dan kehidupan sosial yang terus berkembang. Dengan demikian, dapat diharapkan fiqh akan mewarnai berbagai dimensi kehidupan masyarakat luas.
Di dalam kitab teori hukum Islam (ushul fikih), al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul Imam Al-Ghazali memetakan ilmu menjadi tiga macam pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh) seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Menurutnya, ilmu jenis ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi. Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh) seperti ilmu tafsir dan hadis. Dan ketiga, ilmu yang mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan, karena menurutnya porsi akal dan wahyu bekerja bersama, ilmu ini seperti ilmu fikih dan ushul fikih.
Pandangan-pandangan di atas tentu saja, memberikan kesadaran kepada kita betapa dinamisnya dimensi keilmuan dalam Islam. Saya tentu saja sepakat dengan tulisan Kiai Imam yang mengatakan sejatinya kitab kuning adalah produk sejarah yang sudah tentu tunduk pada hukum sejarah yang semakin berkembang, kitab kuning bersifat dinamis tidak sakral seperti halnya al-Quran dan hadis. Bahkan, seiring berjalannya waktu pun, kitab kuning menjelma menjadi kitab digital seperti maktabah syamilah.
Terlepas dari dunia perkriptoan, saya kira pembaharuan pemikiran Kiai Imam sejalan dengan pemikiran filusuf besar Ibnu Rusyd yaitu “In khalafa al’aqlu wa al-naql quddima al-‘aql bi thariq al-takhsish wa al-bayan”. Ketika terjadi pertentangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang didahulukan adalah pertimbangan akal dengan menggunakan jalan takhsish (spesifikasi ajaran) dan bayan (penjelasan rasional). Karena dunia semakin berputar cepat inilah, penting kiranya saya kira kontekstualisasi kitab kuning dalam merespon pelbagai persoalan yang ada, karena Al-Nas ‘aqil wa al-nashsh ghair ‘aqil (manusia adalah yang berakal sedangkan nash sendiri tidak berakal).
Terakhir saya ucapkan selamat dan terima kasih atas gagasan-gagasan cemerlang yang disampaikan Kiai Imam Jazuli untuk terwujudnya pembaharuan dalam pemikiran umat Islam khususnya kalangan dunia pesantren. dua jempol juga saya berikan kepada Kyai Mukti dan Kyai Aguk atas responnya yang semakin menumbuhkan tradisi kritik di pesantren. Sungkem buat kalian semuanya.
*Penulis Best Seller Novel Mekah I’m Coming, difilemkan MD Pictures dan Dapur Film.