Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jokowi dan Pilpres 2024: Madu atau Racun?
Lirik lagu "Madu dan Racun" yang dipopulerkan Arie Wibowo tahun 1980-an ini tampaknya begitu menggema di benak Presiden Joko Widodo.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - "Madu di tangan kananmu. Racun di tangan kirimu. Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku."
Lirik lagu "Madu dan Racun" yang dipopulerkan Arie Wibowo tahun 1980-an ini tampaknya begitu menggema di benak Presiden Joko Widodo.
Ia tak tahu apa yang akan dirinya terima dari Pemilihan Presiden 2024: madu atau racun?
Jika yang menang dalam pesta demokrasi lima tahunan tanggal 14 Februari nanti itu pasangan calon presiden-wakil presiden yang ia dukung, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, maka Jokowi ibarat mendapatkan madu.
Sebaliknya, jika yang menang ternyata pasangan capres-cawapres lainnya, Ganjar Pranowo-Mahfud Md atau Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, maka Jokowi ibarat mendapatkan racun.
Maka, dalam penantian menuju hari-H pilpres itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini terlihat begitu galau dan panik.
Mengapa panik? Pilpres 2024 tinggal menghitung hari.
Jokowi dan parpol-parpol pengusung Prabowo-Gibran terlanjur sesumbar jagoan mereka itu akan menang hanya dalam satu putaran.
Baca juga: Jokowi Temui Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kraton Yogyakarta, Berbincang Empat Mata Selama 1 Jam
Akan tetapi, berdasarkan survei berbagai lembaga kredibel, elektabilitas Prabowo-Gibran nyaris tak pernah menyentuh angka 50 persen.
Kisarannya cuma 40-46 persen. Ini sangat mengkhawatirkan.
Bahkan mimpi pilpres satu putaran nampaknya sudah waktunya dikubur dalam-dalam.
Prabowo-Gibran memang diprediksi lolos di putaran pertama.
Namun, di putaran kedua jagoan Istana itu akan berhadapan dengan koalisi antara Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin, yang tentu saja tidak akan mudah. Proses penjajakan koalisi sedang berlangsung.
Padahal, Jokowi selaku Presiden sudah mengerahkan segala daya dan upayanya.
Antara lain, pertama, membuat aturan yang tidak mengharuskan menteri atau kepala daerah mundur jika maju sebagai capres-cawapres.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum, yang diteken Presiden Jokowi di pada 21 Novemer 2023.
Kedua, dari semula menyatakan diri akan netral dalam Pilpres 2024, kini Jokowi berubah pikiran dengan menyatakan dirinya boleh berkampanye dan juga boleh memihak; suatu hal yang ia klaim tidak bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Jokowi kemudian merujuk Pasal 299 UU Pemilu bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
Jokowi juga merujuk Pasal 281 UU Pemilu bahwa presiden dan wakil presiden bisa berkampanye selama tidak menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan dan cuti di luar tanggungan negara.
Jokowi agaknya alpa bahwa saat mengacungkan dua jari, yang bisa ditafsirkan sedang mengkampamyekan Prabowo-Gibran, pasangan capres-cawapres nomor urut 2 di Pilpres 2024, dari dalam mobil kepresidenan yang ia tumpangi, sesungguhnya wong Solo itu sedang menggunakan fasilitas negara.
John F Kennedy (1917-1963), Presiden ke-35 Amerika Serikat pernah berujar, "Loyalty to my party ends when loyalty to my country begins" (loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada negara dimulai).
Ucapan Kennedy ini kemudian menjadi semacam fatsoen politik yang dianut para kepala negara bukan hanya di AS, melainkan juga hampir di semua negara demokrasi.
Namun, jangankan loyalitas kepada negara, loyalitas kepada partainya saja berakhir ketika loyalitasnya kepada keluarga dimulai.
Jokowi lebih memilih mendukung Prabowo-Gibran, di mana Gibran merupakan putra sulungnya, daripada mendukung Ganjar-Mahfud yang diusung partainya, PDI Perjuangan.
Ketiga, membiarkan dugaan tidak netralnya oknum-oknum Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri di Pilpres 2024 terus terjadi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun setali tiga uang.
Mungkin penolakan publik tak akan sekeras ini jika Jokowi tidak mendesakkan pencalonan Gibran yang difasilitasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat itu diketuai adik iparnya, Anwar Usman melalui Putusan MK No 90/2023 yang memperbolehkan Gibran menjadi cawapres meski Walikota Surakarta itu baru berusia 36 tahun, belum genap 40 tahun, hanya karena sedang menjabat kepala daerah, sebagaimana sebelumnya diatur dalam Pasal 169 UU Pemilu. Jokowi kini menjadi semacam "common enemy" (musuh bersama) bagi kubu Ganjar-Mahfud dan kubu Anies-Muhaimin, bahkan publik.
Dus, Jokowi pun terlihat panik bahkan frustrasi akibat penolakan publik yang demikian keras itu sehingga elektabilitas Prabowo-Gibran tak pernah menembus angka 50 persen.
Namanya orang panik, ibarat orang hanyut di kali, apa pun ia jadikan pegangan. Jangankan sebatang pohon, sekerat akar pun akan ia jadikan pegangan, yang penting tidak tenggelam.
Termasuk Pasal 299 dan 281 UU Pemilu.
Kini, di mata Jokowi sudah terbayang "racun" yang akan ia dapatkan dari Pilpres 2024. Sebab itu, segala cara pun ia lakukan. Termasuk dengan menabrak fatsoen politik.
Rusaknya Watak
Mengapa Jokowi mendesakkan Gibran menjadi cawapresnya Prabowo?
Mungkin ia butuh sosok penggantinya yang siap melanjutkan program-program pembangunannya, termasuk pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Jika memang demikian, mengapa harus Gibran? Bukankah Ganjar semula juga siap melanjutkan program pembangunan Jokowi?
Di sinilah mantan Walikota Surakarta ini ambigu. Sebab itu, sebagian pihak menilai pencalonan Gibran dilakukan Jokowi karena wong Solo itu takut kehilangan kekuasaan setelah upayanya memperpanjang jabatannya dengan isu tiga periode menemui jalan buntu.
Kita pun jadi ingat adagium Aung San Suu Kyi ketika pejuang demokrasi Myanmar itu menerima hadiah Nobel Perdamaian 1991.
Katanya, "Bukan kekuasasn yang merusak watak, melainkan ketakutan.
Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang berkuasa, takut dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai."
Apakah Jokowi yang disinyalir takut kehilangan kekuasaan itu berarti telah mengalami kerusakan watak atau karakter?
Jika demikian, alangkah ironisnya, karena selama ini ia selalu menggembar-gemborkan revolusi mental.
Revolusi mental itu ternyata mental. Justru pada diri Jokowi sendiri.
* Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).