Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Jenderal Zaluzhny, Masa Depan Zelensky, dan Sikap Barat Terkait Perang Ukraina

Perpecahan terjadi antara Panglima Militer Ukraina Jenderal Valery Zaluzhny dan Presiden Volodymir Zelenksy di tengah kabar kekalahan melawan Rusia.

Editor: Setya Krisna Sumarga
zoom-in Jenderal Zaluzhny, Masa Depan Zelensky, dan Sikap Barat Terkait Perang Ukraina
Handout / LAYANAN PERS PRESIDEN UKRAINIAN / AFP
Dalam foto selebaran yang diambil dan dirilis oleh layanan pers Kepresidenan Ukraina pada tanggal 28 Juli 2023, panglima militer Ukraina, Valery Zaluzhny (tengah) menjadi perhatian saat ia mengambil bagian dalam upacara Hari Kenegaraan Ukraina yang menandai peringatan 30 tahun kemerdekaan Ukraina, di tengah invasi Rusia ke Ukraina. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Perang Rusia-Ukraina menemukan momentum baru, yang celakanya dianggap titik balik kemunduran pasukan Kiev dan bekingannya dari barat di medan perang.

Dalam perspektif Moskow, Ukraina saat ini sesungguhnya telah kalah. Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menegaskan hal itu selain juga diutarakan Presiden Vladimir Putin pekan lalu.

Serangan balik yang digelar sejak awal Jun 2023, gagal total. Rusia mengklaim sekurangnya 90.000 tentara Ukraina tewas di pertempuran yang diimpikan bisa membalikkan keadaan.

Ukraina memanfaatkan dukungan besar dari NATO, baik dana maupun persenjataan modern dalam jumlah besar.

Termasuk penggunaan sistem HIMARS, barisan tank Leopard dari Jerman, rudal antitank dari AS, Prancis, rudal jarak jauh dari Inggris, dan jet-jet tempur dari negara Eropa timur.

Di titik kritis ketidakmampuan Ukraina membalikkan keadaan inilah, terjadi serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas ke wilayah Israel.

Situasi bertambah runyam bagi Ukraina. AS mengalihkan fokus membantu Israel, dan Gedung Putih menyatakan dukungan itu tanpa syarat apapun yant diperlukan Israel.

Baca juga: Ajudan Panglima Ukraina Tewas saat Buka Hadiah Berisi Granat di Hari Ulang Tahun

Baca juga: Ukraina Sudah Kalah! Benarkah Klaim Jenderal Rusia Ini?

Baca juga: Tadinya Terus Dukung Kiev Berperang, AS Kini Sarankan Ukraina Menyerah dan Berdamai dengan Rusia

Berita Rekomendasi

Hampir dua tahun menyokong Ukraina tanpa hasil signifikan, NATO, Uni Eropa dan sekutu-sekutu mereka wajar jika mulai berpikir realistis.

Keretakan elite Ukraina kini mulai dimunculkan, lewat sejumlah laporan yang dirilis media-media liberalis di AS dan Inggris.

Jenderal Valery Zaluzhny, Panglima Militer Ukraina, secara khusus menerima wawancara majalah berpengaruh dari Inggris, The Economist.

Sosok Zaluzhny digambarkan sebagai figur militer yang cemerlang. Tapi fakta dia adalah pengagum Stephen Bandera, tokoh Ukraia kolaborator Nazi Jerman, tidak pernah ditampilkan.

The Economist yang mewakili suara-suara elite barat yang memusuhi Rusia, menunjukkan perbedaan pandangan signifikan antara Zaluzhny dan Presiden Volodymir Zelensky.

Zaluzhny menggambarkan Ukraina saat ini menemui jalan buntu peperangan melawan Rusia. Situasinya ia sebut mirip kebuntuan kala perang parit era Perang Dunia I.

