Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Putusan MKMK: Bukti Independensi Hakim Mahkamah Konstitusi Masih Terjaga

Dalam sejarah, bukan kali ini saja persidangan etik terhadap Hakim MK. Ada beberapa contoh lain, yaitu, perkara etik Hakim Konstitusi

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Putusan MKMK: Bukti Independensi Hakim Mahkamah Konstitusi Masih Terjaga
Tribunnews/JEPRIMA
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie bersama anggota Wahiduddin Adams dan Bintan R. Saragih memimpin jalannya sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023). Sidang tersebut beragendakan pembacaan putusan terhadap 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dalam pengambilan putusan uji materi terhadap UU Pemilu yang memutuskan mengubah syarat usia capres-cawapres. Salah satunya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023. Putusan itu terkait dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terlapor Ketua MK Anwar Usman. Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat sehingga diberi sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. Tribunnews/Jeprima 

Oleh Advokat dan Konsultan Hukum, Muhammad Ali Fernandez

TRIBUNNERS - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), telah megeluarkan putusan atas laporan pelanggaran etik yang ditujukan kepada Prof. Anwar Usman, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan delapan hakim lainnya yang terlibat dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 perihal mengubah penafsiran syarat usia minimum untuk Capres dan Cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

MKMK menjatuhkan putusan yang berbeda-beda, namun secara tegas MKMK menolak permintaan untuk melakukan penilaian terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi baik itu berupa pembatalan, koreksi atau meninjau kembali in casu Putusan No. 90/PUU-XXI/2023.

Baca juga: Putusan MKMK Pecat Anwar Usman, Ketua TKN Prabowo-Gibran: Kami Hormati dan Patuhi

MKMK juga menegaskan tidak berwenang untuk membatalkan atau mengkoreksi putusan MK atas dasar dugaan conflict of interest sebagaimana permintaan pelapor. Dimana pelapor menyandarkan dalil permohonannya pada Pasal 17 ayat 8 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MKMK menyerahkan kembali persoalan tersebut pada Mahkamah Konstitusi. Hanya MK yang bisa memeriksa kembali putusannya melalui permohonan judicial review yang baru, meskipun keberlakuannya ke depan atau tidak berlaku surut.

Pelanggaran Etik Hakim Tidak Mempengaruhi Independensi Hakim Lainnya

Dalam sejarah, bukan kali ini saja persidangan etik terhadap Hakim MK. Ada beberapa contoh lain, yaitu, perkara etik Hakim Konstitusi Dr. Patrialis Akbar (17/2/2017). Dimana MKMK menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Hakim Dr. Patrialis Akbar (PA), karena terbukti melakukan pertemuan dan/atau pembahasan mengenai perkara yang sedang ditangani serta membocorkan informasi atau draft putusan.

Sidang etik saat itu diselenggarakan setelah penetapan tersangka Dr. Patrialis Akbar oleh KPK RI. Namun demikian, tidak ada putusan yang dinyatakan batal atau tidak sah, termasuk putusan yang terkait dengan dugaan pembocoran itu yaitu Putusan Nomor 129/PUU-XIII/2016.

Kemudian, Perkara Ketua MK Dr. Akil Mochtar (1/11/2013). Pada waktu itu, MKMK menjatuhkan sanksi etik berupa pemberhentian tidak dengan hormat kepada Ketua MK sekaligus Hakim Konstitusi Dr. Akil Mochtar, karena terbukti mendistribusikan perkara tidak merata, sehingga yang bersangkutan mendapatkan perkara lebih banyak dan ada motif tertentu. Pertemuan dengan salah satu anggota DPR, diruangan kerja Hakim, yang terkait dengan peristiwa penangkapan Dr. Akil Mochtar pada 2 Oktober 2013 karena dugaan penyuapan dan gratifikasi oleh KPK RI, juga menjadi alasan kuat pemberhentian.

Advokat dan Konsultan Hukum, Muhammad Ali Fernandez
Advokat dan Konsultan Hukum, Muhammad Ali Fernandez (ist)
BERITA REKOMENDASI

Dr. Akil Mochtar ditangkap dan diproses KPK RI dalam dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi terkait perkara sengketa hasil Pilkada di MK, antara lain sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalteng; Lebak, Banten; Empat Lawang dan Kota Palembang, Sumsel; Buton, Sultra; Morotai, Malut; dan Tapanuli Tengah, Sumut.

Yang perlu digaris bawahi, tidak ada satupun putusan MK terkait sengketa mengadili Pilkada yang waktu itu akan dikoreksi, ditinjau atau dibatalkan. Semua orang paham dan mahfum Dr. Akil Mochtar sebagai pribadi dan ketua MK tidak dapat mempengaruhi Hakim MK yang lain karena percaya dengan integritas dan independensi masing-masing Hakim MK.

Hal ini menunjukkan prinsip Independensi Hakim MK yang lain, tidak dapat dipengaruhi dan tidak dapat dinyatakan tunduk kepada Hakim lain, bahkan jika dia termasuk Ketua MK.

Pendirian Konsisten Hakim Dr. Suhartoyo dan Hakim Prof. Guntur Hamzah

Terkait pengujian batas umur pencalonan Capres/Wapres, Hakim Konstitusi Dr. Suhartoyo di putusan No. 29/PUU-XXI/2023 yang salah satu Pemohonnya adalah PSI. Meskipun Mahkamah menolak, Hakim Dr. Suhartoyo memiliki alasan penolakan yang lain. Menurut beliau Pemohon tidak memiliki kerugian aktual maupun potensial atau tidak memiliki legal standing untuk menguji Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Namun, dalam Putusan Nomor 55/PUU-XXI/2023/, dengan Para Pemohon Kepala Daerah, antara lain Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Pandu Kesuma Dewangsa (Wabub Lampung Selatan), Emil Dardak (Wagub Jatim), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo), dan Muhammad Albarra (Wabup Mojokerto), Hakim Dr. Suhartoyo berpendapat Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum dan legal standing karena berkedudukan sebagai penyelenggara negara.

Meskipun Mahkamah menolak, Dr. Suhartoyo, memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), Hakim Dr. Suhartoyo menilai MK seharusnya mengabulkan permohonan sebagian dengan menyatakan dengan memperluas pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, dengan melekatkan syarat pengganti sepanjang yang bersangkutan pernah menjabat sebagai penyelenggara negara dengan reputasi yang baik. Menurutnya, hal tersebut mencerminkan bahwa pengalaman sebagai penyelenggara dimaksud mempunyai bobot nilai yang lebih substansial dibanding penentuan syarat usia minimal 40 tahun.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas