Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Transisi Energi Indonesia dan Urgensi Renewable Energy
Pernyataan Guterres menegaskan pentingnya seluruh elemen di dunia melakukan kerja-kerja konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Berdasarkan data Kementerian ESDM, sampai dengan April 2022, Indonesia secara total memiliki 253 PLTU. Pemensiunan PLTU-PLTU yang masih beroperasi jelas memicu tambahan biaya yang kudu ditanggung PLN.
Lalu, sebagai perusahaan pelat merah, pihak mana yang akan menggantikan tambahan biaya itu? Apakah harus melalui penaikan tarif listrik yang digunakan oleh para pelanggan? Tentu akan ada resistensi besar dari publik terkait hal tersebut.
Opsi lain adalah penyertaan modal negara (PMN). Namun, opsi ini juga bukan tanpa tantangan, mengingat tahun politik yang kian dekat membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pihak yang berkepentingan akan menjaga reputasi mereka dengan enggan mengambil keputusan yang tidak populer semacam itu.
Efek lain yang harus diantisipasi pemerintah berkaitan dengan sektor ketenagakerjaan.
Kementerian ESDM mencatat industri batu bara sebagai pendukung utama PLTU telah menyerap 245 ribu orang tenaga kerja, sementara tenaga kerja di pembangkit listrik 310 ribu orang dengan separuhnya pada PLTU.
Oleh karena itu, mau tidak mau, secara bertahap pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas kemampuan ratusan ribu orang itu. Paralel dengan pemensiunan PLTU, mereka harus memperoleh tambahan kecakapan dalam kaitannya dengan operasionalisasi pembangkit listrik EBT sehingga nantinya tidak akan berujung kepada kekecewaan lantaran tidak dapat bekerja.
Untuk jangka panjang, regulasi khusus EBT mutlak hadir. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang bertujuan menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan EBT.
Namun, itu semua tidak cukup. Diperlukan peraturan setingkat undang-undang yang dapat memayungi beragam aspek dalam pengembangan EBT di tanah air.
Baca juga: Duta Besar Inggris: Presidensi G20 Indonesia Perkuat Kemitraan Perdagangan hingga Transisi Energi
Saat ini, pembahasan dan penyusunan RUU EBT masih terus berlangsung di Senayan. Parlemen masih menanti daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk kemudian melanjutkan pembahasan RUU itu.
Harapan kita semua tentu beleid itu nantinya akan memberikan kepastian hukum hingga menciptakan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan.
Penulis tentu berharap agar RUU EBT segera dituntaskan. Pemerintah dan politisi di Senayan harus menunjukkan komitmen menuntaskan RUU tersebut, apalagi tahun politik kian dekat.
Jangan sampai muncul kesan kalau RUU EBT sulit diselesaikan karena ada kepentingan pengusaha tertentu yang bisnisnya berpotensi terancam jika RUU itu lahir. Ingat bahwa transisi energi berkaitan erat dengan masa depan anak cucu kita, bukan kepentingan sesaat semata.
*) Hafif Assaf: Government Affairs Profesional dan Pemerhati Kebijakan Publik.