Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Apapun yang Terjadi, Nahdliyyin Tetap Wajib Bayar Pajak

Masalah pajak dalam agama Islam memiliki term khusus, yaitu “Dharibah”. Secara bahasa, Dharibah adalah harta (uang) pendapatan negara.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Apapun yang Terjadi, Nahdliyyin Tetap Wajib Bayar Pajak
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Apapun yang Terjadi, Nahdliyyin Tetap Wajib Bayar Pajak

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*

TRIBUNNEWS.COM - Seperti tiga belas tahun yang lalu, 2010, wacana pajak kembali viral belakangan ini. Pemerintah semakin kehilangan kepercayaan warga. Seakan-akan, pajak yang telah disetorkan tidak digunakan untuk kepentingan umum.

Saat itu, pelakunya adalah Gayus Halomoan Pertahanan Tambunan, seorang direktur pajak yang dipenjara karena korupsi.

Kepercayaan warga yang merosot drastis kepada kejujuran pemerintah diiringi oleh fatwa tokoh nasional, KH. Said Aqil Siradj (Mantan Ketum PBNU).

³Kiai Said mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah, bahwa jika pendapatan negara dari pajak tidak dimanfaatkan secara benar, maka warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) tidak perlu bayar pajak lagi.

Bagi sebagian tokoh, seperti Eko Listiyanto (Ekonom Institute for Development of Economics and Finance/INDEF), ultimatum Kiai Said Aqil Siradj adalah peringatan keras. Pemerintah harus memperbaiki institusi perpajakan dengan lebih serius. Jika tidak, maka penanganan kemiskinan, ketimpangan, pendidikan anak tidak mampu, dan kesehatan akan berantakan.

Berita Rekomendasi

Masalah pajak dalam agama Islam memiliki term khusus, yaitu “Dharibah”. Secara bahasa, Dharibah adalah harta (uang) pendapatan negara yang bersumber dari individu maupun lembaga dengan tujuan mendanai semua belanja negara. Jadi, pajak adalah pendanaan seluruh pekerjaan negara.

Abdus Sami' Mishri (1972: 123) dalam kitabnya “Nazhariyyah al-Islam al-Iqtishadiyyah” juga mengatakan hal yang sama, bahwa sejak awal penetapan syariat agama tentang pajak di dunia Islam bertujuan menjadikan beban hidup orang fakir-miskin sebagai tanggung jawab negara, dan pajak ini merupakan kewajiban untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Mengingat pajak sebagai kewajiban dari agama, maka umat muslim manapun khususnya Nahdliyyin mau tidak mau harus membayar pajak sebagai bentuk mengamalkan ajaran agama. Pajak tidak lagi berhubungan dengan basis-basis nilai sekuler, melainkan semata-mata perintah Tuhan. Membayar pajak kepada negara sepenuhnya merupakan ibadah.

Seandainya pemerintah sebagai pihak pengumpul pajak tidak amanah, apakah lantas ibadah membayar pajak ini menjadi gugur? Apakah boleh tidak membayar pajak, ketika distribusi pajak diselewengkan oleh pemerintah? Tentu saja ini merupakan masalah fikih politik, yang belum sepenuhnya dibahas dalam kitab-kitab kuning pondok pesantren. Namun, bukan berarti tidak mungkin mencari jawabannya.

Pertama sekali kita bisa melihat pandangan Zainul Abidin Al-Amidi dalam kitabnya "Al-Fatawa Al-Amidiyah" (Jilid 2, 2012: 136). Al-Amidi mengajukan pertanyaan nomor 1317: "apakah boleh taharrub (melarikan diri) tidak membayar pajak penghasilan atau tidak?"

Al-Amidi memberikan jawabannya dengan mengutup pendapat Musthafa Az-Zarqa: "segala macam pajak (al-Dharaib) yang diambil dari tempatnya dan didistribusikan secara syar'i maka tidak boleh taharrub, karena hal itu berdampak darurat pada operasi negara dan membantu warga"..

Seandainya, ada sebagian pendapatan negara dari pajak diselewengkan namun sebagian besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bagaimana hukum tidak membayar pajak? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa merujuk pada pandangan yang disampaikan oleh Basyar Husain al-'Ajl dala kitabnya "Al-Kharaj wa Al-Dharibah Al-Mu'ashirah fi Al-Fiqh al-Islamiy: Dirasah Muqaranah" (2017: 259-260).

Al-‘Ajl mengatakan: “saya berpendapat, masalah pajak bisa dibagi menjadi dua macam; adil seperti ajaran syariat dan tidak adil, karena tidak mungkin seluruhnya tidak adil. Pajak yang dikumpulkan dan didistribusikan secara adil, maka tidak boleh menolak bayar pajak.”

Kemudian, Al-‘Ajl menambahkan: “sementara pajak yang tidak adil, yang tidak memenuhi syarat-syarat syar'i maka menolak bayar zakat memang tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Tetapi, perlu ada perhatian penuh terhadap dampak-dampaknya di dunia, karena menolak bayar pajak mengandung mafsadat.”

Mafsadat ini, menurut al-'Ajl, bisa individual atau massif. Karenanya tidak boleh tidak bayar pajak, dalam rangka menghindari mafsadat yang ditimbulkan. Pendapat Al-‘Ajl yang paling keras adalah: “perlu adanya keputusan jasmani yang mendesak atau keputusan finansial, seperti dipenjarakan atau denda berupa harta yang bisa dipakai untuk mengatasi mafsadat menolak bayar pajak.”.

Dari pendapat kitab-kitab kuning di atas, hemat penulis adalah bahwa Nahdliyyin tidak perlu mengikuti fatwa ulama manapun yang menyerukan boikot pajak, bahkan bila pajak itu tidak adil. Nahdliyyin harus tetap taat pada keputusan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang meminta semua warga Nahdliyyin khususnya dan rakyat Indonesia umumnya untuk tetap taat bayar pajak.

Apa yang sudah menjadi Seruan Gus Yahya dan PBNU adalah pandangan yang paling cocok dengan tradisi pesantren, yaitu berpijak pada dalil-dalil kitab kuning. Tidak saja itu, seruan PBNu jauh lebih halus dibanding dengan kitab kuning, karena kitab kuning mendorong otoritas untuk menjatuhkan hukuman penjara ataupun denda uang kepada para penyeru boikot pajak. PBNU hanya mengajak agar tetap taat pajak, tanpa seruan memenjarakan orang.

Seruan Gus Yahya dan PBNU sudah sejalan juga dengan dalil kaidah fikih yang mengatakan: "idza ijtama'a as-sabab wa al-mubasyarah, quddimat al-mubasyarah" (apabila sebab dan dampak langsung berkumpul, maka yang diutamakan adalah dampak langsungnya).

Kita bisa mengatakan: “sebab” adanya penyelewengan pajak adalah warga yang bayar pajak. Sehingga, agar penyelewengan tidak terjadi, maka warga tidak perlu bayar pajak. Sedangkan dampak langsung, kita bisa mengatakan: “pajak berdampak langsung pada pembangunan negara. Tanpa pajak tidak ada pembangunan.” Dari dua prinsip ini, maka prinsip terakhir yang dipilih. Karenanya, siapapun pemimpinnya, bayar pajak tetap wajib. Inilah keputusan PBNU. Wallahu a’lam bis shawab.[]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas