Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Uighur dan Pemboikotan Olimpiade Beijing
Sandaran utama negara-negara menuding China melakukan genosida terhadap muslim Uighur ialah Uyghur Tribunal yang dihelat di Inggris belum lama ini
Editor: Eko Sutriyanto
Tapi, alih-alih mempromosikan demokrasi, yang dipromosikan AS lewat NED itu lebih tepat disebut sebagai “polyarchy”, kata William I. Robinson, profesor sosiologi pada University of California.
Proyek pendirian rezim neoliberal yang memungkinkan semakin terintegrasinya suatu negara ke dalam sistem kapitalisme global dan menyingkirkan yang berpotensi mengancam stabilitas dominasi AS (Pax Americaca) di dunia.
Dengan kata lain, negara demokratis menurut AS adalah negara yang pro-neoliberalisme sekaligus berpihak kepada kepentingan AS di manapun dan kapanpun. Yang tidak begini, tulis Robinson dalam makalahnya yang bertajuk Democracy or Polyarchy? (25/9/2007), akan dicap sebagai negara “bidʻah yang antidemokrasi” (antidemocratic heresy).
Sekali AS melabeli suatu negara sebagai “bidʻah yang antidemokrasi”, maka AS tidak akan segan-segan melancarkan program destabilisasi untuk merongrong mereka dengan beragam dalih termasuk dengan menggunakan isu pelanggaran HAM.
Robinson memerinci, ada setidaknya tiga tingkatan lembaga yang dipakai AS untuk mempromosikan “polyarchy”-nya.
Baca juga: Uji Coba Antisipasi Kecelakaan Kereta Api di Jepang Gunakan Artificial Intelligence
Pertama, yang paling tinggi, adalah alat negara seperti Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Pentagon, dan badan intelijen CIA.
Kedua, agen pembangunan internasional AS (USAID) dan beberapa cabang Departemen Luar Negeri yang kemudian mengucurkan bejibun dananya kepada lembaga semacam NED.
Ketiga, lembaga-lembaga AS, seperti NED, yang menyalurkan dananya kepada lembaga-lembaga yang bisa digunakan untuk mendiskreditkan negara yang sedang dibidik.
Dalam mengorkestrasikan isu Uighur, tiga level lembaga AS yang disebut Robinson itu terlihat kompak sekali memainkan perannya, ambil contoh CIA.
Pada Agustus 2018 silam, Lawrence Wilkerson, pensiunan kolonel Angkatan Darat yang notabene kepala staf Kantor Menteri Luar Negeri Amerika Colin Powell, pernah mengatakan CIA ingin menggoyahkan stabilitas China, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menciptakan kekacauan di China.
Kalau CIA bisa memanfaatkan orang-orang Uighur ini, dan bergabung dengan mereka untuk memprovokasi Beijing, maka itu bisa menggoyang China dari dalam, tanpa perlu menggunakan kekuatan dari luar.
Kalaupun CIA tidak ikut-ikutan, dengan adanya NED --yang menjadi penyokong dana andal WUC itu-- sebenarnya sudah cukup untuk menjadi peran pengganti.
Allen Weinstein, co-founder NED, kepada The Washington Post (22/9/1991) mengatakan, banyak hal yang dilakukan NED hari ini, dulu dilakukan oleh CIA secara sembunyi-sembunyi.
"Dan, untuk menyukseskan misinya, “kita berbohong, kita curang, kita mencuri,” tegas Mike Pompeo, bekas menteri luar negeri AS era Trump yang sebelumnya menjadi direktur CIA.