Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Fanatisme Kelompok Penyebab Kolonialisme 350 Tahun dan Porak-poranda Umat
Sulit dibayangkan mengapa penjajahan begitu lama, jika bukan karena fanatisme kelompok di kalangan pribumi sendiri yang menjadi faktor terbesarnya.
Editor: Dewi Agustina
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
SEJAK sekolah dasar, kita selalu diajari penjajahan di Nusantara, sebelum menjadi Indonesia, berlangsung berabad-abad.
Sebagian pakar menghitung awal mula kolonialisme sejak masuknya Portugis ke Selat Malaka tahun 1511.
Pakar lain menyebutnya bermula sejak VOC berganti wajah menjadi Pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1799.
Sulit dibayangkan mengapa penjajahan begitu lama, jika bukan karena fanatisme kelompok di kalangan pribumi sendiri yang menjadi faktor terbesarnya.
Tidak ada spirit persatuan yang ditanamkan oleh orang-orang pribumi. Jika pun ada perlawanan, sifatnya sangat lokal.
Kasultanan Demak di Jawa melawan, dengan tanpa melibatkan kekuatan-kekuatan lain di luar Jawa.
Begitu pun Kasultanan Mataram melawan, juga tanpa melibatkan kerja sama seluruh kekuatan.
Tentara Paderi melawan, juga tanpa konsolidasi dengan seluruh rakyat semesta.
Memasuki abad 20, sektarianisme masih bercokol.
Memang benar telah muncul organisasi-organisasi pemuda, yang mengusung spirit nasionalisme dan anti-kolonialisme.
Tetapi lihat, Budi Utomo yang berdiri tahun 1908 di Jakarta hanya fokus pada koordinasi kekuatan Jawa-Madura.
Al-Irsyad Al-Islamiyah yang berdiri pada 1914 di Jakarta atau Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 di Yogyakarta, semuanya bersifat lokal, dengan visi-misi yang etnisentris.
Hal yang sama juga menimpa Jong Java yang didirikan tahun 1918 di Solo, hanya fokus pada garis kordinasi Jawa, Sunda, Madura, dan Bali.