Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Komunikasi Publik di Tahun Politik, Surat Terbuka untuk Cak Imin

Bagi masyarakat yang sensitif dan bahkan terlanjur diliputi kebahagiaan dengan wacana perpindahan IKN, narasi tersebut bisa jadi berujung kekecewaan

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Komunikasi Publik di Tahun Politik, Surat Terbuka untuk Cak Imin
Tribunnews.com/Chaerul Umam
Lagi enak-enak di Jakarta, disuruh pindah ke hutan, pernyataan yang meluncur dari calon wakil presiden koalisi perubahan, Muhaimin Iskandar itu dilontarkan terkait keengganannya pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) baru yang hingga kini dinilai belum layak huni 

Oleh: Zulfatun Mahmudah *)

TRIBUNNEWS.COM,  - “Lagi enak-enak di Jakarta, disuruh pindah ke hutan”. Pernyataan yang meluncur dari calon wakil presiden koalisi perubahan, Muhaimin Iskandar itu dilontarkan terkait keengganannya pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) baru yang hingga kini dinilai belum layak huni.

Pernyataan tersebut sontak mengundang berbagai opini publik.




Ini bukan sekedar persoalan pro atau kontra dengan wacana perpindahan ibukota. Ini juga bukan tentang siapa yang diuntungkan ataupun dirugikan dengan perpindahan tersebut. Ini adalah tentang pemilihan diksi dalam menyampaikan resistensi atas kebijakan pemerintah yang masih diwarnai berbagai kontroversi.

Menyeret pernyataan tersebut ke dalam diskusi politik, tentu saja menjadi isu yang sangat menarik.

Apalagi hal itu diungkapkan di tengah suhu politik yang tengah memanas jelang pemilihan presiden saat ini.

Namun demikian, sebagai rakyat biasa yang sehari-hari hanya sebagai pemirsa dan pembaca berita, membahas pernyataan itu secara politis sepertinya bukan kapasitas saya.

BERITA TERKAIT

Oleh karena itu, tulisan ini hanya akan melihat pernyataan Cak Imin dari perspektif komunikasi publik.

Bahasa bukan “Private Game”

IKN yang hingga kini masih proses pembangunan dan belum tahu kapan akan selesai, memang tidak memiliki daya tarik. Setiap individu bahkan boleh-boleh saja menyatakan tidak bersedia pindah IKN baru yang memang belum siap untuk ditempati.

Namun demikian, dalam menyatakan ketidaksetujuan tersebut, tentunya ada gaya bicara yang lebih elegan dan terhormat. Sebuah bahasa yang layak diungkapkan oleh orang yang ‘dianggap’ bermartabat. Bukan bahasa bernada sinis apalagi menjatuhkan.

Ungkapan “lagi enak-enak di Jakarta, disuruh pindah ke hutan” merepresentasikan sebuah opini bahwa Jakarta jauh lebih enak ditempati dibanding Kalimantan Timur, yang notabene masih hutan. Tentu saja, titik persoalannya bukan terkait benar atau salah dalam berbahasa. Ini lebih terkait dengan sensitivitas seseorang dalam berbahasa. Kalimat tersebut jelas menarasikan perbandingan antar daerah yang sudah pasti berbeda, sebagai akibat pembangunan yang tidak merata.

Memang benar, pernyataan tersebut tidak menyebutkan kata Kalimantan Timur secara eksplisit. Namun, ketika kita menyebut IKN baru, secara otomatis hal itu akan terkait dengan Kalimantan Timur, karena IKN baru berada di wilayah ini.

Baca juga: Dukung Jokowi Soal Pemindahan IKN, Gus Yahya: Jangan Sampai Rusak karena Kepentingan Sesaat

Dengan bahasa tersebut, Cak Imin terlihat tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat yang selama ini hidup di daerah dengan segala keterbatasan yang ada. Selain itu, secara tidak langsung Cak Imin seolah mempertontonkan betapa enaknya hidup di kota besar yang semua fasilitas serba ada.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas