Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yuk Kenali Apa Itu Antropologi Kematian
Antropologi ragawi atau biologi yang berspesialisasi dalam konteks forensik terutama memfokuskan studinya pada rangka manusia.
Penulis: Setya Krisna Sumarga
OLEH : RUSYAD ADI SURIYANTO, Laboratorium Biopaleoantropologi FKKM UGM
ANTROPOLOGI yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah antropologi ragawi atau biologi (biological anthropology).
Antropologi ini terbagi dalam dua divisi besar, yakni antropologi hidup (living anthropology) dan antropologi mati (death anthropology).
Dalam divisi antropologi mati terdapat subdivisi antropologi forensik dan paleoantropologi.
Di sini kita dapat menyaksikan betapa antropologi mati ini merupakan studi yang meliputi rentang waktu relatif sangat jauh.
Mulai kemunculan leluhur manusia beberapa juta tahun yang lalu sampai manusia sekarang.
Seorang ahli antropologi kematian bisa mempunyai dua keahlian sekaligus, baik antropologi forensik maupun paleoantropologi.
Seorang ahli antropologi kematian juga bisa memilih untuk konsentrasi pada antropologi forensik atau paleoantropologi.
Baca juga: Apakah Manusia Purba Jawa Sudah Mampu Berbahasa?
Baca juga: Penemu Manusia Purba Pithecanthropus Erectus, Ini Pola Kehidupan Manusia Purba
Kompetensi dasar dalam kedua subdivisi itu adalah identifikasi profil biologis, baik genetis maupun morfologis.
Untuk profil biologisnya lebih menekankan pada material-material osteologis (tulang-belulang) dan odontologis (gigi-geligi).
Pemahaman kompetensi dasar itu telah didapatkan dari antropologi ragawi atau biologi.
Rekam Jejak Tubuh Manusia
Pada badan manusia terekam catatan autobiografis si empunya. Boleh juga dimaknai badan manusia itu terdapat semacam prasasti.
Semakin bertambah umur, semakin si empunya memiliki banyak rekam catatan pada badannya.
Saat si empunya mati, maka badan matinya terus menjalani proses dekomposisi, sampai ke proses skeletonisasi, yakni hanya berupa jaringan keras tulang-belulang dan gigi-geliginya.
Lambat laun jaringan-jaringan keras itu diadwarkan oleh alam. Seharusnya semua material biologis yang mati itu diadwarkan oleh dan ke alam.
Kadangkala ada aktivitas geologis yang menghambat atau mengawetkan proses pengadwaran itu, baik itu individu dari masa lampau atau relatif masa kini.
Oleh karena itu kadangkala masih terdapat sisa-sisa biologisnya walau makin terbatas.
Tulang-belulang dan gigi-geligi yang terbatas itu dibaca oleh ahli antropologi forensik dan paleoantropologi dengan bahasa tulang (language of bones), dan direkonstruksi sampai beberapa tingkat ekstrapolasi.
Manusia sebagai makhluk biokultural tentu juga meninggalkan jejak atau bekas perilaku (kultural) pada badannya.
Kadangkala beberapa jejak atau bekas itu juga terekam pada tulang-belulang dan gigi-geliginya. Rekaman perilaku atau kulturalnya itu juga penting untuk rekonstruksinya.
Antropologi forensik adalah aplikasi antropologi ragawi atau biologi dalam konteks forensik. Definisi itu mengacu kepada American Board of Forensic Anthropology.
Antropologi ragawi atau biologi yang berspesialisasi dalam konteks forensik terutama memfokuskan studinya pada rangka manusia.
Kerja Multi Disiplin Ilmu
Kerja antropologi forensik mencakup identifikasi sisa-sisa rangka, badan yang sudah mengalami dekomposisi lanjut atau dugaan sisa-sisa manusia yang belum teridentifikasi.
Antropolog forensik dapat bekerja sama dengan ahli patologi forensik, dokter gigi forensik, dan penyidik untuk mengidentifikasi orang yang telah meninggal serta waktu dan cara kematiannya.
Antropologi forensik dapat membantu menentukan usia, jenis kelamin, afiliasi rasial, tinggi badan, trauma dan patologi yang terberkas pada tulang dan gigi serta ciri-ciri unik almarhum dari sisa-sisa badannya, misalnya lateralitas badan, stress marker dan seterusnya.
DVI Indonesia adalah salah satu dari DVI International. DVI Indonesia di bawah Markas Besar Kepolisian RI.
DVI Indonesia bekerja untuk melakukan identifikasi korban-korban bencana massal, baik bencana alam (gempa, tsunami, banjir, badai, vulkanik, gelombang pasang dst), maupun bencana karena ulah manusia (sabotase, bom, kecelakaan pesawat, kapal, kereta, bus dst).
Seringkali korban-korban mati dalam bencana massal itu sudah sulit dikenali, relatif tidak lengkap dan utuh.
Bahkan kadangkala sudah mengalami dekomposisi lanjut. Beberapa korban hanya menyisahkan jaringan kerasnya, yakni tulang-belulang dan gigi-geliginya.
Negara kita – Indonesia – secara geografis berada di antara benua Asia dan Australia. Pengaruh angin Muson dari Asia ke Australia mempengaruhi kondisi angin/ badai, curah hujan, gelombang dan kemarau di negara kita.
Posisi di Wilayah Bencana
Negara kita juga merupakan pertemuan lempeng-lempeng Asia dan Australia yang mempengaruhi kegempaan wilayahnya.
