Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dinamika Dalam Diam, Gudang Filateli dan Museum Prangko
Kami disuguhi pemandangan yang memprihatinkan. Di meja tamu terdapat beberapa brosur filateli cetakan tahun 2015 ke bawah.
Editor: Dewi Agustina
Gilang: “Wah, memangnya tidak ada fasilitas untuk pemeliharaan benda filateli seperti pengatur kelembaban (dehumidifier), AC, dan sejenisnya ?”
Pak Sis: “Tidak ada.”
Gilang: “Kalau begitu barang-barang di dalam itu terancam tropis, berjamur, basah, dan rusak dong? Apakah tidak sebaiknya disarankan ke direktur Pos Indonesia untuk pengadaan fasilitas seperti itu? Saya kira biaya pengadaannya akan jauh lebih kecil dari total nilai barang yang ada di dalamnya.”
Pak Sis: “Demikianlah adanya. Kalau memang dari filatelis ada usulan demikian, pasti kami akan pertimbangkan. Saya yakin pasti filatelis akan sedih sekali kalau melihat barang di gudang rusak.”
Gilang: “Kalau ada barang rusak seperti itu bagaimana, pak? Dijual obral atau langsung dimusnahkan ?”
Pak Sis: “Itu kebijakannya ada di jajaran direksi. Terkadang kita jual murah untuk koleksi senang-senang saja. Terkadang jika rusaknya sudah terlalu parah ya terpaksa dimusnahkan. Jadwal pemusnahan pun tidak menentu.”
Gilang: “Kenapa tidak dimasukkan museum saja, pak ?”
Pak Sis: “Saat ini museum sedang dalam perbaikan. Jika sudah selesai, opsi itu bisa kami pertimbangkan. Mas Gilang boleh coba jalan-jalan ke museum, itupun kalau boleh masuk lho.”
Saya pun pamit dan segera dijemput oleh seorang filatelis senior Bandung, Albertus DJ untuk kemudian diantar ke museum pos di kompleks Gedung Sate.
Setibanya di sana, kami disuguhi pemandangan yang memprihatinkan. Di meja tamu terdapat beberapa brosur filateli cetakan tahun 2015 ke bawah.
Buku tamu pun hanya diisi oleh dua orang. Terdapat pula papan jadwal kunjungan yang kosong tanpa tulisan.
Tidak ada satu pun staf yang menjaga meja tersebut sampai-sampai kami harus mengetuk pintu beberapa ruangan di sekitar pintu masuk museum tersebut.
Seorang pegawai muncul dan mengizinkan kami masuk ke museum. Dari luar tidak tampak tanda-tanda pemugaran ulang yang digembar-gemborkan sedang berlangsung.
Di dalam museum, terlihat beberapa macam kotak pos atau yang lazim disebut bis surat dari zaman ke zaman. Di sebelah dereta bis surat terdapat mesin penjual prangko otomatis (vending machine).