Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Muktamar NU ke-34 dan Gudangnya Para Kyai
banyak calon artinya banyak pilihan. Ibarat sebuah pasar, konstituen adalah pembeli atau konsumen
Editor: Husein Sanusi
Muktamar NU ke-34 dan Gudangnya Para Kyai
Oleh. Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Sejatinya tidak susah mencari pemimpin PBNU. Sebab NU adalah gudangnya para kiyai yang sudah teruji di lapangan dalam memimpin pesantren, masyarakat, mewarnai dalam mengelola bangsa dan negara dan bahkan diakui di dunia internasional. Selain aspek kepemimpinan, di NU juga gudanya intelektual, cendekiawan, peneliti, penulis, budayawan, dan sastrawan.
Kiyai intelektual bermunculan semakin kuat setelah tampilnya Gus Dur di panggung nasional dan intenasional. Banyak kalangan muda NU yang terinspirasi oleh Gus Dur yang memendarkan banyak peran: sebagai kiyai, pengasuh pesantren, intelektual, penulis brilian di koran-koran bergengsi khususnya Tempo dan di majalah berkelas Prisma, peneliti, tokoh pergerakan, pendiri Forum Demokrasi di saat rezim otoriter berada di puncak kekuasaannya, budayawan, seniman, pimpinan ormas Islam terbesar PBNU, presiden agama-agama dunia, dan politisi ulung serta Presiden RI.
Beragam peran ini mencerminkan sosok multi-dimensional. Gus Dur lah yang menjadikan generasi muda NU ‘melek’ dunia lebih luas dan lebih kompleks sehingga dapat berada di mana-mana. Gus Dur telah berhasil mengkader generasi muda NU. Boleh dibilang, Gus Dur telah berkasil menarik generasi NU dari pinggiran ke tengah, dan dari penonton menjadi pemain.
Tak bisa dipungkiri bahwa segenap bakal calon ketum PBNU yang ikut meramaikan suksesi Muktamar NU ke-34 di Lampung sebagian besar adalah orang-orang yang pernah dikader Gus Dur secara langsung atau secara tidak langsung dan mengambil spiritn perjuangan dan pemikirannya. Bisa disebutkan di sini seperti dari Jawa Tengah muncul tokoh KH. Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) yang berasal dari Rembang, dan KH. As’ad Said Ali dari Kudus.
Bahkan sebagaimana ditulis KH. Imam Jazuli—selanjutnya disebut Kiyai Imam, dari Jawa Tengah pula terdapat mutiara dari pesantren API Tegalrejo Magelang KH. Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) yang layak mengikuti bursa calon ketum PBNU. Pesantren API Tegalrejo ini adalah salahsatu darah biru dan kelas elit NU Jawa Tengah, di mana telah mencetak salahsatu alumninya sekaliber Gus Dur.
Dari Jawa Timur tanah dilahirkannya NU, muncul ke permukaan yang dalam pemberitaan disebutkan sudah melakukan deklarasi pencalonan ketum PBNU di antaranya KH. Marzuki Mustamar. Sedangkan KH. Safullah Yusuf (Gus Ipul) yang sejatinya layak mencalonkan diri nampaknya lebih memilih merapat ke barisan Gus Yahya. Tentu saja jika gass poll, Jawa Timur bisa lebih banyak lagi bermunculan para kiyai yang layak mencalonkan diri sebagai ketum PBNU.
Kalau kita kembangkan ke Luar Jawa. Terdapat tokoh-tokoh brilian yang sejatinya layak sebagai calon ketum PBNU. Dari Sulawesi bisa kita sebut nama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar yang memiliki banyak pengalaman sebagai pemimpin di kampus, kepemerintahan, dan saat ini dipercaya sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Berdasarkan pengalamannya yang banyak ini lebih dari cukup untuk memajukan NU. Dari Lampung Sumatra sendiri bisa kita sebut nama yang layak mengikuti pencalonan ketum PBNU yaitu KH. Ahmad Ishomuddin yang saat ini dipercaya sebagai Wakil Ketua panitia (OC) Muktamar NU ke-34, seorang ahli kitab kuning, pemikiran fikihnya yang brilian, dan saat ini pun sebagai Rais Suryah PBNU.
