Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KH. Imam Jazuli: Kenapa Ngaku NU Wajib Ber-PKB?
PKB lahir dari rahim NU dan sebagai alat Politik NU. Dan itu hanya satu-satunya (the only one).
Editor: Husein Sanusi
Kenapa Ngaku NU Wajib Ber-PKB
*Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc. MA
TRIBUNNEWS.COM - Ada banyak pihak yang tidak suka jika NU dan PKB bersatu. Inilah yang perlu disadari oleh warga NU dan warga PKB. Karena itu, saya gencar menggelorakan semangat agar warga NU wajib ber-PKB, meskipun saya bukan pengurus struktural NU maupun PKB.
Ada alasan yang perlu kita pahami bersama
Setelah berakhirnya Muktamar NU yang memilih KH. Yahya Cholil Staquf sebagai ketua umum PBNU, hubungan antara PBNU dengan PKB menghangat oleh ketegangan. PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar tampaknya tak semesra dengan PBNU ketika dipimpin KH. Said Aqil Siradj.
Beberapa kejadian seperti dipanggilnya pengurus NU Banyuwangi dan Sidoarjo oleh PBNU dan arahan Gus Yahya tentang sikap NU di politik praktis, ditambah lagi dengan absennya Cak Imin di acara pelantikan PBNU di Kalimantan Timur menjadi indikator hubungan yang sedang menghangat itu.
Beberapa pengamat berpendapat bahwa menghangatnya hubungan tersebut disinyalir karena kepengurusan PBNU di bawah Gus Yahya kurang mengakomodir beberapa kader PKB.
Hemat saya, dinamika tersebut perlu dijadikan ‘warning’ bersama. Tentunya bagi warga NU.
Hanya PKB ‘The Only One’ Alat Politik NU
Sejak Cak Imin berkunjung ke Pesantren Bina Insan Mulia yang pertama, memang saya kerap menerima kunjungan silaturrahim para fungsionaris PKB. Antara lain Gus Jazilul, Kang Cucun, dan lain-lain. Diskusi dan dialog berkelanjutan terjadi untuk membahas hubungan NU dan PKB akhir-akhir ini.
Sebagai pecinta NU yang kaffah (total), yang sering saya sebut sebagai NU kultural, saya menegaskakan bahwa PKB lahir dari rahim NU dan sebagai alat Politik NU. Dan itu hanya satu-satunya (the only one). Fakta sejarahnya jelas. PKB lahir dari NU yang dimotori oleh Gus Dur dan ulama-ulama sepuh NU.
Karena itu, bagi siapa saja yang mengaku cinta NU, maka secara otomatis terkena konsekuensi untuk wajib cinta PKB. Mengaku NU tapi tidak ber-PKB, ya dipertanyakan ke-NU-annya. Paling tidak seperti emas yang hanya 15 karat.
PKB punya arti dan posisi yang penting bagi perjuangan NU. Sedikit saya ingin memberi gambaran. Almarhum
ayah saya pernah bercerita. Dulu Kiai Sanusi Gunung Puyuh Sukabumi itu secara ubudiah (perilaku ibadah) memilih ala NU total, tetapi secara politik justru memilih Masyumi.
Akhirnya apa? Maka lahirlah ormas PUI (Persatuan Umat Islam) yang didirikan bersama Kiai Abdul Halim Majalengka. Jadi PUI itu bukan NU, karena belum kaffah dalam ber NU-nya.
Padahal, jika kesadaran berpolitik itu sinergis dengan kesadaran ber-jam’iyyah dan berjama’ah, maka kekuatan NU dan partai yang menjadi alat politiknya akan jauh lebih powerful dalam memperjuangkan kemaslahatan publik.
Bukti yang paling konkret telah dicontohkan oleh Wali Songo. Dengan kekuasaan politik di tangannya, Sunan Gunung Jati mampu menciptakan perubahan pembangunan lebih masif, lebih total, dan lebih cepat.
Kemaslahatan publik yang dihadirkan jauh lebih aktual dan jauh lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat di tingat riil. Mulai dari sistem perdagagan, fasilitas pelabuhan, jalan raya, pemerintahan, pendidikan, dan seterusnya dan seterusnya.
Berdakwah tanpa politik kekuasaan memang tetap baik, tetapi kalau bicara dari aspek kecepatan, kedahsyatan,dan kemenyuluruhan, tentu tidak bisa mengalahkan dakwah yang didukung dengan politik kekuasaan. Karena itu, “Ngaku NU Wajib Ber-PKB”.
Sekali lagi, warga NU perlu menyadari bahwa realitasnya hanya PKB alat politik NU saat ini, dan hanya PKB yang terbukti konsisten berjuang secara totalitas untuk pesantren dan NU. Nahdliyin berhutang banyak pada PKB.
Karena itu, saya heran jika ada yang mengaku NU, apalagi mengaku cinta Gus Dur (gusdurian) yang tidak peduli PKB, lebih-lebih membencinya. Padahal Gus Durlah yang mendirikan PKB untuk kepentingan politik warga NU.
Saya terkadang membayangkan, jika warga NU yang konon berjumlah 80 juta itu, 30 persen- nya saja sadar politik dengan ber PKB, tentu PKB akan menjadi pemenang pemilu di 2024. Dan itu akan menjadi kemenangan Nahdliyin.
Tapi sejumlah pihak menyampaikan ke saya. Kata mereka, sangat mungkin kesadaran politik itu tidak disenangi oleh banyak pihak. Ada pihak-pihak yang tidak ingin kekuatan NU-PKB menjelma menjadi penggerak yang powerful.
Ada pihak yang berupaya memisahkan NU dengan kendaraan politiknya (PKB). Contohnya dengan berupaya mencairkan politik warga NU menjadi multi partai (bebas partai apa saja).
Apa tujuannya kalau bukan untuk melemahkan kekuatan partai politik milik NU. Jika ini benar terjadi, tentu ini lampu kuning bagi seluruh pecinta NU agar secepatnya kembali ke pangkuan PKB.
Jadi, “Ngaku NU Wajib Ber-PKB”.
* Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_