Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Guntur Romli, Pemikir Muda Islam Progresif dari Kultur Pesantren
Untuk kegiatan kemahasiswaan, dia aktif di Nahdlatul Ulama (NU) Mesir, dari sebelumnya bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Mesir
Editor: Husein Sanusi
Guntur Romli, Pemikir Muda Islam Progresif dari Kultur Pesantren
*Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Mohamad Guntur Romli (MGM), kita (teman-temannya) biasanya memanggilnya dengan sebutan Keh Guntur. Sebelum namanya populer sebagai salah satu ketua PSI (Partai Solidaritas Indonesis), ia terlebih dulu dikenal sebagi pemikir muda islam progresif yang lahir dari kultur pesantren.
Penulis sebagai saksi, sekaligus tahu dari dekat, bagaimana ia memulai belajar pada wacana islam progresif itu, kendati ia adalah adik kelas saya di Al-Azhar Mesir dengan jurusan yang sama; Aqidan dan Filsafat Fakultas Ushuluddin. Penulis dan MGM banyak dipertemukan dikegiatan organisasi, diantaranya adalah sesama sebagai aktifis NU Mesir dan di Senat Fakultas Ushuluddin PPMI Al-Azhar Mesir.
Saat itu MGM adalah Sekjen sedangkan penulis kebetulan ketua (1999). Meski demikian, tugas kesenatan sehari-haria ia terdepan. Ditengah kesibukan organisasi itu, kami sering meluangkan waktu untuk bersama-sama mengikuti seminar internasional yang sering diadakan oleh kampus-kampus ternama.
Awal tahun 2000, saya bersama MGM pernah ikut seminar dengan Prof Annaim di Markaz al-Qahirah lid Dirasat wa Huquq al-Insan (Cairo Institute for Human Rights Studies), waktu itu hadir juga Dekan Fakultas jurusan kami, dari Fakultas Ushuludin Univ Al-Azhar, alm Prof Abd Mu'thi Bayumi yang mengkritik keras Annaim yang tidak mau membedakan antara syariat dan fiqih.
Dialog akademis yang super tajam terjadi disana dengan penuh suasana persuadaraan. Selain di acara seminar-seminar resmi, kami juga sering mengunjungi kediaman pemikir-pemikir besar Mesir, seperti Hasan Hanafi, Ali Mubarak, Jamal Al-Banna, dan lain sebagainya. Kesan saya pada junior ini, tidak saja sekadar jadi pendengar setia, tetapi jadi teman dialog dan adu gagasan dengan para pemikir idolanya.
Sampailah MGM pada kesimpulan, bahwa Islam itu bukan benda mati, yang jumud dan begitu saja jatuh dari langit, tetapi islam, selain teologi, juga cerminan kebudayaan, khususnya Arab dengan aneka tradisi dan pola pikirnya dan wilayah ini yang harus ditempatkan sebagaimana mestinya.
Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak mesti diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang positif dan melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian kepantasan di suatu negeri dan memenuhi standar kepantasan umum (public decency).
Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. Sampai-sampai pada taraf tertentu, penulis menyimpulkan MGM sudah selangkah maju dari progresif ke liberalis.
Karena itu, tak mengherankan pria yang lahir 17 Maret 1978 dan menikahi aktifis perempuan Nong Darol Mahmada ini kemudian dikenal sebagai pemikir liberal, feminis dan aktivis Jaringan Islam Liberal, serta politikus Partai Solidaritas Indonesia.
Bahkan, MGM dikenal sebagai "anak ideologis" Gus Dur. Itu lantaran sejak akhir tahun 2004, ketika kembali ke Indonesia, bersama Alif dan KH Wahid Maryanto ia aktif menemani Gus Dur di acara Kongkow Bareng di KBR 68 H, acara rutin tiap Sabtu pagi bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahun 2004 akhir sampai Gus Dur wafat tahun 2009.
MGM menyelesaikan pendidikan di Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura. Sejak meluluskan pendidikannya pada 1997, ia aktif menjadi guru bantu (ustadz) di almamaternya sekaligus kuliah di Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) dan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (STIDA) Al-Amien Fakultas Tarbiyah.
Ia juga pernah menjadi Penanggung Jawab untuk Majalah Bahasa Arab "Al-Wafa". Pada tahun 1998 memperoleh beasiswa dari Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir untuk melanjutkan studi-studi keislaman, dan ia masuk Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Falsafah Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir.
Untuk kegiatan kemahasiswaan, dia aktif di Nahdlatul Ulama (NU) Mesir, dari sebelumnya bernama Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Mesir hingga menjadi Pengurus Cabang Istimewa NU Mesir, dari tahun 1999 sampai 2004. Tahun 2002-2004 ia menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah PCI NU Mesir.
Beberapa karyanya yang fenomenal diantaranya adalah; "Ustadz, Saya Sudah di Surga" (Kumpulan kolom), Penerbit KataKita Jakarta, 2007. "Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam", Penerbit Freedom Institute, Jakarta, 2010.
Lalu, "Syahadat Cinta Rabiah Al-Adawiyah", Penerbit Rehal Pustaka, Jakarta, 2011."Islam Tanpa Diskriminasi, Menegakkan Islam yang Rahmatan Lil Alamin", Penerbit Rehal Pustaka, Jakarta, 2013 dan lain sebagainya.
Ali kulli hal, MGM adalah salah satu kader Nahdiyyin dan Ansor/Banser terbaik yang cukup berpengaruh, kehadirannya sebagai nara sumber diberbagai televisi nasional untuk merespon permasalahan kekinian adalah bukti nyata, ketokohannya telah di akui secara nasional, walaupun dalam banyak hal penulis banyak berbeda pendapat dengan MGM, tapi penulis mengapresiasi atas keberanian dan konsistensi perjuangannya yang terus menggelora. Wallahu'alam bishawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.