Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ultra Petitum No, Vonis Mati Ferdy Sambo Yes, Vonis 1,5 Tahun Eliezer Yes
Putusan majelis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan JPU tidak termasuk dalam pengertian “ultra petitum” karena yang dicari adalah keadilan hakiki.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang diketuai Wahyu Iman Santoso, Senin (13/2/2023), menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Vonis hukuman mati ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yakni penjara seumur hidup.
Di hari yang sama, Majelis Hakim yang sama menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, dalam perkara yang sama.
Vonis ini juga lebih berat dari tuntutan JPU selama 8 tahun.
Keesokan harinya, Selasa (14/2/2023, Majelis Hakim yang sama pula menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Kuat Ma’ruf, asisten rumah tangga Ferdy Sambo-Putri Candrawathi, dan vonis 13 tahun penjara kepada Bripka Ricky Rizal Wibowo dalam kasus yang sama pula.
Baca juga: Akankah Ferdy Sambo Bongkar Isi Buku Hitam Setelah Divonis Hukuman Mati ?
Keduanya dituntut penjara 8 tahun oleh JPU, sehingga vonis 15 dan 13 tahun penjara tersebut juga lebih berat dari tuntutan JPU.
Esoknya lagi, Rabu (15/2/2023), Majelis Hakim yang sama menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, terdakwa pelaku penembakan terhadap Brigadir J. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan JPU selama 12 tahun penjara.
Atas vonis terhadap Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal Wibowo yang lebih tinggi dari tuntutan JPU tersebut penulis katakan “yes” alias sependapat dengan majelis hakim.
Demikian juga atas vonis terhadap Eliezer yang jauh di bawah tuntutan JPU, penulis juga katakan “yes” atau sependapat dengan majelis hakim.
Akan tetapi atas pendapat sejumlah pihak bahwa vonis Majelis Hakim PN Jaksel kepada Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal Wibowo yang lebih tinggi dari tuntutan JPU dikatakan sebagai “ultra petitum”, mohon maaf penulis katakan “no” alias tidak sependapat. Mengapa?
Putusan majelis hakim yang lebih tinggi dari tuntutan JPU tidak termasuk dalam pengertian “ultra petitum” karena yang dicari adalah keadilan hakiki.
Hal ini berbeda dengan keputusan majelis hakim dalam ranah perdata.
Di dalam ranah perdata, tuntutan/gugatan adalah merupakan permintaan dari penggugat yang dapat diartikan sebagai keadilan yang dipandang dari pikiran dan perasaan penggugat.
Sedangkan di ranah pidana, keadilan tersebut adalah menjadi miilik masyarakat, sehingga wajib ditemukan keadilan yang hakiki.
Kalau putusan majelis hakim dalam ranah perdata melebihi gugatan, maka dapat diakatakan “ultra petitum”, sedangkan di dalam ranah pidana semata-mata untuk mendapatkan keadilan yang hakiki.
Hal ini dikarenakan dalam kasus pidana, hak korban untuk menuntut diambil alih oleh JPU sehingga terdapat kemungkinan tuntutan tersebut tidak sepenuhnya mewakili rasa keadilan yang sebenarnya.
Adapun putusan majelis hakim kepada Richard Eliezer yang ternyata lebih rendah dari tuntutan JPU juga merupakan putusan yang sangat baik dan adil.
Tidak sedikit yang mengatakan bahwa RE semestinya tidak dikenakan sanksi pidana karena melaksanakan perintah jabatan. Atas pendapat tersebut penulis tidak sependapat.
Memang, Pasal 51 KUHP menyebutkan“(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana’; dan “(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”
Namun perlu kita ketahui dan pahami bersama terkait fungsi polisi sesuai Pasal 2 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal ini menyatakan “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perintah jabatan adalah perintah dari atasan yang berwenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan fungsi polisi, yaitu di antaranya penegakan hukum, serta perlindungan dan pengayoman masyarakat.
Dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, jika terjadi kesalahan (malapraktik) maka pelaksana tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana, tetapi jika perintah itu di luar dari fungsi polisi yang telah ditetapkan dan itu melanggar hukum, apalagi menghilangkan nyawa manusia, maka tindakannya tetap dinyatakan salah, sehingga tetap dikenakan sanksi pidana.
Selebihnya, apresiasi atas keberanian Majelis Hakim PN Jaksel dalam menemukan keadilan yang hakiki. Bravo!
* Dr Anwar Budiman SH MH: Praktisi Hukum, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.