Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengejar Ketertinggalan Jaringan di Papua
Ibarat urat dan pembuluh darah, Papua butuh dua sisi penting, infastruktur berbentuk fisik jaringan dan teknologi yang sedikitnya 4G.
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Moch S Hendrowijono *)
PULAU Papua yang meliputi dua provinsi, Papua dan Papua Barat tengah membangun diri. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) tahun 2021 hanyalah momentum pembuka Papua yang bergegas mengatasi ketertinggalan.
Ibarat urat dan pembuluh darah, Papua butuh dua sisi penting, infastruktur berbentuk fisik jaringan dan teknologi yang sedikitnya 4G.
Papua menunggu pemerataan akses telekomunikasi yang di kawasan lain telah bertransformasi ke akses digital, tidak berharap fasitas telekomunikasi yang sekadar untuk bertelepon ria atau berpesan singkat.
Baca juga: Bedah Fitur dan Teknologi Kulkas Premium LG InstaView Terbaru dengan Desain Unik Layar Transparan
Mengharap operator seluler ikut membangun jaringan khususnya di kawasan-kawasan terpencil butuh pendekatan khusus. Dari segi bisnis membangun site dan mengoperasikannya tidak terlalu menggiurkan, titik impasnya pun lama.
Biaya pembangunan sangat mahal karena kendala geografi, acapkali harus menyewa helikopter untuk membawa material karena tiadanya setapak pun prasarana jalan.
Beda dengan di kawasan lain yang hari ini satu titik ditetapkan untuk dibangun, besok BTS sudah berdiri, lusa masyarakat sekitar sudah berhalo-ria dan kirim internet.
Kepadatan penduduk rendah membuat pengakses layanan telekomunikasi juga rendah, dan di sisi lain hanya mereka yang punya semangat Merah-Putih saja yang mau ikut membangun, lainnya akan berpikir dua-tiga kali sebelum maju.
Jumlah kelurahan di Papua tidak banyak, tetapi kawasan masing-masing luas dengan permukiman-permukiman yang dipisahkan gunung, lembah, jurang, hutan laut.
Luas Papua dan Papua Barat yang 420.540 kilometer persegi, sekitar tiga kali luas pulau Jawa, menurut BPS 2019 jumlah kelurahannya ada 7.547 dengan jumlah penduduk 5,4 juta. Luas satu kelurahan di Papua bisa sampai 50 km persegi dan berjalan kaki dari ujung ke ujung kelurahan bisa seharian.
Sementara jumlah kelurahan/desa di Pulau Jawa ada 25.266 buah dan jumlah penduduk 145 juta pada 2015 sehingga jarak antar-kelurahan cuma sepelemparan batu. Berteriak di satu kelurahan, ibaratnya, bisa terdengar di kelurahan lain.
Baca juga: Kurang Sepekan Jelang Gelaran MotoGP, Telkom Intensif Pantau Kesiapan Infrastruktur Telekomunikasi
Kerja sama operator
Itu sebabnya satu kelurahan Papua membutuhkan tak hanya satu BTS, bisa 2, 3 atau 5 BTS. Selain masalah geografis yang memisahkan jauh tiap kampung, di satu kelurahan mungkin ada masing-masing satu puskesmas, kantor polisi, bahkan kantor kecamatan, yang semuanya butuh BTS.
Berbekal kondisi sangat berbeda dengan kawasan Tanah Air yang lain, Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika) Kominfo menawarkan opsi. Mereka membangun infrastruktur dan operator seluler yang tinggal mengoperasikan, dengan pendekatan bisnis.
Prioritas Bakti, membangun BTS berstandar 4G di Papua bekerja sama dengan operator seluler. Menurut Anang Latif, Direktur Utama Bakti Kominfo, dari lebih 7.900 BTS 4G yang dibangun di kawasan 3T (tertinggal, terluar dan terdepan), 65 persen di antaranya prioritas untuk Papua.
Proyek BTS 4G dilakukan sejak lama dan semakin intensif pada 2021 dan 2022. Sebelumnya selama 2015 hingga 2020 sudah didirikan di 437 BTS, sebanyak 213 di wilayah Provinsi Papua dan 224 BTS di Papua Barat. Dengan tambahan sekitar 5.200 wilayah lagi, BTS 4G akan memenuhi kebutuhan akan akses internet masyarakat Papua.
Bakti juga menggelar Proyek Palapa Ring berupa kabel serat optik (fibre optic - FO) melalui laut (SKKL – sistem komunikasi kabel laut) maupun darat. Menjulurkan FO di lautan seperti di teritorial Indonesia mudah terkendala.
*) Moch S Hendrowijono adalah pengamat telekomunikasi dan mantan editor Harian Kompas