Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Transisi Energi Indonesia dan Urgensi Renewable Energy
Pernyataan Guterres menegaskan pentingnya seluruh elemen di dunia melakukan kerja-kerja konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Pernyataan Guterres menegaskan pentingnya seluruh elemen di dunia melakukan kerja-kerja konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Seperti kita ketahui bersama, tidak terhitung korban jiwa hingga materiil akibat bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim. Belum lagi kerugian-kerugian dalam bentuk lain yang diderita berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia.
Para pemimpin dunia tentu tidak tinggal diam merespons fenomena tersebut. Pada tahun 2015, telah lahir program Net Zero Emissions (NZE) pasca Paris Climate Agreement yang bertujuan menekan pencemaran lingkungan yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global di mana Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan dukungan internasional.
Energi tentu menjadi salah satu sektor yang difokuskan di mana berbagai negara lantas merilis peraturan-peraturan terbaru dalam konteks penyediaan energi listrik.
Pemerintah Indonesia memiliki lima prinsip utama dalam program NZE, yaitu pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS). (Sumber: Kementerian ESDM).
Khusus untuk EBT, pemerintah menetapkan target bauran energi dari EBT mencapai 23 persen pada tahun 2025. Namun demikian, porsinya sampai dengan tahun 2021 baru mencapai 11,5 persen.
Berdasarkan data dan fakta yang ada, maka tak ayal percepatan transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber EBT kian relevan.
Penulis menilai, JETP Indonesia yang lahir dalam pertemuan KTT G20 lalu tentu berpotensi menjadi tambahan 'tenaga' bagi pemerintah mempercepat transisi energi tersebut.
Harapannya adalah komitmen semakin maksimal dalam menggunakan sumber daya EBT yang begitu melimpah di tanah air disertai komitmen politik yang solid dalam percepatan penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam jangka menengah ke depan.
Baca juga: Kolaborasi Stakeholder Dinilai Bisa Perbaiki Iklim Investasi Migas saat Transisi Energi
Dari sisi nominal, mobilisasi dana JETP Indonesia yang mencapai US$ 20 miliar tentu bukan 'kaleng-kaleng'. International Partner Group (IPG) yang terdiri dari Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa bakal memobilisasi dana publik US$ 10 miliar dolar AS dan Kelompok Kerja Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) akan memobilisasi dan memfasilitasi dana swasta 10 miliar dolar AS. (Pemerintah Inggris Raya).
Tidak mudah
Berkaitan dengan berbagai dinamika di atas, penulis hendak fokus kepada dua titik pembahasan, yaitu langkah pemerintah mempensiunkan PLTU dan regulasi EBT.
Pemensiunan PLTU tentu bukanlah hal yang mudah, terutama bagi PT PLN (Persero). PLN telah meluncurkan peta jalan pensiun dini PLTU hingga 3,5 GW. Mengacu kepada keterangan PLN, jumlah itu lebih besar dari pensiun alami sesuai umur ekonomis pembangkit batu bara sebesar 3,2 GW pada tahun 2040.
Selain pensiun dini, PLN juga sudah mengurangi kapasitas PLTU di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari 27 GW menjadi 13,9 GW. Upaya lain perseroan adalah menurunkan penggunaan batu bara dengan cara mengganti batu bara dengan biomassa (cofiring) di mana skema ini telah diimplementasikan di 33 PLTU dari 48 pembangkit.