Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Putusan MKMK: Bukti Independensi Hakim Mahkamah Konstitusi Masih Terjaga
Dalam sejarah, bukan kali ini saja persidangan etik terhadap Hakim MK. Ada beberapa contoh lain, yaitu, perkara etik Hakim Konstitusi
Editor: Muhammad Zulfikar
Pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Hakim Dr. Suhartoyo kembali pada pendirian bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena permohonan itu ditujukan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan tidak ada korelasi dengan Pasal yang diuji. Sehingga MK seharusnya tidak dapat memberi kedudukan hukum. Atas perbedaan pendapat dan pendirian Hakim Dr. Suhartoyo, tidaklah dapat dikatakan dipengaruhi oleh Ketua MK atau oleh siapapun. Termasuk dengan Hakim-hakim yang lain.
Hakim Konstitusi Prof. Dr. Guntur Hamzah, sejak putusan No. 29/PUU-XXI/2023, No. 55/PUU-XXI/2023, No. 90/PUU-XXI/2023, konsisten menyatakan permohonan penafsiran syarat batas usia pencalonan Presiden/Wapres tersebut dapat dikabulkan sebagian berdasarkan prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction).
Menurutnya, ada alasan bagi MK untuk memberikan alternatif batasan usia minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden selain usia 40 tahun, yaitu pengalaman dibidang pemerintahan khususnya pada jabatan elected office yang dipilih rakyat dalam pemilu, termasuk Pilkada.
Secara sederhana, kita dapat saksikan bahwa Hakim MK yang kesembilan orang itu mempunyai pendirian hukum dan pendapat sendiri-sendiri. Dan untuk dapat dipengaruhi atau diintervensi, amat sangat sulit dilakukan.
Hal tersebut tampak dari konsistensi pendirian pendapat Hakim Dr. Suhartoyo dan Prof. Dr. Guntur Hamzah, yang teguh dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Dapat disimpulkan, baik Hakim yang mengabulkan atau menolak permohonan memiliki dalil dan konstruksi hukum yang baik dan bersumber dari pikiran dan keyakinannya sendiri.
Baca juga: Peradilan Etik MKMK Dilakukan Terbuka, Anwar Usman: Menyalahi Aturan
“Menggoreng” Urusan Syarat Capres dan Cawapres Untuk Persoalan Politik dan Elektabilitas
Jadi, dapat dipastikan bahwa persoalan mengadili batas minimal usia pejabat negara bukanlah hal baru, melainkan sudah pernah diadili oleh MK sebelumnya. Pendirian MK relatif terbuka terhadap prinsip open legal policy yang selama ini jadi acuan.
MK pernah berpendapat mengabulkan dan menafsirkan ulang batas usia, contohnya dalam putusan 112/PUU-XX/2022 tentang rentang batas usia Komisioner KPK RI antara 50-65 tahun. Hakim yang hari ini menolak tafsiran batas minimal usia Capres dan Wapres adalah Hakim yang menyetujui penafsiran ulang terhadap syarat batas minimal usia komisioner KPK RI.
Pada waktu itu, Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 29 huruf e UU 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, menjadi “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”. Dimana terhadap putusan tersebut hampir dapat dikatakan diputus bulat oleh Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi, kecuali Prof. Dr. Saldi Isra yang memiliki alasan pendapat “concurring opinion”.
Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Pertimbangan lain, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga.
Poinnya adalah Hakim MK itu independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh pihak lain. Jika ada perbedaan pendapat, murni sesungguhnya karena perbedaan argumentasi dan legal reasoning yang didasarkan sepenuhnya pada keilmuan masing-masing.
Sebagaimana perkara Dr. Akil Mochtar dan Dr. Patrialis Akbar, putusan-putusannya tidak diperiksa ulang meskipun ada masalah menjerat mereka, berdasarkan prinsip independensi Hakim, Pun demikian kiranya dalam perkara Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Masing-masing Hakim memiliki prinsip yang berbeda dan tidak bisa diadili. Praktik ini bermula sejak Prof. Jimly menjabat Ketua MK pada tahun 2003, sampai dengan hari ini, tahun 2023. Jika ada yang mengajukan gugatan uji materil baru terkait Pasal 169 huruf q, tentu tidak bisa dilarang. Apapun hasilnya, keberlakuannya adalah untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wapres tahun 2029.
Meskipun, agak disayangkan jika putusan itu diubah karena putusan tersebut sesungguhnya masih dalam lingkup batas independensi Hakim dan menerobos batasan prinsip open legal policy yang selama ini ada. Jika kita berandai-andai, mungkin ada pihak yang mengajukan lagi dengan legal standing yang baru yang lebih baik dan memenuhi syarat, bukan tidak mungkin Dr. Suhartoyo berpendapat mengabulkan. Sehingga, komposisi Hakim yang mengabulkan menjadi 5 orang, sementara Hakim yang menolak menjadi 3 orang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.