Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hasto Kristiyanto, Politik Rasa, dan Jokowi yang Berubah
Hasto Kristiyanto membuat catatan yang menggambarkan kesedihan dan luka hati jajaran PDI Perjuangan, ditinggal Jokowi dan keluarga.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Il Principe atau The Prince ditulis Niccolo Machiavelli (1469-1527). Ini buku penting yang intinya menjelaskan metode meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Kerap dianggap buku babon kaum politik, yang percaya semua cara dapat diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasan sebagai tujuan akhir yang dapat dibenarkan.
Karya Machiavelli ini mengguncang era renaisans di Italia utara, dan dunia barat, sekaligus menempatkan filsuf ini di posisi yang negatif.
Pemikirannya kerap disamakan politik yang penuh lika-liku, kejam, tak bermoral, tak beretika, dan dipenuhi keinginan rasional yang menghancurkan.
Ia pun kerap diasosiasikan pemikir yang mengajarkan imoralitas dan amoralisme dalam politik. Tapi ada yang menilai ia hanyalah seorang yang pragmatis atau realis.
Ini tipe orang yang memandang etika dan moralitas tidak penting dalam politik. Bagi yang lebih moderat, pemikiran Machiavelli dianggap semata pandangan ilmiah belaka.
Secara praksis, pemikiran Machiavelli memang berseberangan dengan sejumlah filsuf top seperti Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagia perluasan dari etika.
Pandangan ini berkembang sangat kuat di barat, dan tradisi barat politik kemudian dipahami sebagai benar dan salah, adil dan tidak adil.
Jadi ada standar tertentu untuk menakar pemegang kekuasaan. Moral dijadikan ukuran untuk menilai dan mengevaluasi tindakan orang di lapangan politik.
Hari-hari ini, kita membaca cerita sedih, ungkapan melo, perasaan ambyar, seperti diungkapkan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto.
Surat atau catatan Hasto Kristiyanto ini sudah tersebar luas di media sosial maupun media arus utama nasional, Minggu (29/10/2023).
Judulnya: “PDIP Perjuangan: Indonesia Negeri Spiritual, Nilai, dan Moral Kebenaran, Kesetiaan Sangat Dikedepankan.”
Judul kedua yang ditulisnya, “Politicical Disobedience Dipadukan Rekayasa Hukum Mahkamah Konstitusi Sangat Disayangkan”.
Hasto sepertinya ingin memberi alternatif judul kegundahan partainya kepada media dan audiens. Aada empat poin yang ditulisnya di catatan itu.
Bagian pertama terbaca menggambarkan gundah gulananya Hasto dan jajaran PDI Perjuangan. Kalimat pertamanya tertulis begini;
“PDI Perjuangan saat ini dalam suasana sedih, luka hati yang perih dan berpasrah pada Tuhan dan rakyat Indonesia atas apa yang terjadi saat ini.”
Ini pilihan kalimat yang hampir maksimum untuk menggambarkan suasana hati parpol itu yang syok dan sempat tidak bisa bereaksi apa-apa dalam waktu cepat.
Joko Widodo, Presiden RI saat ini, rupanya benar-benar bersiasat mengawinkan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Jokowi, biasa ia disebut, benar-benar meninggalkan PDI Perjuangan, parpol yang menyokongnya sejak di Solo hingga karier puncaknya saat ini.
Dukungan PDI Perjuangan itu tanpa henti selama lebih kurang 20 tahun; dua periode Wali Kota Solo, Gubernur DKI (tidak selesai), dan dua periode Presiden RI.
“Banyak yang tak percaya bahwa ini bisa terjadi,” tulis Hasto merujuk sikap dan pandangan anak ranting, ranting dan cabang serta daerah dalam struktur partainya terkait dukungan ke Jokowi.
Tak hanya itu, partainya menurut Hasto juga memberikan privilege besar ke keluarga Jokowi. Tapi kemudian, tulis Hasto, ditinggalkan.
Poin kedua, ketiga, dan keempat Hasto mempertegas sikap dan pandangan partainya terkait cara-cara berpolitik, yang kesemuanya diarahkan ke Jokowi.
Hasto menyinggung fakta keterangan yang didapatnya dari sejumlah ketua umum parpol, yang merasakan kuatnya tekanan kekuasaan dalam mata rantai pencalonan Gibran Rakabuming.
Sekjen DPP PDI Perjuangan ini juga mengingatkan soal spiritualitas, moralitas, nilai kebenaran, dan kesetiaan dalam berpolitik.
Catatan Hasto Kristiyanto ini merupakan sikap dan pandangan pertama yang dipublikasikan orang nomer dua di jajaran PDI Perjuangan.
Melihat tradisi dan karakter organisasi PDI Perjuangan, apa yang dikemukakan Hasto Kristiyanto ini pastilah identik dengan perasaan, sikap dan pandangan Megawati Soekarnoutri.
Hasto Kristiyanto bukan tokoh ingusan dalam politik kepartaian. Ia sosok yang sangat dipercaya Megawati, dan karenanya dilarang menduduki jabatan apapun di luar partai.
Hasto diminta Megawati untuk benar-benar mencurahkan secara total waktunya, guna menjalankan roda dan mesin organisasi.
Ketika Jokowi menang Pilpres 2014, Hasto Kristiyanto termasuk tokoh penting tim transisi. Ia bisa saja mendapatkan jabatan mentereng di pemerintahan.
Tapi itu tak terjadi. Hasto memilih bersetia dengan keputusan Megawati Soekarnoputri, yang juga tokoh paling sentral dan pemegang mandat terbesar partai.
Catatan tentang spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan kesetiaan, sepertinya jadi rangkaian diksi yang ingin mempertegas sikap kekinian PDI Perjuangan terhadap Jokowi.
Partai mungkin sudah tidak bisa berharap apa-apa, atau melakukan sesuatu untuk mengubah jalan politik yang ditempuh Jokowi dan keluarganya.
Keputusan “cawe-cawe” Jokowi terkait pencapresan/pencawapresan Prabowo-Subianto-Gibran Rakabuming, sudah jadi realitas politik.
Di poin terakhir, Hasto Kristiyanto menulis; “…semoga awan gelap demokrasi segera berlalu, dan rakyat Indonesia sudah paham siapa meninggalkan siapa demi ambisi kekuasan”.
Hasto mengespresikan perasaan politik dan politik perasaan hari-hari ini di kalangan PDI Perjuangan. Perasaan terhadap perkembangan politik yang juga mengguncang pranata politik nasional.
Lantas apakah jalan politik yang ditempuh Jokowi salah? Orang bisa berdebat kusir tentang ini. Jokowi mungkin punya visi dan misi terkait “cawe-cawenya”.
Masih ada orang yang percaya, Jokowi sedang memainkan politik tingkat dewa, untuk memastikan pemerintahan berikutnya menjamin keberlanjutan kisah suksesnya memimpin Indonesia.
Ia harus benar-benar memastikan itu, dan berada dalam pusaran utama pengendali transisi politik, dengan segala cara.
Jokowi selalu menepis keterlibatannya dalam pencapresan Prabowo-Gibran. Kalimat saktinya adalah ‘copras-capres’ adalah urusan ketua parpol koalisi.
Politik memang tidak selalu bersifat material. Dalam politik, bukti fisik atau material tidak selalu diperlukan.
Karena itu soal Jokowi terlibat atau tidak, menjadi tak penting lagi ketika sudah jadi realitas politik.
Di Amerika Serikat yang sudah sangat maju, modern, demokrasinya diekspor ke mana-mana, politik kekuasaan pun dijalankan tidak ideal, tidak beretika, dan tidak bermoral.
Pemegang kekuasaan terbesar negara adi kuasa itu realitasnya bukanlah Presiden, DPR dan Kongres AS. Pengendalinya adalah intelijen, industri militer, dan lobi Yahudi.
Bagian awal tulisan ini terkait pemikiran Niccolo Machiavelli, tentu tak bermaksud menggambarkan apakah keguncangan di PDI Perjuangan dan realitas politik pencawapresan Gibran mencerminkan hal itu.
Apakah langkah kuda itu mencerminkan seorang Machiavellian, atau semata wujud pragmatisme politik belaka yang tak bermaksud menghancurkan? (Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.