Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia

hahir bin Ali bin Balqasim al-Haddad. Ia lahir di Ibukota Tunis pada tahun 1899.Sejak kecil, Thahir al-Haddad belajar di Kuttab.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia
Dokumen Pribadi KH. Imam Jazuli.
Patung Thahir Al-Haddad diabadikan di Tunisia, foto diambil pada Rabu (21/12/2022). Thahir adalah bapak Feminisme Tunisia, Nama lengkapnya adalah Thahir bin Ali bin Balqasim al-Haddad. Ia lahir di Ibukota Tunis pada tahun 1899. 

Kepergian al-Tsa’alabi menciptakan prahara batin di hati al-Haddad. Ia dihinggapi rasa bosan tiada taranya, malas berdialog dan berdiskusi dengan kelompok orang-orang PLD yang dianggap telah menyimpang dari cita-cita awal perjuangan.

Baca juga: Tunisia, Sejarah dan Pengaruh Revolusi Melati pada Dunia Arab

Al-Haddad pun banyak menulis. Sebagai seorang aktivis sekaligus penulis, Thahir Haddad banyak melahirkan artikel di berbagai majalah, seperti majalah Al-Ummah, Mursyid al-Ummah, dan majalah Afrikiya.

Pada tahun 1927, Thahir al-Haddad menulis sebuah buku berjudul “Al-'Ummal al-Tunisiyyun wa Zhuhur al-Harakah al-Niqabiyah” (Tunisian Workers and the Emergence of the Trade Union Movement).

Dalam buku tersebut, pemikiran al-Haddad tentang pembelaannya terhadap kaum buruh sangat kentara. Buku karya Thahir al-Haddad tersebut di atas disita oleh pemerintah kolonial Perancis. Pemerintah melarang perederan buku tersebut, karena dianggap berpotensi menciptakan kekacauan sosial.

Dari banyak tulisan inilah, kita bisa dengan utuh membaca pemikiran Thahir Haddad. Tampaknya, ia sedang memperjuangkan gagasan feminisme. Sebagai catatan, gerakan pertama feminisme Eropa dimulai pada tahun 1800-an. Sedangkan al-Haddad lahir pada 1899.

Di sisi lain, kebudayaan dan tradisi intelektual Tunisia bersentuhan langsung dengan Eropa, khususnya Perancis. Tunisia adalah mantan koloni Perancis. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan Eropa ke Tunisia sangat terbuka lebar.

Baca juga: Gus Dubes Tunisia Zuhairi Misrawi dan Negeri Lumbung Peradaban Islam

Thahir al-Haddad ikut serta mengkampanyekan gagasan feminisme Eropa di Tunisia. Dari banyak tulisannya, ia menginginkan kebebasan bagi kaum perempuan muslimah. Dengan begitu, perempuan sangat mungkin menjadi pemimpin di tengah masyarakat.

Berita Rekomendasi

Thahir al-Haddad juga menuntut praktik perceraian yang ditangani secara hukum. Dengan begitu, kaum lelaki tidak bisa semena-mena mempermainkan hubungan suami-istri. Bagi Thahir al-Haddad, kebebasan suami mencerai istrinya harus dibatasi undang-undang positif.

Thahir al-Haddad juga ingin membatasi wewenang hak laki-laki atas istrinya, terutama terkait poligami. Walaupun agama Islam, sebagai agama mayoritas penduduk Tunisia, mengizinkan poligami. Thahir al-Hadad menolak ajaran tersebut dan menganggapkan sebagai kesewenangan lelaki atas perempuan.

Uniknya, Thahir al-Haddad juga mendorong kaum perempuan terjun ke dunia olahraga. Ada banyak kaum perempuan Eropa yang sudah melangkah jauh ke dunia olahraga. Menjadi atlet mewakili negaranya. Dan bersaing dengan kaum lelaki.

Perempuan Tunisia, bagi al-Haddad, harus mampu menyaingi prestasi kaum perempuan Eropa. Tentu saja, kampanye Thahir al-Hadad tersebut menuai banyak kritik. Walaupun pada akhirnya membuahkan hasil manis. Itu sejak terbitnya hukum positif Tunisia tentang Ahwal Shahsyiyah pada 3 Agustus 1956.

Berkat pemikiran Thahir al-Haddad yang dianggap sekuler, modernis, dan zindik ini. Pada gilirannya, masyarakat Tunisia mau menerimanya. Misalnya, pada tahun 2000, berdirilah Team Nasional Sepak Bola Perempuan Tunisia.

Artinya, butuh setengah abad lebih masyarakat Tunisia mau memahami arti penting pemikiran Thahir al-Haddad. Walaupun al-Haddad meninggal pada 1935, ia mestinya bahagia di alam kubur, karena masa depan perempuan Tunisia yang dibayangkannya, perlahan tapi pasti, terwujud menjadi kenyataan.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas