Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Invasi Israel, RS Al Shifa, dan Taktik Hamas
Miiter Israel mengkalim menemukan senjata dan jejak terowongan Hamas di bawah RS Al Shifa Gaza.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Noa Marciano diduga pernah disembunyikan di sebuah rumah dekat RS Al Shifa yang kemudian digempur jet udara Israel.
Noa terluka oleh serangan itu, lalu dilarikan ke RS Al Shifa. Belakangan, Noa Marciano menurut militer Israel dieksekusi oleh penyanderanya.
Masih menurut Time of Israel, mengutip pengakuan seorang dokter asal Inggris yang pernah bekerja di RS Al Shifa, ada bagian di rumah sakit itu yang tidak boleh didekati atau terlarang.
Seorang jurnalis Italia kepada Time of Israel berkisah pada 2009 sesudah Israel mengakhiri serbuan ke Gaza, ia menemui seorang militan anggota Fatah yang terluka dan dirawat di RS Al Shifa.
Militan Fatah itu merasa dirinya sebenarnya tidak nyaman dan merasa keamanannya terancam saat di rumah sakit tersebut.
Fatah dan Hamas terlibat persaingan sengit, bahkan terjadi bentrokan bersenjata di antaranya keduanya. Hamas memenangkan pertarungan dan sepenuhnya berkuasa di Gaza.
Masih menurut klaim militer Israel, pasukan yang masuk ke RS Al Shifa akhir pekan lalu juga menemukan senjata, amunisi, rompi, dan aksesoris Hamas, di ruang-ruang medis rumah sakit itu.
Hamas atau Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah adalah kelompok perlawanan Palestina beraliran Suni.
Pengaruh ideologis Ikhwanul Muslimin sangat kuat di kelompok ini. Israel dan negara barat yang membekinginya melabeli Hamas sebagai organisasi teroris.
Pendirinya almarhum Syeikh Ahmad Yassin. Secara resmi organisasi ini beroperasi sejak 14 Desember 1987, bersamaan intifada babak pertama.
Secara prinsip, Hamas ingin mendirikan negara Palestina atas dasar hukum Islam, dan memiliki wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Dua arus besar kepemimpinan Hamas berikutnya menunjukkan perbedaan sikap tajam. Khaleed Meshal membuka negosiasi dan terbuka resolusi konflik Arab-Israel.
Sebaliknya tokoh lain, Mousa Abu Marzouk Mohammed, menolak mengakui Israel dan menganggap sikap ini garis merah yang tak bisa dilewati.
Pada 2006, Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina, dan sejak 2007 menggeser Fatah yang semula menguasai Gaza.