Negara kita juga salah satu negara yang memiliki gunung api aktif terbanyak di dunia, dan merupakan bagian dari “Ring of Fire” atau sabuk/ cincin gunung api Asia Pasifik.
Negara kita terdiri atas ribuan pulau; oleh karena itu, transportasi yang memadai untuk menghubungkannya dengan transportasi laut dan udara.
Singkatnya, kondisi demikian membawa negara kita bagai “super market bencana”. Kedokteran bencana dan kegawat-daruratan merupakan keniscayaan dari sistem kesehatan negara kita.
Dalam bencana massal itu ahli antropologi forensik berperan untuk menangani dan mengidentifikasi korban-korban mati manusia, baik bersama DVI Indonesia, instalasi forensik dan instansi terkait lainnya.
Tugas identifikasi antropologi forensik masuk dalam Fase II DVI (yakni pengumpulan data postmortem).
Di sini para ahli antropologi forensik mengidentifikasi jenazah-jenazah – khususnya yang sudah mengalami dekomposisi lanjut – atau bahkan sudah dalam kondisi dry bones.
Proses ini untuk menentukan umur, jenis kelamin, afiliasi rasial, dan tinggi badannya, serta analisis patologis atau trauma yang terekam pada material-material osteologis dan odontologisnya.
Hasil-hasil identifikasinya masuk dalam data postmortem – tepatnya sebagai data sekunder postmortem.
Data ini akan dibawa ke Fase IV DVI (yakni rekonsiliasi) untuk dikomparasikan dengan data Fase III (yakni pengumpulan data antemortem).
Identifikasi umur berdasarkan material-material osteologis dan odontologis jenazah dapat menggunakan beragam metode.
Antara lain menentukan umur berdasarkan jadwal erupsi dan keausan gigi-geligi, berdasarkan penyatuan epyphysis dan diaphysis tulang-tulang ekstremitas, perubahan morfologi permukaan symphysis pubis, facies auricularis pada os pelvis dan derajat penyatuan sutura-sutura tengkoraknya.
Identifikasi jenis kelaminnya berpedoman setiap tulang itu memiliki dimorfisme seksual.
Oleh karena itu setiap tulang dapat ditentukan jenis kelaminnya; walaupun tidak semua tulang itu memiliki derajat dimorfisme yang sama.
Laboratorium Masa Purba
Tulang yang memiliki derajat dimorfisme seksual sangat tinggi mudah ditentukan jenis kelaminnya, antara lain: tulang pelvis atau coxae (panggul) dan tengkorak.
Untuk identifikasi rasial yang paling mudah dengan menyelidiki tengkoraknya. Tengkorak adalah tempat karakteristik-karakteristik utama untuk identifikasi rasial.
Afiliasi rasial utama adalah populasi Mongoloid, Kaukasoid dan Negroid. Untuk konteks Indonesia, maka perlu untuk memahami karakteristik populasi Mongoloid dan Australomelanesoid.
Secara umum populasi Indonesia bagian barat dan utara merujuk ke populasi Mongoloid, dan bagian selatan dan timur merujuk ke populasi Australomelanesoid.
Populasi Mongoloid dan Australomelanesoid itu berasal dari leluhur yang relatif sama berdasarkan bukti-bukti paleoantropologis dan aDNA-nya.
Penentuan tinggi badannya berpedoman secara populasional badan manusia itu proporsional; oleh karena itu kita dapat memperkirakan tinggi badan seseorang berdasarkan segmen-segmen badannya.
Kita dapat memperkirakan tinggi badannya berdasarkan panjang lengan atas atau humerusnya, radius dan ulnanya, serta pangjang paha atau femurnya, tibia dan fibulanya.
Bahkan kita dapat memperkirakan tinggi badan seseorang berdasarkan panjang dan lebar tangannya atau panjang dan lebar kakinya.
Beberapa patologi atau trauma dapat terekam atau terbekas pada material-material osteologis dan odontologisnya.
Patologi-patologi yang terekam pada tulang-belulang itu dapat berasal dari penyakit-penyakit infeksi, gangguan hematologis, tumor, kanker, sipilis dst.
Patologi-patologi yang terekam pada gigi-geligi itu dapat berupa karies, enamel hypoplasia, atrisi, dental calculus dan seterusnya.
Paleoantropologi adalah ilmu manusia purba. Dalam arti luas, ilmu ini meliputi tidak hanya manusia, tetapi juga karya dan lingkungannya.
Dalam arti sempit, ilmu ini mempelajari evolusi dan variasi biologis manusia purba (early men), serta biasanya ilmu ini juga dapat meliputi kajian tentang manusia kuno (ancient men), sejak akhir Pleistosen hingga beberapa ratus tahun yang lalu.
Pendek kalimat, konsentrasi kajian paleoantropologi ini meliputi babakan akhir liputan paleoprimatologi hingga liputan awal antropologi historis.
Pastilah sisa-sisanya yang ditemukan itu berupa sampel kebetulan, yang kemudian direkonstruksi untuk mengetahui biologinya, dan jika memungkinkan kondisinya, aspek biokultural dan ekologisnya.
Umumnya, makin purba temuan-temuannya, maka makin sedikit jumlahnya dan makin fragmentaris keadaannya.
Jadi, tujuan paleoantropologi adalah mengetahui kehidupan biokultural manusia sejak kemunculannya di bumi, evolusinya melalui masa dan wilayah distribusinya selama dan seluas mungkin.
Indonesia telah dihuni manusia purba dan kuno dari masa sekitar dua juta tahun yang lalu. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi miniatur untuk mempelajari evolusi manusia dan evolusi ekosistem manusia.(*)