Keadaan menurut Zaluzhny bisa berubah jika Ukraina menerima secara cepat dalam jumlah besar persenjataan modern guna melawan Rusia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengikuti upacara pada Hari Pasukan Roket dan Artileri serta Hari Pasukan Teknik pada 3 Oktober 2023 di lokasi yang dirahasiakan. Pada hari yang sama, rudal Rusia menghantam tentara Ukraina yang melakukan upacara di Zaporizhzhia, yang merupakan garis depan.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengikuti upacara pada Hari Pasukan Roket dan Artileri serta Hari Pasukan Teknik pada 3 Oktober 2023 di lokasi yang dirahasiakan. Pada hari yang sama, rudal Rusia menghantam tentara Ukraina yang melakukan upacara di Zaporizhzhia, yang merupakan garis depan. (Facebook/Menhan Ukraina Rustem Umerov)

Jalan buntu yang disebut Zaluzhny membuat pasukan Ukraina tidak mungkin meneruskan upaya serangan balik karena hanya akan membuat militer semakin banyak kehilangan asetnya.

Ditampilkannya Jenderal Zaluzhny secara menyolok di laporan majalah The Economist menunjukkan tren media arus utama barat.

Setelah kegagalan serangan balasan Ukraina sejak musim panas, realisme kini dapat dilihat. Zaluzhny harus mengakui (versi The Economist) perang sedang mengalami jalan buntu.

Pada Desember 2022, The Economist, meskipun memperingatkan masih banyak kerja keras yang harus dilakukan, mengklaim Ukraina telah mengalami kemajuan pada musim gugur 2022.

Tapi ini hanya mereproduksi narasi arus utama yang ada pada saat itu. Analis independen yang serius, seperti Brian Berletic, telah menjelaskan mengapa hal ini merupakan sebuah kesalahan penilaian.

Pasukan Ukraina memang merebut kembali sejumlah kecil wilayah di timur laut Ukraina, namun kerugian personel dan materialnya sangat besar.

Rusia mundur dari kota Kherson, namun tidak mengalami kemunduran strategis. Hal ini mungkin tampak mengesankan di peta, namun kenyataannya ini aksi cerdik yang tak mampu dilakukan Ukraina.

Bukan “serangan balik” yang mampu membalikkan keadaan perang, seperti yang diutarakan Time saat itu.

Sekarang, setahun kemudian, tidak ada lagi perolehan teritorial kosong yang bisa dilihat dari hilangnya nyawa akibat serangan balasan.

Sebaliknya, Rusia mampu secara kokoh mempertahankan garis pertahanannya di wilayah Ukraina yang mereka kuasai sebelumnya.

Dalam situasi realistik yang diakui Jenderal Zaluzhny, Presiden Volodymir Zelensky sangat optimistis Ukraina bisa memenangkan peperangan melawan Rusia.

Karena itu ia mendesak para prajurit Ukraina setiap hari bergerak maju, meter demi meter guna merebut kembali wilayah yang direbut Rusia.

Kengototan ini membuat sumber-sumber pemerintah di lingkaran elite kepada majalah Time menyebut Zelensky seperti kambing congek dan mengalami delusi.

Saat ini hampir semua komandan tempur Ukraina yang tersisa di lapangan menolak maju, meski perintah datang dari presiden. Mereka memilih hanya bertahan di parit-parit pertahanan.

Konflik level elite ini diperkirakan akan memburuk menyusul insiden atau aksi terencana yang menimpa orang dekat Jenderal Zaluzhny.

Mayor Gennady Chastyakov, ajudan Zaluzhny, tewas akibat ledakan di rumahnya saat ia merayakan ulang tahun Bersama istri, anak-anak dan kerabatnya di Kiev.

Peristiwa terjadi Senin (6/11/2023). Sebuah alat peledak tak dikenal disembunyikan di dalam salah satu hadiah  yang dikirimkan ke Chastyakov.

Peledak itu aktif saat ia dan anak-anaknya membuka bungkusan kadonya.Foto-foto yang beredar menunjukkan beberapa benda menyerupai granat tangan berserakan di antara hadiah-hadiah yang rusak.

Sebuah jarum suntik kosong juga terlihat di foto. Granat tersebut tampaknya merupakan pecahan DM51/DM51A2, amunisi militer standar Jerman, yang dipasok oleh Berlin ke Kiev di tengah konflik dengan Rusia.

Jelas ledakan ini bukan kecelakaan, tapi pembunuhan yang disengaja mengincar sang ajudan sebagai pesan serius ke Jenderal Zaluzhny.

Pesan yang memberikan petunjuk betapa kerasnya perpecahan elite Ukraina, secara khusus perpecahan antara kubu presiden dan militer.

Kebuntuan mengatasi perbedaan ini semakin mudah mengantarkan Ukraina ke kekalahan lebih tragis.

Barat sudah kelelahan membantu Kiev, yang sebagian laporan menyebut administrasi Ukraina penuh korupsi dan penjualan senjata barat ke pasar gelap.

Perang Rusia-Ukraina realitasnya memukul negara-negara Eropa penyokong Zelensky. Sanksi ekonomi bertubi-tubi ala Uni Eropa dan AS jadi bumerang.

Sebaliknya, ekonomi Rusia tetap stabil walau diisolasi dan penuh tekanan berat dari negara NATO dan Uni Eropa.

Lantas apa visi barat terkait perang Rusia-Ukraina?

Kegagalan serangan balik Ukraina menunjukkan strategi mengakhiri konflik dengan syarat yang dapat diterima barat telah menemui jalan buntu.

Solusi kembali ke perbatasan 1991, atau bahkan ke perbatasan 23 Februari 2022, tidak pernah dipertimbangkan secara serius.

Integritas wilayah Ukraina juga bukan prioritas bagi AS dan sekutunya. Sama seperti keinginan untuk mencaplok wilayah baru bukanlah motif utama Moskow melancarkan operasinya.

Anggota Batalyon Siberia yang baru dibentuk di Angkatan Bersenjata Ukraina mengambil bagian dalam latihan militer di luar Kyiv pada 24 Oktober 2023.
Anggota Batalyon Siberia yang baru dibentuk di Angkatan Bersenjata Ukraina mengambil bagian dalam latihan militer di luar Kyiv pada 24 Oktober 2023. (Genya Savilov/AFP via Getty Images)

Akar konflik ini adalah ketidaksepakatan mengenai posisi Ukraina dalam sistem keamanan regional.

Rusia berupaya menghilangkan potensi ancaman dari negaranya dengan memaksa negara tersebut menerima status netral dan menyetujui pembatasan terhadap industri pertahanan dan angkatan bersenjatanya.

Bagi AS, Ukraina tetap penting untuk dipertahankan sebagai pijakan militer di Eropa timur. Karena itu walau Kiev kehilangan sebagian besar wilayahnya namun tetap bakal jadi terdepan AS dan NATO.

Washington mungkin tetap akan menerima realitas itu. Dengan kata lain, bagi AS, tak masalah berapa banyak wilayah Ukraina hilang selama Ukraina masih mampu bertahan secara ekonomi dan mengendalikan pusat-pusat politik utamanya.

Dengan mengakhiri konflik dengan syarat-syarat tersebut dalam waktu dekat, AS dapat mengurangi sementara pengeluaran dukungan militer untuk Kiev dan “membekukan” konflik.

Hal ini akan memungkinkan AS mengalihkan perhatian mereka ke krisis di tempat lain di dunia dan, yang terpenting, fokus untuk membendung ekspansi Tiongkok yang mereka takutkan.

Di masa depan, dengan masuknya Ukraina ke dalam sistem institusi barat dan di bawah kekuasaan rezim nasionalis Russofobia, Washington dapat menggunakan Ukraina kapan saja guna melawan Rusia.

Lantas apa yang diinginkan Rusia? Bagi Moskow, hasil seperti itu berarti kemungkinan besar terjadinya perang baru yang jauh lebih merusak, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Tentu saja hal ini tidak ditentukan sebelumnya. Bahkan jika kita berasumsi konflik berakhir dengan syarat yang dapat diterima oleh Washington, banyak hal yang mungkin salah.

Misalnya, AS bisa saja terjebak dalam konflik di Timur Tengah dengan Iran dan sekutunya, serta di Timur Jauh dengan Tiongkok dan Korea Utara.

Jika keadaan memburuk bagi AS di kawasan ini, mereka tidak akan pernah bisa kembali melakukan proyek pembangunan kembali dan remiliterisasi Ukraina.

Walhasil, Ukraina akan semakin terpuruk dalam status sebagai korban perang proksi AS melawan kebangkitan kekuatan Rusia.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas