Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menata Harapan, Menatap Masa Depan NU, di Bawah Kepemimpinan Gus Yahya
Kemenangan Gus Yahya membawa harapan baru bagi Nahdliyyin. Bukan saja bagi warga elit di jabatan struktural
Editor: Husein Sanusi
Menata Harapan, Menatap Masa Depan NU, di Bawah Kepemimpinan Gus Yahya
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Muktamar NU ke-34 di Bandarlampung sudah usai. Rasa bangga warga Nahdliyyin membuncah, atas kemenangan Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum dan Kiai Miftachul Akhyar sebagai Rois Amm. Hiruk-pikuk pra Muktamar sebagai bumbu pemanis juga selesai. Selanjutnya masa depan dimulai dari hari ini.
Kemenangan Gus Yahya membawa harapan baru bagi Nahdliyyin. Bukan saja bagi warga elit di jabatan struktural melainkan juga bagi warga di kelas kultural. Tidak ada bedanya. Gus Yahya adalah harapan bagi semua pihak. Gagasan-gagasan tentang membangun PBNU di masa depan mungkin hanya bisa dimengerti kaum elit. Tetapi, figur Gus Yahya, bagaimanapun tetaplah seorang pengasuh pondok pesantren, yang 24 jam bersama warga menengah ke bawah, mengayomi masyarakat lapisan bawah.
Sebagai seorang pengasuh di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Gus Yahya bukan hanya milik warga Nahdliyyin kelas elite. Sudah jamak diketahui bahwa warga Nahdliyyin mayoritas adalah kaum pinggiran. Memang benar sebagian warga sudah terus mendaki tahap demi tahap ke kelas sosial puncak, tetapi itu masih minoritas bila dibandingkan mayoritas warga NU. Dan Gus Yahya adalah milik seluruh kelas sosial ini.
Di kalangan akar rumput, pemberdayaan dan kemandirian ekonomi masih jadi topik utama. Tentu saja ini tidak bisa dilepaskan dari status negara kita sebagai negara berkembang. Jadi, bila ada warga negara yang masih problematik mengatasi urusan ekonomi dan kesejahteraan hidup, itu lumrah. Tetapi, masalahnya, warga negara dengan tingkat kesejahteraan hidup yang di bawah itu adalah warga Nahdliyyin. Upaya mengatasinya, bukan semata-mata tanggung jawab Gus Yahya, baik sebagai ketua umum NU maupun pondok pesantren, melainkan tanggung jawab bersama.
Namun, dengan melihat figur Gus Yahya, ada secercah harapan dan keteladanan, serta inspirasi bagi semua warga NU. Ternyata, seorang kiai yang mengasuh pondok pesantren berkualitas internasional. Memiliki gagasan yang bisa diterima oleh komunitas dunia. Memiliki tempat di mata publik global. Ini semua jejak personal yang sangat inspiratif, dan bisa jadi teladan bagi seluruh pengasuh maupun pengelola pondok pesantren di Indonesia, terutama warga Nahdliyyin.
Sementara di sisi lain, terutama warga elit NU, yang mampu memikirkan gagasan-gagasan abstrak tentang masa depan NU yang penuh tantangan, seperti dunia big data, robotik, Artificial Intelligence (AI), crypto, dan lainnya. Di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU diharapkan mampu menjawab semua itu. Gus Yahya sendiri tidak diragukan mampu melakukan perubahan fundamental itu.
Semua harapan warga NU dari berbagai lapisan bukan tidak mungkin terwujud. Dalam satu kesempatan, Gus Yahya berniat untuk melakukan reformasi keorganisasian. Menata kembali tata kelola organisasi, memaksimalkan potensi daerah (wilayah/cabang), dan membangun soliditas keormasan yang kokoh. Bila semua ini terwujud maka bukan barang mustahil energi besar warga Nahdliyyin terpancar, membludak, menjadi kekuatan besar masa depan, yang juga bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Jauh hari memang ada gagasan dari para intelektual muda NU, yang berharap pemberdayaan NU di luar Jawa. Tampaknya gagasan ini sejalan dengan pemikiran Gus Yahya, yang ingin mengoptimalkan peran dan fungsi wilayah/cabang. Alhasil, menaruh harap akan perbaikan manajerial atau tata kelola keorganisasian di masa depan sangat masuk di akal.
Alhasil, secara garis besar, kepemimpinan Gus Yahya di PBNU membawa harapan dan angin segar perubahan. Pertama, terpenuhinya kebutuhan mendasar warga, dan kedua, terpenuhinya tuntutan keorganisasian. Hanya saja, yang paling penting sekarang, adalah tentang posisi ormas NU di depan pemerintah/negara. Sebagai ormas terbesar, peluang NU untuk mengabdi pada bangsa dan negara juga besar. Bahkan, dengan berhasil meningkatkan kualitas warga NU itu sendiri, pengabdian pada negara sudah dibilang berhasil.
Hanya saja, melirik ke dalam (memberdayakan NU dan Nahdliyyin) adalah hal berbeda daripada melirik ke luar (mengabdi pada negara dan bekerjasama). Melirik ke dalam tentu tidak masalah, selama ada sumber daya yang cukup. Bahkan ini sangat menguntungkan, karena dapat meningkatkan kualitas kemandirian organisasi maupun warga NU. Tetapi, melirik ke luar adalah godaan. Ini bukan mustahil terjadi. Ketika pemberdayaan internal kekurangan sumber daya maka pihak eksternal datang sebagai pahlawan untuk menyalurkan pertolongan dan sambung tali kasih. Namun, premis dasar 'tidak ada makan siang gratis' sudah pasti berlaku.
Kemandirian ormas dan warga menjadi rentan tergadai, pihak-pihak eksternal yang datang mau jadi pahlawan sangat banyak. Di level ini lah, Gus Yahya sangat diharapkan mampu menjaga marwah ormas maupun warga NU. Sebagai ormas yang berwibawa. Yang tidak mudah dibeli, apalagi dikendalikan. Tentu saja, harapan demi harapan itu akan teruji seiring perjalanan waktu. Sebab apa yang dikatakan hari ini akan menjadi barometer masa depan.
Terakhir sekali, penulis ucapkan selamat atas terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU. Sebuah amanah yang sangat berat, karena menjadi tumpuan harapan, bukan saja untuk kepentingan hidup di dunia, melainkan sampai akhirat. Inilah sejatinya NU, ormas yang membimbing meraih kebahagiaan di akhirat, dengan menata urusan duniawi menjadi lebih baik. Semoga kepemimpinan Gus Yahya selalu mendapatkan Rahmat, Hidayat, Taufik dan 'Inayat dari Tuhan Yang Mahasegalanya. Wallahu a'lam bissowab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*