Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Gagalnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang kerap dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tak membuat koruptor takut.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Gagalnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Ist
Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM 

Lalu ada 114 kasus dari total 199 kasus pada 2018. Pada 2019-2020, kasus korupsi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota ada 66 dan 48 kasus. Pada 2021, ada 46 kasus dari total 71 kasus korupsi yang ditangani KPK. Dari jumlah itu, KPK mengklaim telah menangkap 109 tersangka.

Hukuman Mati

Hukuman mati bagi koruptor coba diterapkan Kejaksaan Agung dalam menuntut Heru Hidayat dalam kasus korupsi di PT Asabri yang merugikan keuangan negara hingga Rp 22,78 triliun. Selain hukuman mati, Heru juga dituntut jaksa untuk membayar uang pengganti Rp 12,64 triliun.

Dalam kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara Rp 37 triliun, Heru Hidayat telah dihukum penjara seumur hidup.

Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dihukum penjara seumur hidup. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang pernah sesumbar siap digantung di Monas, juga hanya dihukum 8 tahun penjara di tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Namun, sebelum hukuman mati itu benar-benar terlaksana, sudah muncul penentangan. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan hukuman mati di Indonesia tidak terbukti efektif dalam memberantas korupsi.

Menurut Taufan, hukuman mati mencederai prinsip hak asasi manusia, sehingga sudah selayaknya tidak lagi diberlakukan sebagai solusi terakhir dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

Berita Rekomendasi

Menurut Taufan, hukuman mati mencederai prinsip HAM. Apalagi hukuman mati yang diberlakukan pada tindak pidana korupsi, katanya, tak terbukti di negara-negara mana pun di dunia ini efektif mengurangi praktik korupsi.

Begitu pun dengan terorisme dan narkoba, kata Taufan, Indonesia sudah menerapkan sekian banyak eksekusi hukuman mati kepada pelaku narkoba dan terorisme, tapi nyatanya tidak turun-turun juga kasusnya.

Bahkan untuk kasus terorisme, mereka senang dengan hukuman mati, karena mereka ingin jihad dan ingin segera (sesuai dengan keyakinannya) masuk surga.

Kalau dengan ancaman hukuman mati saja tidak mempan, lalu dengan cara apa lagi korupsi diberantas? Inilah yang membuat publik kian frustrasi.

Apalagi belakangan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mewacanakan agar kepala desa yang melakukan korupsi dana desa tak perlu dihukum, karena nilainya tak seberapa. Mereka cukup diminta mengembalikan uang yang dikorupsi, dan dipecat dari jabatannya. Enak benar!

Padahal Dana Desa dalam setahun rata-rata mencapai Rp 1 miliar per desa. Dalam APBN 2021 saja, Dana Desa mencapai Rp 72 triliun. Kalau terjadi korupsi berjemaah di seluruh Indonesia, bagaimana?

Lalu, apa kasus-kasus korupsi lainnya juga tak perlu dihukum pelakunya, cukup mengembalikan dan kemudian dipecat dari jabatannya? Korupsi memang membuat siapa pun frustrasi, kecuali pelakunya!

* Dr KP H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas