Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Rakyat Sekarat di Lumbung Beras

Sebagai catatan ini adalah impor beras untuk kebutuhan umum, yang akan digunakan mengisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Rakyat Sekarat di Lumbung Beras
ist
Anggota Komisi IV DPR RI dan Ketua DPP PDI Perjuangan, I Made Urip. 

Oleh: I Made Urip
Anggota Komisi IV DPR RI dan Ketua DPP PDI Perjuangan

TRIBUNNEWS.COM - Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai negeri “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”, yang artinya kondisi masyarakat dan wilayahnya subur makmur, tertib, tenteram, sejahtera, serta berkecukupan segala sesuatunya.

Namun semua itu kini tinggal mimpi belaka.

Indonesia harus banyak impor dari negara lain, termasuk impor pangan, lebih khusus beras.

Diberitakan pemerintah memutuskan menambah penugasan impor beras kepada Perum Bulog sebanyak 1,6 juta ton untuk tahun 2024 ini.

Sebelumnya, Bulog ditugaskan mengimpor 2 juta ton beras untuk pelaksanaan tahun 2024.

Namun Bulog juga masih harus merealisasikan pemasukan 500.000 ton beras impor, bagian dari penugasan tahun 2023 yang mencapai total 3,5 juta ton.

BERITA REKOMENDASI

Dengan demikian, beras impor yang akan masuk ke pasar RI tahun 2024 ini bisa mencapai 4,1 juta ton, jika Bulog berhasil merealisasikan penugasan tersebut 100 persen.

Impor beras tahun 2024 ini akan menjadi rekor tertinggi impor beras yang dilakukan pemerintah.

Sebagai catatan, ini adalah impor beras untuk kebutuhan umum, yang akan digunakan mengisi stok cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog.

Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor beras untuk kebutuhan khusus dan kebutuhan lainnya. Seperti beras Basmati, beras khusus, beras ketan, dan beras pecah.

Tahun 2024 ini ada kebutuhan impor beras untuk industri dan horeka (hotel, restoran, dan katering) sebanyak 445.761 ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor beras sepanjang tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton.

Angka ini tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Terjadi lonjakan hingga 613,61% terhadap impor beras tahun 2022 yang tercatat hanya sebanyak 429 ribu ton. Sementara, impor beras tahun 2021 tercatat sebanyak 407,7 ribu ton, tahun 2020 sebanyak 356 ribu ton, dan tahun 2019 sebanyak 444 ribu ton.

Antre Beras

Jika menilik data tersebut, maka harapan mencapai swasembada beras juga akan tinggal mimpi belaka. Jangankan swasembada, kini di mana-mana rakyat justru antre membeli beras yang harganya terjangkau dari operasi pasar pemerintah. Ibaratnya, rakyat sekarat di lumbung beras.

Baras mahal. Pemicunya adalah kelangkaan. Adapun pemicu kelangkaan, selain ulah tengkulak nakal, juga karena produksi beras memang menurun setiap tahun.

Kebutuhan nasional beras tahun 2024 diprediksi mencapai 31,21 juta ton dengan taksasi produksi mencapai 32 juta ton. Produksi ini dikhawatirkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir tahun. Apalagi, BPS telah memprediksi ada potensi defisit 2,82 juta ton beras di periode Januari-Februari 2024.

Menguntungkan Petani?

Apakah mahalnya harga beras ini akan menguntungkan petani? Ternyata tidak juga.

Sebab, sebagian petani padi merupakan konsumen neto beras (net consumers) yang masih harus membeli beras dengan harga pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Produksi padi yang dihasilkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras mereka.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa pada 2004 sekitar 6,2 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi sekaligus konsumen neto beras.

Sementara itu, pada saat sama sekitar 24,6 persen rumah tangga di Indonesia merupakan petani padi. Itu artinya, sekitar seperempat rumah tangga petani padi di Indonesia juga merupakan konsumen neto beras.

Dengan mencermati perkembangan yang dipotret melalui hasil Sensus Pertanian dalam dua dekade terakhir, besar kemungkinan proporsi petani padi yang juga konsumen neto beras lebih besar lagi untuk kondisi saat ini.

Mudah diduga, petani padi yang merupakan konsumen neto beras adalah petani kecil dengan rata-rata penguasaan lahan sawah relatif sempit. Kondisi ini mengakibatkan budidaya tanaman padi yang dijalankan cenderung subsisten, tidak efisien, dan tidak memenuhi skala ekonomi menguntungkan.

Sensus Pertanian 2013 mencatat, rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai rumah tangga pertanian pengguna lahan sawah hanya sebesar 0,39 hektare per rumah tangga. Dengan lahan sawah seluas itu, rata-rata luas tanaman padi yang dibudidayakan setiap rumah tangga hanya sekitar 0,67 hektare per tahun.

Lonjakan jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari setengah hektare dalam sepuluh tahun terakhir, sebesar 2,64 juta rumah tangga (18,54 persen), memberi indikasi kuat bahwa rata-rata luas lahan sawah yang dikuasai petani padi saat ini semakin menyusut, atau lebih rendah dari kondisi sepuluh tahun lalu.

Mengapa produksi beras terus menurun?

Pertama, karena masifnya alih fungsi lahan produktif pertanian menjadi pemukiman, area bisnis, dan tempat wisata. Fenomena ini terjadi di seluruh Indonesia, termasuk di Pantura Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi padi seperti Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon di Jawa Barat.

Kedua, karena mahalnya harga pupuk. Dari 2014 hingga 2018 alokasi pupuk subsidi relatif konstan di angka 9,5 juta ton. Kemudian, sejak tahun 2019, anggaran subsidi pupuk terus mengalami penurunan hingga berada pada Rp24 triliun pada 2023.

Mahalnya bahan baku pupuk, khususnya urea dan KCL, yang diimpor dari Rusia yang sedang berperang dengan Ukraina, menjadi alasan pupuk mahal.

Perang melibatkan dua negara bertetangga ini juga menghambat proses distribusi. Inilah yang menyebabkan harga pupuk naik. Sebab, duitnya tetap, tetapi jumlah pupuk yang bisa dibeli berkurang. Alokasi pupuk subsidi juga berkurang dari 9,5 juta ton, turun 7,5 ton juta ton, turun 6,5 juta ton, turun lagi menjadi 4,8 juta ton.

Ketiga, karena pemuda di desa-desa tidak tertarik menjadi petani karena masa depannya memang tidak menjanjikan. Mereka lebih memilih mengejar mimpi dengan urbanisasi ke kota-kota untuk bekerja di pabrik-pabrik yang lahan pabriknya “merempas” lahan produktif pertanian.

Keempat, karena memang dikondisikan oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Mereka adalah para pemburu rente.

Dengan adanya impor beras, maka rente akan berjalan. Semakin banyak impor, semakin banyak pula rentenya.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas