Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Anies Baswedan dan Demokratisasi Trotoar yang Mensetarakan
Fenomena di SCBD, jantung Kota Jakarta inilah yang disebut Anies sebagai demokratisasi trotoar, karena menjadi milik semua.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh:
Qusyaini Hasan
Pemerhati sosial perkotaan
TRIBUNNERS - Puluhan remaja usia sekolah berkerumun di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Beberapa lainnya mendatangi Terowongan Kendal.
Mereka mengenakan busana yang tak biasa, atau mungkin mereka anggap menarik.
Saat ditelisik, sebagian besar remaja berasal dari sejumlah daerah di sekitar Jakarta, seperti Citayam, Bogor, Depok, dan sekitarnya, dan tengah mengisi hari libur sekolah mereka.
Keberadaan mereka dengan mode busananya ini memunculkan istilah ”Citayam Fashion Week”.
Lahir pula istilah fenomena SCBD, singkatan dari Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok. Plesetan lainnya dari Sudirman Centre Business District.
Fenomena ini menjadi salah satu pertanyaan media saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat melakukan pencanangan dan ground breaking terowongan bawah tanah pertama bagi pejalan kaki yang menghubungkan Stasiun MRT Dukuh Atas dengan Thamrin Nine Complex di Thamrin Nine Complex, pada Kamis, 7 Juli 2022.
Menurut Anies, seperti yang digelorakan sebelumnya, kawasan Dukuh Atas, Terowongan Kendal, dan puluhan area publik lainnya di Jakarta dibangun sebagai ruang ketiga yang memang disediakan sebagai ruang yang mensetarakan.
Baca juga: Apa Itu SCBD? Segitiga Emas Jakarta, Dulunya Lahan Kumuh Kini Jadi Kawasan Elite
Pada periode sebelumnya, Kawasan protokol Jakarta, seperti Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, serta jalanan lebar lainnya di Jakarta hanya dapat dinikmati oleh mereka yang bekerja di wilayah itu saja, dan orang luar tidak bisa menikmatinya.
Jalan terbesar di Jakarta itu, kata Anies, hanya dimiliki oleh mereka yang bekerja di kawasan tersebut.
Mereka pun sebagaian besar membawa kendaran pribadi dari rumah menuju tempat kerjanya. Begitu sampai kantor, masuk dan keluar pakai kendaraan pribadi.
Nyaris tak ada aktivitas lainnya, seperti berjalan kaki antar gedung, menikmati ruang publik saat jam istirahat atau makan siang, maupun kegiatan lainnya yang mempertemukan para pekerja dapat bertemu dengan pekerja lainnya antar gedung sembari jalan kaki.
Kawasan Sudirman-Thamrin dengan sekumpulan gedung tinggi berdinding kaca pun tampak angker.
Lalu lalang dan deru mesin kendaraan yang melaju kencang mengisi hari-hari yang sibuk.
Kawasan ini pun terlihat tak manusiawi. Hanya memanjakan para pemilik kendaraan, dan meminggirkan para pejalan kaki.
Setelah hampir 20 tahun dengan lima gubernur dan setidaknya dua presiden berganti, Jakarta yang dulu dianggap kota tanpa warga alias dibangun hanya semata membuat nyaman warganya yang berkantong tebal mulai mengikis citra buruk itu.
Baca juga: Kata Anies soal Fenomena SCBD, Tanggapi dengan Guyonan hingga Beri Pesan
Masyarakat semakin menyadari mereka berhak menikmati fasilitas publik yang modern dan lengkap.
Anies pun menawarkan konsep ruang ketiga, wahana atau tempat para warga berinteraksi di antara ruang pertama dan kedua, yakni rumah dan kantor.
Kini, trotoar diperlebar, taman kota bertebaran, jembatan penyeberangan orang yang Instragramable, sampai kemudahan mengaksesnya dengan berbagai angkutan umum mengundang orang dari pelbagai penjuru Jabodetabek bebas merambahnya.
Walhasil, trotoar yang lebar dan nyaman saat ini digunakan oleh bukan saja mereka yang bekerja di kawasan itu, tapi yang juga warga lain yang tidak bekerja di sepanjang Jalan Sudirman.
Bahkan, warga luar Jakarta pun, disebut Anies, berhak datang dan menikmati kawasan ini dengan pemandangan gedung-gedung tinggi yang ada.
"Itu bukan sekadar trotoar, mendadak tower-tower itu bukan hanya milik mereka yang beberja di tempat ini sebagai pengalaman, tapi siapa saja silakan datang," tutur Anies.
Fenomena inilah yang disebut Anies sebagai demokratisasi trotoar, karena menjadi milik semua. Siapa saja bisa datang menikmati, mulai dari orang tua hingga anak-anak bisa datang dan bisa mendapatkan inspirasi.
Anies menegaskan, tempat itu tidak hanya bisa didatangi dan dinikmati masyarakat sosial ekonomi menengah ke atas.
Justru, dia berujar, demokratisasi itu terjadi di tempat ini, siapa saja bisa menikmati, dan ketika membangun dikerjakan tidak sendiri, tapi berkolaborasi.
"Orang tua bawa anak jalan, sambil mereka dengan mudah bilang 'nak belajar yang rajin bila suatu saat bisa bekerja di gedung ini'. Jadi tempat ini menjadi ruang ketiga yang mensetarakan mereka yang datang untuk memilki pengalaman yang baru, dan ini datang dari mana saja," kata dia.
Dukuh Atas, Terowongan Kendal, dan area publik lainnya dibuat untuk menjadi ruang ketiga yang mempersatukan dan mensetarakan warga dengan latar belakang beragam. “Jadi, biarkan saja tempat itu menjadi tempat bertemu dari mana saja, karena ruang ketiga adalah mempersatukan dan membangun perasaan kesetaraan,” ujarnya.
Pada periode kepemimpinannya, Anies secara serius membangun ruang ketiga untuk memberikan tempat bagi warga agar bisa mendapatkan ruang alternatif di luar ruang pertama dan kedua. Ruang inilah yang akan menjadi tempat warga berinteraksi, menemukan pengalaman-pengalaman baru, membangun kesetaraan satu sama lain, ramah, dan memanusiakan warganya.
Di ruang ketiga ini, kota pun bisa dijadikan rumah baru yang nyaman bagi warganya. Revitalisasi ratusan taman, kampung, Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), dan ruang publik lainnya kini menjadi ikon-ikon baru Jakarta. Kita pun telah menemukan kembali Jakarta yang ramah, indah, setara, memanusiasikan warganya.