Sedangkan dari Cirebon, Jawa Barat, yang juga bermukim di Jakarta, inkamben PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA., yang akan maju kembali dalam pemperebutkan ketum PBNU untuk periode ketiganya.
Banyak Pilihan Lebih Baik
Akhir-akhir ini saya mengamati tulisan Kiyai Imam yang dimuat di Tribunnews yang mengangkat nama-nama kiyai-kiyai yang menurutnya layak maju meramaikan bursa calon ketum PBNU dalam perhelatan Muktama NU ke-34 di Lampung yang rencananya digelar tanggal 23-25 Desember 2021. Saya menangkap signal bahwa Kiyai Imam hendak mendorong para kiyai potensial untuk maju ke pencalonan ketum PBNU. Menurut saya ini positif bagi dinamika Muktamar dan menunjukan bahwa NU tak kekurangan kader.
Menurut saya, ada beberapa kelebihan secara sosiologis—dan juga psikologis—jika sebuah suksesi kepemimpinan terdapat banyak calon atau setidaknya lebih dari dua calon. Pertama, banyak calon artinya banyak pilihan. Ibarat sebuah pasar, konstituen adalah pembeli atau konsumen, sedangkan calon adalah barang dagangan. Konstituen sebagai konsumen bisa banyak pilihan sehingga bisa lebih leluasa berijtihad dalam menentukan calon mana yang lebih cocok dan maslahat.
Kedua, tidak terjadi atau kecil sekali potensi polarisasi dan perpecahan. Belajar pada Pilpres 2018 lalu, di mana calon Presiden hanya ada dua, Jokowi dan Prabowo. Keterbelahan dan polarisasi cukup terasa. Muncul terminologi cebong dan kampret—yang belakangan kata kampret diganti kadrun—yang menggambarkan terjadinya polarisasi dan keterbelahan sosial. Nampaknya polarisasi ini usianya cukup lama. Kedua tokoh yang diperjuangkan dan diidolakan sudah dalam satu kepemerintahan, akan tetapi polarisasi itu masih awet dan tak ada perubahan yang berarti.
Tentu saja warga NU tidak akan terjadi setragis itu. Sebab tradisi warga NU dari gegeran ke ger-geran. Artinya dari situasi tegang kemudian bisa kembali mencair dan bisa tertawa serta ngopi bareng. Namun tak bisa dipungkiri, beberapa kali pasca Muktamar, muncul kelompok-kelompok yang menyatakan mufaraqah (memisahkan diri) dari kepemimpinan sah NU, sebagai sikap tidak setuju terhadap pemimpin terpilih. Mufaraqah ini tidak seekstrim polarisasi akibat pilpres. Mufaraqah secara organisasi, sedangkan ideologi dan komunikasi kulturan masih tetap hangat. Akan tetapi setidaknya jika banyak calon bisa memperkecil potensi mufaraqah.
Munculnya gerakan NU Garis Lurus pun bentuk lain dari polarisasi di tubuh NU. Sikap mufaraqah dan gerakan sempalan di tubuh NU semacam NU Garis Lurus ini—selain diimbangi dengan NU Garis Lucu—juga bisa diredam atau diperkecil volumenya dengan memperbanyak calon ketum PBNU. Sebab jika ditelisik penyebabnya lantaran bermula dari suksesi kepemimpinan dan sikap yang anti-tesa terhadap pimpinan yang terpilih.
Akan tetapi, banyak calon tentu saja memberatkan para calon sendiri. Sebab pesaing yang memperebutkan suara konstituen lebih banyak, yang mengharuskan para calon lebih ekstra keras dalam bekerja agar dapat meraih suara yang melebihi suara yang didapatkan lawannya. Bukankah ini sebuah konsekwensi logis dari NU sebagai gudangnya para kiyai?