Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Restorative Justice di Polri dan Kejaksaan Agung Perlu Diperkuat dengan Sejumlah Regulasi
Penerapan restorative justice tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh:
Hendardi, Ketua SETARA Institute
TRIBUNNERS - Dalam waktu yang bersamaan, institusi Polri dan Kejaksaan Agung merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan restorative justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana.
Polri merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan ini sepanjang tahun 2021.
Sedangkan Jaksa Agung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022 juga diselesaikan dengan pendekatan yang sama.
Langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akut overcapacity lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif, yakni keadilan dalam bentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
Baca juga: Komisi III Minta Kapolri Tak Terapkan Restorative Justice untuk Kasus Kekerasan Seksual
Ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian, tetapi hingga hari ini tidak tuntas.
Penerapan restorative justice tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional.
Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transkasional.
Baca juga: Kapolri Ungkap 11.811 Perkara Diselesaikan Lewat Pendekatan Restorative Justice Sepanjang 2021
Pekerjaan selanjutnya dari Polri adalah bagaimana Polri akan mengontrol penerapan pendekatan ini, sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel.
Sedangkan di Kejaksaan Agung, yang juga memiliki aturan tersendiri, restorative justice bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian yang terlanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara, padahal bisa diselesaikan dengan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis, peran Kejaksaan sangat strategis untuk memastikan bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang taken for granted.
Dengan demikian, penerapan RJ di tubuh Kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana.
Untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan diadopsi dalam RUU KUHAP.
Penerapan prinsip RJ ini bukan melulu mengandalkan diskresi Kapolri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati, sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.