Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pesantren Program Sebagai Terobosan Pembelajaran di Era Disrupsi Digital
pembelajarannya menggunakan sistem program, sehingga orang menyebut Pesantren Bina Insan Mulia sebagai “pesantren program”.
Editor: Husein Sanusi
Persyaratan Penting
Untuk menerapkan pembelajaran berbasis program ini memang dibutuhkan persyaratan. Dari pihak pesantren perlu ada keberanian untuk menentukan mata pelajaran yang diprioritaskan. Tidak terhitung jumlah materi pelajaran yang penting, tetapi kebutuhannya bukan itu.
Dari sekian banyak pelajaran yang penting itu, mana yang paling menjadi prioritas. Prioritas di sini pengertiannya adalah mata pelajaran yang menduduki level dloruriyah (primer) dan hajjiyah (kebutuhan). Tentu, untuk menentukan ini harus kembali ke tujuan besar pesantren tersebut.
Karena Pesantren Bina Insan Mulia ingin menghantarkan santri-santrinya menduduki berbagai posisi strategis dalam perubahan bangsa ini, maka mata pelajaran eksak, dan bahasa Inggris masuk ke dalam prioritas.
Kenapa? Dua mata pelajaran itulah yang dipersyaratkan untuk memasuki kampus-kampus besar di dalam maupun di luar negeri. Kenapa harus ke kampus-kampus besar? Karena faktanya, sejumlah posisi strategis yang menentukan perubahan umat, bangsa, dan negara ini diduduki oleh mereka. Ini hanya contoh bagaimana menghubungkan mata pelajaran prioritas dengan visi besar pesantren.
Syaratnya lagi adalah memiliki buku panduan tersendiri yang di dalamnya mencakup materi dan target pencapaiannya. Kalau bisa termasuk langkah-langkah pembelajarannya (khutwatut tadrisnya). Pesantren Bina Insan Mulia mencetak al-Quran sendiri untuk program tahsin dan tahfidz. Juga mencetak buku figh sendiri plus dengan buku saku pencapaian harian yang di isi tiap hari
Dari pengalaman kami, syarat yang paling mendasar lain adalah dukungan atau komitmen wali santri. Pembelajaran berbasis program menuntut disiplin, totalitas, dan kecepatan. Dari tujuh program yang kami miliki, rata-rata harus selesai dalam satu semester. Jika santri tidak mengikuti satu hari saja, ia sudah banyak ketinggalan. Apalagi jika sampai lima hari. Jika ia kerap pulang dan banyak ketinggalan pelajaran, ujung-ujungnya tidak betah.
Membobot Sisi Plus Pesantren Program
Di rentang waktu antara 100-200 tahun pertama, pesantren di Indonesia menggunakan metode sorogan (santri menyodorkan kitab kepada kiai) dan bandongan (santri menyimak penjelasan kiai dari kitab tertentu). Pembelajaran biasanya diadakan di rumah kiai atau masjid. Sampai sekarang masih ada pesantren tradisional yang menerapkan, meski jumlahnya minor.
Di awal tahun 1900-an mulai banyak tokoh Indonesia yang balik ke tanah air dari luar negeri. Mereka mulai menerapkan metode kelas, yang kemudian disebut metode modern. Antara lain misalnya KH. Ahmad Dahlan dengan sekolah Muhammadiyahnya di Jogja, Prof. Mahmud Yunus di Padang, KH. Imam Zarkasi di Gontor, dan KH. Wahid Hasyim di Jakarta.
Baik sorogan, bandungan, maupun modern, semua pernah diterapkan di Bina Insan Mulia untuk kebutuhan dan waktu tertentu. Tapi saya kemudian berpikir karena Pesantren Bina Insan Mulia menyasar pada tujuan spesifik untuk para santrinya, maka saya memutuskan untuk mencetuskan dan mempelopori metode program ini.
Seperti saya sampaikan di muka, Pesantren Bina Insan Mulia berkomitmen untuk menghantarkan para santri menempati posisi dan peranan strategis bagi perubahan bangsa ini sebagai penentu kebijakan. Bukan sebatas pengisi khutbah Jum’at atau pembaca doa di setiap acara.
Untuk tujuan tersebut di tengah perubahan zaman yang oleh para ahli disebut VUCA (Volatility: berubah cepat, Uncertainty: penuh dengan ketidakpastian, Complexity: masalah saling terkait satu sama lain, dan Ambiguity: suatu masalah tidak mudah dipahami sekilas), maka jelas dibutuhkan sistem, metode, dan sajian pembelajaran yang berbeda.
Karena itu, lahirlah pembelajaran berbasis program ini yang kemudian disebut pesantren program. Pembelajaran berbasis program berbeda dengan pembelajaran berbasis buku, seperti yang saya alami dulu. Untuk mempelajari materi nahwu, saya dulu harus menyelesaikan berkitab-kitab, mulai dari awamil, jurumiyah, imrithy, mutammimah, sampai alfiah. Ketika saya masuk Al-Azhar, mereka ternyata tidak menggunakan kitab-kitab tersebut.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.