Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sebelum Dukung Kenaikan BBM, Adian Napitupulu Harusnya Belajar Matematika dan Sejarah Dulu
Saya menyarankan agar Bang Adian bisa lebih telisik membaca data dan sejarah sehingga tidak terjebak menjadi pendukung pemerintah yang membabi buta.
Editor: Malvyandie Haryadi
![Sebelum Dukung Kenaikan BBM, Adian Napitupulu Harusnya Belajar Matematika dan Sejarah Dulu](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/antrean-pengisian-bbm-di-spbu-wastukencana-bandung_20220903_211129.jpg)
PENULIS: Hendri Teja
Sekretaris Bakomstra DPP Partai Demokrat
TRIBUNNERS - Tulisan Bang Adian Napitupulu berjudul “Sebelum Demokrat Demo baiknya belajar matematika dan sejarah dulu” patut diluruskan.
Karena banyak penyesatan logika di sana-sini.
Pertama, Adian mesti crosscheck data. Kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia.
Jika harga minyak mentah dunia naik, maka harga BBM naik, dan begitu sebaliknya.
Makanya, era SBY pernah menurunkan harga BBM premium hingga Rp 4.500 ketika harga minyak mentah dunia turun.
Baca juga: Adian Napitupulu: Sebelum Demokrat Demo Kenaikan BBM, Baiknya Belajar Matematika dan Sejarah Dulu
Sementara pada Juli 2018, ketika harga minyak mentah dunia meroket sampai US$ 128,08 per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM Premium di angka Rp 6.000.
Bandingkan dengan era Jokowi yang mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018, padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya.
Misalnya, pada Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah yaitu US$ 27,02 per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp7.900.
Bisa anda bayangkan? Harga minyak mentah dunia lebih murah US$ 100 dollar dari era SBY, tapi harga BBM era Jokowi justru lebih mahal Rp 1.900.
Kedua, jika mengacu pada UMP Jakarta 2013, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan ngotot menolak kenaikan BBM, pemerintahan SBY telah menetapkan peraturan terkait kebutuhan hidup layak sehingga UMP 2012 ke 2013 bisa naik 44 persen.
Bandingkan dengan kenaikan BBM tahun ini di mana UMP Jakarta 2022 cuma tumbuh 0,8% dari 2021. Tragisnya, setelah Anies merevisi UMP 2022 Jakarta sebesar 5,1 persen, dia malah digugat ke pengadilan.
Ketiga, apa pula maksud Adian membangga-banggakan pembubaran Petral? Bukankah Pertamina masih merugi?
Bukankah Progam BBM 1 harga gagal?
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.