Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masa Depan Filateli Indonesia, Menapak Tilas Jejaknya di Bandung
Orang tua saat ini sudah sangat risau akan hobi-hobi tidak sehat seperti bermain game online dan menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial.
Editor: Dewi Agustina
Oleh Gilang Adittama *)
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan langka untuk menapaktilasi jejak-jejak filateli yang ada di Kota Bandung.
Sebagaimana diketahui secara luas, berbagai bangunan dan kantor penting milik PT Pos Indonesia memang berada di Bandung.
Baru-baru ini, kantor direksi Pos Indonesia dipindahkan ke kompleks Gedung Sate, masih satu lokasi dan nyaris bersebelahan dengan museum prangko.
Selain itu, gudang filateli juga berada di kota yang sama di Jalan Jakarta nomor 34, Bandung.
Di sektor swasta, Bandung terkenal sebagai markasnya para pedagang dengan reputasi besar di Indonesia.
Perjalanan saya kali ini diprakarsai secara khusus oleh jurnalis filateli senior Richard Susilo.
Setibanya di Bandung, saya bergegas menuju gudang filateli di Jalan Jakarta dan bertemu dengan Satriadi Indarmawan atau lebih akrab disapa ‘Pak Dadit’.
Beliau mendeskripsikan dirinya sebagai filatelis tradisional dengan konsentrasi pada koleksi benda pos terbitan Indonesia saja.
Kami berdua disambut oleh Siswanto yang saat itu mewakili manajer filateli ibu Ria Marantika.
Dalam perbincangan bersama Pak Dadit dan Pak Sis, kami membahas bagaimana mengangkat kembali reputasi filateli Indonesia terkhusus di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Ide-ide kami saat itu seolah saling melengkapi.
Pak Dadit mengusulkan agar promosi filateli lewat prisma (prangko identitas milik anda) lebih digencarkan lagi mengingat anak muda zaman sekarang senang melakukan kegiatan-kegiatan berbau ‘ngeksis’ dan hal-hal dengan sentuhan personal.
Terkait hal ini, Pak Sis menyampaikan sedikit kerisauan beliau.
Menurutnya, jika penggunaan prangko saja sudah sangat terbatas, lantas bagaimana prisma bisa difungsikan dan laku di kalangan anak-anak dan pemuda.
Beliau juga menjelaskan bahwa berbagai upaya telah ditempuh oleh PT Pos Indonesia untuk memasyarakatkan kembali filateli, di antaranya dengan mengadakan lomba mewarnai desain prangko di beberapa kota dan lomba menulis surat pada skala nasional.
Sayangnya, kegiatan seperti ini hanya menghasilkan kehebohan dan antusiasme temporal yang sama sekali tidak berdampak pada regenerasi filatelis Indonesia.
Mendapatkan cerita seperti ini, saya lantas mengeluarkan koleksi pameran saya sebagai pemicu diskusi lebih lanjut.
Baca juga: Fadli Zon Sabet Medali Emas di Pameran Filateli London 2022
Pak Dadit sontak berujar, "Wah, buset nih.. Ini sih kelas dunia.."
Pak Sis pun bertanya, "Terakhir kamu pameran di tingkat apa dan dapat medali apa ?"
Saya menjawab, "Di level internasional saya terakhir tampil di kelas dewasa di FourNation dengan medali Vermeil."
Setelah itu, Pak Dadit melontarkan pertanyaan seolah berusaha menganalisa proses pembentukan diri saya sebagai filatelis remaja saat itu.
"Bentar, Lang.. kamu dulu bisa suka prangko ini dari mana awalnya? Generasi mu saja sudah jarang sekali lho yang senang dengan beginian."
Saya menjelaskan kepada beliau bahwa dulunya saya membaca artikel tentang filateli di buku cetak mata pelajaran Bahasa Indonesia dan mulai membeli prangko di kantor pos.
Beliau melanjutkan, "Anakku sudah kukenalkan pada prangko, tapi ya nggak suka. Kamu yakin nggak kalau dalam sepuluh tahun ke depan anakmu akan suka filateli?"
Pertanyaan macam ini jelas membuat saya berpikir cukup keras tentang bagaimana dan mengapa.
Lantas saya menjawab bahwa saya yakin jika promosi filateli dilakukan dari tiga arah secara bersamaan, dampaknya pasti akan sangat signifikan.
Saya pun memperjelas skema promosi tiga arah ini.
Pertama, alih-alih membidik siswa dan membangkitkan antusiasme mereka, kita terlebih dahulu harus mengedukasi orang tua mereka sebagai pengambil keputusan dan penyandang dana.
Orang tua saat ini sudah sangat risau akan hobi-hobi tidak sehat seperti bermain game online dan menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial.
Filateli jelas bisa menawarkan aktifitas yang lebih sehat, bermanfaat secara akademis, dan bernilai investasi jangka panjang terutama jika dibawa sampai ke tingkat penyusunan koleksi secara serius.
Kedua, setelah adanya pendekatan ke orang tua melalui berbagai acara pertemuan di sekolah-sekolah, PT Pos Indonesia diharapkan datang dengan berbagai bentuk tindak lanjut seperti menghidupkan kembali pojok filateli di setiap kantor pos besar serta dengan pengadaan lomba yang lebih kental dengan unsur filateli, seperti menyortir prangko berdasarkan negara atau tahun terbit atau bahkan menyusun prangko berdasarkan tema.
Ketiga, para jurnalis filateli terutama dari HiPFil (Himpunan Penulis Filateli) Indonesia harus lebih gencar melakukan publikasi konten yang sesuai selera remaja di media terutama pada dua raksasa media sosial, YouTube dan Instagram.
Pertemuan dan diskusi kami berlanjut selama kurang lebih satu jam kemudian.
Akhirnya, Pak Sis merasa antusias dan meminta para filatelis untuk menyuarakan berbagai terobosan seperti ini ke dewan direksi pos.
Sementara itu, Pak Dadit akhirnya harus pamit karena masih ada tugas lain menanti beliau.
Kami bertiga berjanji untuk bertemu kembali untuk membahas detail teknis wacana ini di pameran Indonesia 2022 bulan Agustus 2022 di Jakarta.
Bagi yang ingin berdiskusi filateli ada whatsapp group bagi Filatelis, email ke: filateli@jepang.com Subject: Filatelis, dengan nama lengkap alamat tanggal lahir dan nomor whatsapp, gratis.
*) Penulis adalah peraih medali Vermeil Tematik di Bangkok F.I.P 2013 dan Large Vermeil di Singapore fournation 2016. Sisanya ada beberapa medali pameran filateli dari tahun 2005 - 2012. Magister pendidikan bahasa Inggris, Universitas Lampung