Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Blog Tribunners

Separuh Ramadanku Terbang

Apakah itu memang tujuanku berpuasa? Lalu bagaimana dengan bertakwa yang merupakan tujuan sesungguhnya dari berpuasa?

Penulis: Hasanudin Aco
zoom-in Separuh Ramadanku Terbang
Mohamed el-Shahed / AFP
Suasana di bulan Ramadan 

Mengapa masih jauh dari kata ikhlas, tidak berharap dapat surga atau takut masuk neraka, atau apa pun, tapi semata-mata karena menjalankan perintah Allah? Bukan demi surga atau neraka, tapi demi Allah, lillahi taala?

Mengapa musabab puasaku karena ada “reward” (penghargaan) berupa surga, dan “punishment” (sanksi) berupa neraka?

Apakah itu memang tujuanku berpuasa? Lalu bagaimana dengan bertakwa yang merupakan tujuan sesungguhnya dari berpuasa?

Bertakwa berarti mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah. Apakah bertakwa kepada Allah karena ada “reward and punishment”?

Apa pun itu, sebagai Muslim awam, aku tetap mencoba berpuasa. Mantapkan niat di dalam hati sejak malam hari. Esoknya di hari pertama Ramadan aku pun benar-benar berpuasa. Makan sahur dan minum secukupnya sebelum fajar tiba.

Akan tetapi di tengah hari bolong tiba-tiba aku jatuh sakit. Mula-mula masuk angin yang ditandai dengan mual-mual dan muntah-muntah. Disusul batuk-batuk. Disusul rasa ngilu di sekujur tubuh. Aku pun membatalkan puasa. Ke dokter. Minum obat. Tepar. “Bed rest”.

Sehari, dua hari, tiga hari, seminggu, bahkan dua minggu berlalu. Aku tanpa puasa. Lalu merasa mendingan dan mencoba kembali untuk berpuasa di hari ke-15. Dengan susah payah, di hari itu puasa sukses sampai kumandang azan maghrib.

Berita Rekomendasi

Tibalah saatnya berbuka. Di meja terhidang teh manis panas dan martabak telur. Dengan lahapnya aku menyantap martabak telur beserta acar dan cabainya yang disajikan istri tercinta.

Keesokan harinya, aku kembali niat berpuasa. Makan sahur dan minum secukupnya. Akan tetapi sehabis makan sahur, perut rasanya sakit teramat sangat. Perih. Mulas. Diare pun melanda. Akhirnya puasaku batal lagi.

Keesokan harinya, di hari ke-17, aku mencoba berpuasa lagi, pantang menyerah. Pertanyaanya, di manakah separuh Ramadanku? Bagaimana bisa lebih dari dua minggu terlewat tanpa puasa? Terbangkah separuh Ramadanku?

“Urip Sakjeroning Mati”

Kini, Ramadanku tersisa 13 hari. Apakah puasaku akan lancar sampai kumandang takbir Idul Fitri nanti? Wallahu a’lam, hanya Allah yang tahu. Yang jelas, aku akan tetap mencoba untuk berpuasa. Semampuku. Kecuali Allah berkehendak lain. Jatuh sakit lagi, misalnya.

Padahal, kalaupun lancar, bisa jadi puasaku hanya menghasilkan lapar dan dahaga saja. Sebab, masih suka memendam amarah. Masih suka ber-ghibah. Masih suka suuzon. Termasuk suuzon (berprasangka buruk) kepada Allah.

Padahal, hakikat puasa adalah mengekang segala hawa nafsu, baik nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu makan dan minum, maupun nafsu-nafsu lainnya. Lapar dan dahaga hanya sebagai penunjang saja. Supaya kondisi badan lemah. Kalau kondisi badan lemah, segala hawa nafsu lebih mudah dikendalikan.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas