Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dinamika Dalam Diam, Gudang Filateli dan Museum Prangko
Kami disuguhi pemandangan yang memprihatinkan. Di meja tamu terdapat beberapa brosur filateli cetakan tahun 2015 ke bawah.
Editor: Dewi Agustina
Oleh Gilang Adittama *)
Bangunan peninggalan Belanda itu tampak berdiri kokoh di belakang kantor pos Jalan Jakarta no. 34, Bandung. Namun tidak mendapatkan akses masuk walau hanya untuk melihat gudang filateli.
Lihat sepintas lalu, akhirnya saya hanya duduk berbincang dengan Siswanto (selanjutnya disebut Pak Sis), pegawai pos bagian produksi prangko.
Mengawali pembicaraan kami, Pak Sis menyampaikan permohonan maaf bahwa saya tidak diizinkan masuk ke gudang karena saat itu sedang ada proses audit meterai dengan auditor independen yang direncanakan berlangsung selama tiga hari.
Obrolan kami berlanjut hingga sekitar satu jam dengan pembahasan seputar fungsi, kelengkapan, dan berbagai pemasalahan di gudang.
Gilang: “Pak Sis, ini gudang sebetulnya menyimpan apa saja sih ?”
Pak Sis: “Banyak yang disimpan di sini. Mulai dari prangko, benda filateli lain, sampai meterai juga ada.”
Gilang: “Kalau arsip? Arsip cetakan seperti artwork, proof, dan lainnya di sini juga ?”
Pak Sis: “Ya.. ada beberapa, tapi tidak lengkap.”
Gilang: “Oh.. Kenapa tidak lengkap ? Apakah karena sebagian besar sudah dimasukkan museum ?”
Pak Sis: “Saya tidak tahu pasti. Yang jelas, sebelum saya menjabat di sini dan sebelum ada undang-undang tentang arsip cetakan benda pos, sudah banyak beredar barang ? Barang seperti itu di luar.”
Saya lantas mengeluarkan selembar gambar desain awal prangko (artwork) seri Jamboree 1996 dan sebuah kaca pembesar berkekuatan dua puluh kali pembesaran.
Pak Sis menyeringai lalu mengambil kaca pembesar saya dan mengamati benda tersebut.
Beliau berkata, “Tampaknya ini asli. Kamu dapat dari mana ? Beli di pedagang ya ?”