Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Mengingat Kembali Pangkal Persoalan Rohingya: Kekerasan Harus Dihentikan

Gelombang pengungsian ini tidak akan terjadi apabila kekerasan tidak terus berlangsung di Myanmar. Kekerasan harus segera dihentikan.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Mengingat Kembali Pangkal Persoalan Rohingya: Kekerasan Harus Dihentikan
CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
Pengungsi Rohingya yang baru tiba berkumpul dan beristirahat di sebuah pantai di Laweueng, Kabupaten Pidie di provinsi Aceh, Indonesia pada 10 Desember 2023. Lebih dari 300 pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, terdampar di pantai barat Indonesia pada 10 Desember. pemerintah setempat membiarkan mereka dalam ketidakpastian tanpa adanya kepastian mengenai tempat berlindung 

Oleh: Eva Nila Sari (Penulis adalah Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia)

TRIBUNNERS - Terombang-ambingnya nasib ratusan ribu warga etnis Rohingya, bahkan gaduhnya penolakan terhadap mereka, mengarahkan kita pada polemik perlu tidaknya penghormatan atas kemanusiaan yang diwarnai dengan kerumitan yang bahkan ditimbulkan oleh para pengungsi ini.

Namun entah mengapa opini yang berkembang terkesan mengabaikan pangkal persoalan yaitu tidak dihentikannya aksi pembersihan etnis atas warga Rakhine yang dilakukan oleh Tentara Myanmar. Alhasil gelombang Pengungsi Rohingya terus mengalir, utamanya ke negara-negara seperti Bangladesh, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Sebagaimana diberitakan, sejumlah negara telah menerima dan menolak para pengungsi ini. Banyak faktor yang terlibat dalam penolakan tersebut, seperti tidak sanggup dengan ledakan jumlah pengungsi yang datang, hingga pengungsi yang tidak menaati norma setempat atau bahkan terlibat aksi kriminal.

Gelombang pengungsian ini tidak akan terjadi apabila kekerasan tidak terus berlangsung di Myanmar. Kata kunci yang paling logis adalah kekerasan harus segera dihentikan.

Rumor yang Diyakini sebagai Kebenaran

Kaki tangan Inggris, demikian persepsi yang berkembang di kalangan warga Budha Myanmar atas warga etnis Rohingya.

Berita Rekomendasi

Keyakinan ini, selama bertahun-tahun, telah dijadikan sebagai alasan pembenar untuk melakukan kekerasan bahkan hingga hari ini (kendati telah sekian tahun merdeka dari Inggris).

Fakta bahwa mereka (Rohingya) juga dapat digolongkan sebagai warga lokal karena telah menempati Myanmar (yang dulunya Burma) sejak Abad ke-12, tidak menjadi faktor penting yang patut dipertimbangkan.

Nama Rohingya diperkenalkan pertama kali pada literatur Inggris tahun 1799 yang ditulis oleh Francis Buchanan Hamilton (ahli fisika dan geografi) yang menyebutkan Rooinga atau mereka yang lama tinggal di Arakan atau warga asli Arakan.

Eksodus etnis Rohingya pertama kali terjadi pada tahun 1785, kala itu konflik Meletus di Arakan (sekarang Rakhine) akibat penguasaan oleh etnis Bamar secara opresif.

Banyak warga Rohingya yang lari ke Bangladesh (masih dalam peguasaan Inggris).

Penguasaan Inggris di Myanmar dimulai pada tahun 1823 yang ditandai oleh pembukaan lahan teh secara besar-besaran. Dalam rangka itu, Inggris mendatangkan tenaga kerja dari India dan Bangladesh.

Mereka membangun hidup baru di Myanmar dengan pekerjaan dan pendapatan yang layak.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas