Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politisasi Birokrasi dalam Pemilu
Diskursus mengenai dikotomi antara politik dan birokrasi telah menjadi kajian klasik di bidang ilmu politik dan pemerintahan
Editor: Eko Sutriyanto
Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 menegaskan, unsur merugikan negara adalah delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara, tetapi cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, jika kita mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara tindak pidana pemilu, maka pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” semestinya dapat dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana oleh undang-undang.
Peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas mengenai larangan ASN dan batasan netralitas yang memiliki konsekuensi pelanggaran netralitas. Akan tetapi, selain tindakan-tindakan yang dianggap melanggar netralitas dan berdampak adanya rekomendasi Bawaslu terhadap pelanggaran netralitas.
Undang-undang pemilu juga mengatur mengenai tindakan ASN yang tidak saja sekadar melanggar prinsip netralitas, tetapi juga masuk ranah tindak pidana pemilu.
Gagasan pengawasan terhadap netralitas ASN mestinya berangkat dan sejalan dengan ilmu manajemen birokrasi melalui pendekatan merit system, sehingga konsep pengembangan jenjang karir hanya bertumpu pada sumber daya manusia yang unggul sesuai dengan prestasi kerja.
Hal ini dapat membantu mereka memegang teguh prinsip profesionalitas dan netralitasnya. Pendekatan merit system ini dapat memperkecil ruang gerak keterlibatan mereka dalam pemilu.
Pada akhirnya, netralitas birokrasi dapat dimaknai sebagai sikap imparsialitas. Rumusan imparsialitas sebagai kesetaraan politik, yaitu perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan wewenang publik berdasarkan undang-undang.
Selain itu, semangat meritokrasi mesti menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan publik, tidak atas dasar pertimbangan preferensi pribadi, tetapi mengacu pada prestasi kerja.
Dengan demikian, imparsialitas menjadi nilai fundamental yang harus dijadikan sabuk pengaman oleh birokrat dalam perebutan kekuasaan pemilu.
*) Anggota Bawaslu DKI Jakarta