Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Terbuka Oleh Telko, Tertinggal di Pendidikan
Begitu dihargainya gedung yang rencananya dua ruang itu, anak-anak yang datang menggunakan alas kaki meninggalkannya di depan pintu.
Editor: Hendra Gunawan
Ada keceriaan lain di wajah warga pulau sejak awal tahun dengan dibangunnya BTS (base transceiver station) oleh Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi), sebuah badan layanan umum dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Badan ini bertugas membuka keterasingan kawasan 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) di seluruh Indonesia.
Bakti menyediakan layanan seluler 4G yang langsung membuat banyak biaya berkurang. Misalnya biaya transpor ke pulau lain atau ke Sorong biayanya sejuta rupiah demi mengunduh dan merekam bahan pelajaran dari Youtube atau Google untuk dibagikan lewat laptop pribadi dua guru. “Dengan video, murid mudah mengerti pelajaran,” kata Herlin.
Menunggu Dermawan
Sebelum ada BTS, untuk mengunduh Youtube atau berkomunikasi mereka naik ke rumah pohon setinggi 4 meter yang dibangun penduduk, meski sinyalnya kadang ada kadang tidak. Kini sinyal ada terus dari BTS 4G yang berkapasitas 8 MHz dengan sumber daya listrik dari sel solar.
“Tidak usah ke Sorong, semua bisa dilakukan di sini. Saya juga bisa menghubungi anak yang kuliah di Menado atau yang sekolah di NTT,” ujar Silva.
Ia dan Herlin berharap ada dermawan yang mau membantu menyelesaikan bangunan kelas, juga berharap ada sumbangan ponsel – bekas pun jadi – untuk murid-murid yang tidak mampu. Dari 70 murid SD, yang punya ponsel tak sampai sejumlah jari tangan kiri.
Tidak semua kawasan 3T bisa dibangunkan BTS oleh Bakti, yang dananya disumbang dari dana USO (universal service obligation) sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor operator seluler.
Selama 6 tahun sejak 2015 hanya terbangun 1.682 lokasi, atau rata-rata 280 BTS setahun, padahal dibutuhkan sekitar 100.000 titik di seluruh kawasan 3T yang berpenduduk 26,5 juta jiwa. Beruntungnya, sejak 2021 sampai saat ini terbangun 2.555 titik yang kalau dengan pola pembangunan sebelumnya, baru bisa selesai sekitar 8 tahun.
Pada pandemi Covid-19 ketika ada lock down, mobilitas pekerja sangat terbatas selain karena ketakutan pada aksi kriminal. Perekonomian dunia pun kurang bagus sehingga suku cadang yang dibutuhkan langka karena banyak pabrik yang tutup, logistik dan distribusi material terganggu sehingga pembangunan melambat. Namun bersama konsorsium Lintasarta, Huawei dan SEI (Surya Energi Indotama) Bakti tetap membangun di Paket 3 bersama konsorsium lain di paket 1-2 dan 4-5.
Padahal beban pekerjaan menumpuk berlipat ganda, karena harus menyelesaikan PR pekerjaan tahun 2021. Tahun ini, Bakti yang mendapat kucuran dana dari APBN bertekad pembangunan akan terus digiatkan. (*)
*)Moch S Hendrowijono adalah pengamat telekomunikasi dan mantan wartawan senior Harian Kompas
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.