Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Kepiting untuk Kelestarian Bakau Enggano

Adat Enggano melarang masyarakat menebang pohon bakau serta melarang warga membuka kebun yang berjarak lebih dari 3 km dari badan jalan utama.

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Kepiting untuk Kelestarian Bakau Enggano
Istimewa
Mengendarai sepeda motor trail Kawasaki KLX 150 milik Kodim 0423/Bengkulu Utara, Doni Monardo dan rombongan blusukan masuk hutan di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. 

Petrus tak habis-habis memuji keutuhan hutan bakau di sana, sebagai habitat yang sangat bagus bagi kepiting.

Ihwal gagasan Doni Monardo mengembangkan budidaya kepiting, Petrus sangat setuju.

"Dari empat jenis kepiting yang hidup di perairan seluruh Indonesia, dua di antaranya ada di Enggano. Ini potensi yang luar biasa," ujar Petrus, pembudidaya udang vaname dan ikan bandeng di Saung Naga Soedirman, kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Empat kepiting yang disebut Petrus, pertama adalah kepiting hijau (Jawa). Yang kedua kepiting hitam (Kalimantan dan Papua). Ketiga kepiting merah dan keempat kepiting selasih.

"Nah, dua varietas kepiting ada di Enggano, yakni kepiting merah dan selasih,” ujarnya.

Kedua jenis kepiting itu bisa dibilang kepiting unggulan. Menurut Petrus, kepiting merah sangat diminati pasar ekspor.

"Permintaan kepiting merah umumnya datang dari China, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Berapa pun produksinya, akan terserap, karena memang permintaan sangat tinggi," ujarnya.

BERITA TERKAIT

Sementara, kepiting selasih juga sangat tinggi permintaan pasar, terutama dari para pengusaha restoran seafood.

"Jika kita makan kepiting yang ukuran jumbo, ada yang beratnya satu kilo, dua kilo, bahkan lebih, itulah kepiting selasih. Ukurannya jumbo-jumbo," katanya.

Karenanya, gagasan Ketua Umum PPAD untuk membudidayakan kepiting di Enggano, dinilai sangat tepat. Enggano memiliki dua varietas kepiting unggulan, alam bakaunya juga masih utuh dan terjaga.

"Saya ikut keliling Enggano bersama Pak Doni. Wah, hutan bakaunya masih rapat, luar biasa," kata Petrus.

Hutan bakau adalah habitat terbaik kepiting. Itu artinya, dengan sistem budidaya yang baik, ada harapan produksi kepiting Enggano bisa terjaga bahkan meningkat.

"Tidak seperti sekarang, di mana populasi kepiting makin tergerus. Kenapa bisa terjadi? Karena kepiting betina ikut ditangkap dan dijual," kata Petrus, prihatin.

Petrus mengaku sudah berdialog dengan sekitar 20 pencari kepiting di Enggano.

Mereka sendiri yang mengisahkan, sepuluh tahun lalu, dalam satu hari bisa mendapatkan 70 kilogram kepiting. Tapi saat ini, dalam tiga hari mencari kepiting hanya dapat 20 kilogram kepiting.

“Yang lebih mengenaskan, kepiting-kepiting itu dibeli tengkulak dengan harga dua-puluh-ribu rupiah per kilo. Sungguh tragis. Padahal, ekspor kepiting bisa ratusan ribu rupiah per kilogram,” kata Petrus pula.

Petrus optimis dengan rencana program budidaya kepiting di Enggano. Terlebih, Menteri KKP telah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) yang melarang ekspor kepiting betina.

Permen dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari wilayah Indonesia.

Permen tadi selain mengatur ukuran karakas (cangkang) yang boleh ditangkap dan diekspor, juga mengatur dengan sangat spesifik mengenai larangan ekspor kepiting bertelur.

Dengan menegakkan aturan tersebut, Petrus berharap budidaya kepiting akan sukses.

"Yang lebih penting, kita tidak perlu khawatir anak-cucu kita kelak tidak bisa makan kepiting karena punah," kata Petrus.

Petrus memuji konsep budidaya kepiting di hutan bakau Enggano sebagai konsep brilian. Di mata Petrus, budidaya itu setidaknya akan mendatangkan tiga manfaat sekaligus.

Pertama, kesejahteraan bagi petani kepiting. Kedua, keuntungan bagi eksportir kepiting. Ketiga, ekosistem (hutan bakau) terjaga.

"Last but not least… jarak Enggano ke Jakarta hanya 500 km. Dekat. Itu jaminan kita mendapatkan kepiting yang masih dalam keadaan hidup. Apalagi kepiting merah dan selasih terkenal memiliki daya hidup tanpa air yang cukup lama," kata Petrus, senang.

Instrumen Selamat

"Ingat, jangan ada bakau yang ditebang sewenang-wenang, hanya untuk dijadikan arang. Memang arang dari batang bakau disukai karena aromanya harum dan tidak bikin sesak napas. Apinya juga biru, mereka ekspor ke Malaysia dan Timur Tengah. Tapi hutan kita rusak parah akibatnya," kata Doni.

Karenanya, jika tidak dilakukan gerakan pencegahan penebangan mangrove, serta gerakan penanaman mangrove, Doni khawatir dalam waktu tidak terlalu lama luas hutan mangrove akan terus menyusut.

"Maka sekali lagi saya titip sama pak Camat, jangan sampai ada yang menebang mangrove. Termasuk jangan ada warga yang membangun rumah dengan menggusur serta menimbun hutan bakau," kata Doni pula.

Doni tegas mengimbau, jika mendapati ada warganya membangun rumah dengan menimbun bakau, segera hentikan.

"Peran penting bakau di Enggano sejatinya bukan semata-mata untuk budidaya kepiting, ada fungsi yang jauh lebih besar, yakni sebagai instrumen untuk menyelamatkan warga Enggano jika sewaktu-waktu terjadi gelombang tsunami," ujar Kepala BNPB 2019 – 2021 itu.

Doni lantas membuka catatan ihwal posisi Enggano yang terletak pada subduksi Indo-Australia. Batas Samudera Hindia dengan wilayah Asia. Nah, di situ ada subduksi, ada pertemuan lempeng.

Jika pertemuan dua lempeng ini mengalami gesekan, maka akan timbul gempa. Dan biasanya gempa yang ditimbulkan bisa sangat besar, jika itu terjadi setelah sekian lama tidak terjadi gesekan.

Istilahnya lepasan energinya sangat besar, bisa mengakibatkan gempa dengan magnitudo hebat seperti yang terjadi di Aceh (2004) dan Nias (2006).

"Aceh, Nias, Mentawai, dan Enggano adalah segaris," kata Doni.

Pertanyaannya, apakah itu mungkin terjadi?

"Sangat mungkin. Sekali lagi saya ulangi: Sangat mungkin! Ini ilmu pengetahuan, dan bisa dipelajari. Apakah tsunami Aceh 2004 itu yang pertama? Tidak! Itu yang kesekian kalinya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa tsunami di Aceh sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya," ujar Doni, yang pada tahun 2019 akhir pernah mengunjungi Gua Ek Leuntie di Aceh Besar, saksi bisu tsunami Aceh sejak 7.400 tahun lalu.

Manusia tidak bisa menghindari takdir, tapi berbekal ilmu pengetahuan, kita bisa membuat perencanaan sedemikian rupa untuk bisa meminimalisir dampak, manakala bencana itu terjadi. Entah kapan.

"Dan mangrove itu salah satu benteng terbaik meredam tsunami," tegas Doni.

Doni juga paham, Enggano memiliki problem infrastruktur, utamanya sarana jalan. Selama ini, Enggano seperti belum tersentuh pembangunan. Tenaga listrik yang terbatas. Sarana transportasi yang juga minim.

"Dengan menggarap ekowisata berburu, serta budidaya kepiting bakau, saya harap bisa meningkatkan perekonomian Enggano. Ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya," ujar Doni, optimistis.

Simak terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menginspirasi.

Tabik. (*)

) *Egy Massadiah, wartawan senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas