Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
G20 Orchestra, di Dunia Mereka Terbaik, di Indonesia Mereka Berkumpul
G20 Orchestra adalah warisan Indonesia untuk G20 ke depannya, dan bisa menjadi disrupsi di dunia musik klasik.
Editor: Dewi Agustina
(tulisan/esai oleh Ananda Sukarlan - pianis, komponis, pendiri & direktur artistik G20 Orchestra)
Instagram & twitter : @anandasukarlan
COBA anda google "best viola player" dan nama Yuri Bashmet selalu keluar di halaman pertama.
Sebagai yang terbaik di dunia, pemain viola dari Rusia ini tentu sangat sibuk, dan tentu tidak bisa sembarangan menerima calon murid.
Mungkin dari beberapa ratus yang mendaftar ia hanya bisa pilih satu, dengan sensitivitasnya mendeteksi berlian mentah yang dapat dijadikan "superstar".
Menjadi muridnya bukan hanya suatu keistimewaan, tapi juga suatu beban tanggung jawab yang besar. Salah satunya adalah Antonina Popras.
Nah, Antonina yang cerdas, cantik dan super berbakat ini akan ke Indonesia menjadi bagian dari G20 Orchestra, sebuah orkes yang dibentuk dan dicetuskan oleh Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 tahun 2022 ini.
Baca juga: Tampil di Culture Ministers Meeting, Ananda Sukarlan Jadi Pemimpin G20 Orchestra Borobudur
Ini adalah jawaban Rusia ketika saya mengirimkan surat untuk meminta mereka mengirimkan pemain orkes terbaiknya untuk menjadi bagian dari G20 Orchestra.
Selain itu, mereka juga mengirimkan Nikita Loginov, pemain trompet handal dari National Youth Symphony Orchestra mereka yang anggotanya dipilih melalui audisi yang sangat ketat.
Begitu juga Argentina, yang telah berhasil meyakinkan pemain flute Santiago Clemenz untuk datang.
Walaupun sudah menjadi pemain principal di Orquesta Sinfonica de Salta, Clemenz tetap berkeliling menjadi solois di berbagai orkes lainnya.
Di Indonesia ia akan menjadi solois di karya saya, The Voyage to Marege, di bagian yang sangat virtuosik menggambarkan konflik antara suku Aborigin Australia dengan para imigran Eropa.
Pernah lihat video officialnya Michael Jackson "They don't care about Us" yang berlokasi di Brazil itu?
Ada ratusan pemain drum, tapi apa yang aneh dari situ? Tidak ada satupun drummer perempuan!
Ada perempuan sih, tapi mereka menari-nari, dan mengelu-elukan Michael saja.
Ini disebabkan "stereotype" dari drummer itu adalah tentang kejantanan, kekuasaan, bahkan lambang brutalitas melalui ritme yang menghipnotis pendengarnya.
Nah, anggapan ini akan diruntuhkan oleh G20 Orchestra, yang mendapatkan 2 pemain perkusi handal dan .... ya, perempuan!
Mereka adalah lulusan Universitas Campinas yang departemen perkusinya terkenal mencetak pemain perkusi terbaik di Amerika Selatan, terutama dari kelas profesor Fernando Hashimoto, spesialis musik perkusi Brazil.
India mengirimkan Jasiel Peter, pemain kontrabas terbaik di negaranya.
Daftar pemain ini masih panjang, tapi jangan kira Indonesia tidak memiliki musikus sebaik mereka.
Ada! Ada, tapi terus terang sampai dua minggu lalu ini saya belum mengenal, bahkan mendengar 90 persen nama yang mengunggah permainan mereka untuk audisi di YouTube dengan kata kunci "G20 Orchestra".
Anda bisa dengarkan sendiri dengan mencarinya dengan kata tersebut di YouTube, dan setelah membaca daftar nama musisi yang lolos di bawah artikel ini, anda pasti setuju bahwa kualitas artistik mereka sangat mapan dan mumpuni.
Saya sendiri sangat terkesima dengan kualitas beberapa musisi Indonesia yang mengikuti audisi, bahkan yang datang dari kota/provinsi yang tidak pernah saya bayangkan ada musik klasik di sana.
Pasalnya, saya belum pernah menemukan audisi terbuka dan transparan dalam merekrut anggota orkestra di Indonesia, di mana semua orang dapat mendengarkan permainan para kandidat di YouTube.
Anggota biasanya dipilih melalui pertemanan atau rekomendasi.
Kalaupun ada "audisi", itu bersifat tertutup dan mereka audisi karena diberitahu rekannya. Itu sebabnya kita selalu melihat orang-orang yang sama di berbagai orkestra.
G20 Orchestra yang rencananya diperdanakan pada 12 September 2022 di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah ini, merupakan langkah pemerintah melalui inisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk mendorong musik klasik Indonesia.
G20 Orchestra adalah warisan Indonesia untuk G20 ke depannya, dan bisa menjadi disrupsi di dunia musik klasik, dengan keanggotaan dari 18 negara (Saudi Arabia dan Turki untuk kali ini belum mengirimkan musisi) dan keseimbangan gender.
Program kami juga tidak terpaku pada karya "yang itu-itu saja" di dunia musik klasik, tapi ada kesegaran dalam konten program.
Target kami untuk mendapatkan separuh-separuh jumlah lelaki dan perempuan hanya meleset sedikit menjadi 34 lelaki dan 26 perempuan.
Untuk itulah, G20 Orchestra 2022 ini membuka audisi terbuka bagi musisi Indonesia sebagai bentuk transparansi dan misi untuk dapat menemukan talenta talenta muda di seluruh pelosok Indonesia, serta memberikan kesempatan terbuka dan sama kepada semua talenta terbaik Indonesia.
Hasilnya sangat membanggakan, sulit bagi saya untuk hanya memilih sebagian dikarenakan kemampuan musik mereka yang luar biasa.
Musisi kita di G20 Orchestra kebanyakan tidak dikenal dalam "lingkaran musik klasik" dan bergabung dengan orkes-orkes di Jakarta.
Apa karena mereka tinggal di luar kota? Apa karena mereka tidak memiliki koneksi yang cukup?
Bahkan dari Amerika kita mendapatkan pemain viola Toby Winarto, yang berdarah 100 persen Indonesia tapi memang lahir dan berkewarganegaraan AS dan berkarir cukup cemerlang, serta baru saja diterima di New World Symphony.
Kita tidak akan tahu tentang Toby kalau tidak ada G20 Orchestra ini.
Bukannya membanggakan diri, tapi saya ingat ketika saya balik ke Indonesia tahun 2000 dan belum ada yang namanya kompetisi piano apalagi instrumen lainnya.
Bagaimana seorang pianis bisa berkarir tanpa pembuktian dari kemenangan satu atau beberapa kompetisi?
Adalah Pia Alisjahbana (pendiri Femina Group) yang meminta saya saat berkunjung ke Indonesia atas undangan Presiden Gus Dur tahun 2000 untuk membuat kompetisi piano bertaraf internasional sehingga lahirlah Cipta Award yang hanya bertahan dua kali penyelenggaraan.
Pada tahun 2008 Pia Alisjahbana dan Dedi Panigoro dari MEDCO membangkitkannya kembali dan memberi nama baru yaitu Ananda Sukarlan Award (ASA).
Setelah itu di tahun 2011 sebuah institusi di Surabaya, Amadeus Performing Arts pimpinan Patrisna Widuri mengirim proposal untuk mendirikan Kompetisi Vokal Klasik "Tembang Puitik Ananda Sukarlan" (TPAS) yang saya terima dengan tangan terbuka.
Semua solois G20 dari Indonesia terdiri dari pemenang kompetisi piano
ASA (Calvin Abdiel Tambunan) dan TPAS (dua soprano Mariska Setiawan & Pepita Salim, tenor Nick Lukas dan bariton Kadek Ari Ananda).
Sejak 2020 baik ASA maupun TPAS yang telah sukses menghasilkan musikus klasik paling handal dari Indonesia ini diambil alih oleh Kemendikbudristek di bawah Menteri Nadiem Makarim dengan tujuan untuk memetakan bakat-bakat musik klasik di Indonesia sebagai aset budaya dan dibudidayakan di acara-acara seperti G20 ini.
Saya selalu bertanya-tanya, dengan penduduk 250 juta lebih, kenapa Indonesia tidak bisa mendapatkan 70-an musisi berkualitas prima untuk membuat orkestra kelas dunia?
Sekarang, kita tahu mengapa dan bagaimana mengatasinya. Sekarang, ini hanya masalah teknis, dan #g20orchestra telah mulai memecahkan masalah tersebut dan mengeksekusinya.
Dengan G20 Orchestra, kita telah membuka babak baru.
Sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi para menteri kebudayaan G20, ada 40-an pemusik muda dunia berkumpul dan bergabung bersama 30 musikus Indonesia, bermusik bersama.
Saling mendalami budaya negara-negara lain dari sejak sarapan sampai makan malam bahkan mungkin mengobrol sampai malam, saling tukar pikiran tentang masa depan musik di dunia yang lebih baik, mulai dari masalah ketenagakerjaan di dunia musik, komunikasi dan relevansi musik dengan penonton dan masyarakat luas hingga isu keberagaman dan inklusi.
Semuanya merupakan isu lintas generasi, lintas pandangan politik, latarbelakang budaya, gender, ras dan bangsa.
Mereka yang dari Eropa, tempat lahirnya musik klasik dan kuat memegang tradisi berbaur dengan mereka dari Asia dan Afrika yang sama sekali tidak terikat tradisi musik klasik sehingga lebih bebas berinovasi.
Semua itu demi masa depan kita bersama.
Semoga dengan mengenal budaya lain lebih dalam, para musikus ini makin menguatkan identitas masing-masing sebagai seniman yang berintegritas dan berkualitas, terutama untuk para musikus Indonesia untuk lebih menyalakan sinar musik klasik Indonesia di dunia.
Berikut para musikus instrumen gesek Indonesia yang terpilih untuk bergabung di G20 Orchestra di Candi Borobudur, 12 September nanti :
Violin (pembagian violin 1 dan 2 akan ditentukan lebih lanjut)
Glen Afif Ramadan
Arum Kusuma Dewi
Christopher Robin Tania
Helmi Hardico Herlambang
Lydia Evania Lukito
Nathanael Hertanto
Reza Nurdian
Ibnu Aji Wasesa
Andreas
Amadea Nathania Pranoto
Ni Made Adinda Laksmi Danaswari
Taradita Kalyana Yasmin
Michelle Putri Hamijoyo
Aurell Marcella Felicia
Yuli
Aghisna Indah Mawarni
Risang Augus Rahmanto
Rebecca
Cadangan Violin (akan menggantikan jika ada kandidat berhalangan, berdasarkan urutan)
Julian Arya Krismandanu
Saynediva Al Fatah Putra
Philbert Neals
Mario Lasar
Viola
Tiffany Limantoro Hieronymus
Bimo Lambang Dwityo Putro
Bayu Caritas
Sendi Orysal
Cadangan Viola (akan menggantikan jika ada kandidat berhalangan, berdasarkan urutan)
Gabriel Waskitha Kurniawan
Stefani Leoni
Cello
Dubertho Christnoval Ngongady
Vincent Limantoro
Gian Nugra Adanta
Febie Devina
Jonathan William
Raden Dwityatama Darmasakti
cadangan cello (akan menggantikan jika ada kandidat berhalangan, berdasarkan urutan)
William Hendricko Adinata
Abraham Raditya
Nafisah Aini
Kontrabas:
Arya Adithya
Rai Ikhwan
Kami juga memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada para musikus muda belia yang menunjukkan kualitasnya yang sangat menjanjikan, tapi saat ini belum dapat kami terima menjadi bagian dari G20 Orchestra karena pengalaman mereka yang masih kurang dalam bermain di orkes.
Untuk acara-acara lain, kami pasti akan mengingat nama-nama di bawah ini dan mengajaknya untuk berpartisipasi :
Veeshan Nathaniel Tandino (10 tahun), Cherlyne Florencia (15 tahun) dan Ursulla Puruhita Shimamurti (16 tahun).
Semoga inisiasi G20 orchestra dari pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia ini bisa menjadi sebuah awal dari G20 Orchestra lain nya di tahun - tahun berikutnya di masa Presidensi negara lainnya.