Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tarik Pasukan dari Gaza Selatan, Israel Ingin Gempur Hizbullah Lebanon?
Tel Aviv akan menggempur kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon, milisi Syiah dan aktor politik penting di wilayah utara Israel.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Perundingan Israel-Hamas yang difasilitasi AS, Qatar, dan Mesir masih berlangsung alot di Kairo hingga Kamis (11/4/2024).
AS mengajukan proposal pengakhiran konflik Jalur Gaza, yang ternyata ditolak mentah-mentah Hamas.
Proposal AS, yang tentu saja sejalan dengan keinginan Israel adalah pertukaran 900 tahanan Palestina dengan 40 warga Israel yang ditawan di Gaza.
Tawaran lain, pemulangan kembali warga Palestina ke wilayah utara Gaza di bawah pengawasan PBB dan droping 500 truk logistik setiap harinya.
Hamas menolak skema ini dengan alasan kesulitan mengidentifikasi keberadaan 40 warga Israel tersebut di fase awal gencatan senjata.
Jalan panjang masih harus dilalui warga Palestina, menyusul serbuan militer Israel ke Jalur Gaza yang sudah berlangsung enam bulan.
Baca juga: Drone Canggih Ditembak Jatuh, Media Israel: Sistem Pertahanan Udara Hizbullah Bukan Kaleng-kaleng
Baca juga: Gempuran Hizbullah Sukses Buat Permukiman Israel Jadi Kota Hantu, 100.000 Pemukim Angkat Kaki
Baca juga: Hizbullah Lebanon Siap Hentikan Tembakan jika Hamas Setuju Gencatan Senjata dengan Israel di Gaza
Sepekan lalu, Israel secara mengejutkan menarik sebagian besar militernya dari wilayah Khan Younis. Mereka meninggalkan kehancuran yang sulit dibayangkan.
Penarikan itu menimbulkan tanda tanya, apa skenario Israel berikutnya? Benarkah perang di Gaza akan diakhiri Israel?
Keputusan itu bagi analisis politik militer menerbitkan kecurigaan, Israel agaknya ingin memindahkan medan tempur ke Lebanon selatan.
Tel Aviv akan menggempur kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon, milisi Syiah dan aktor politik penting di wilayah utara Israel.
Ini bisa ditafsirkan dari sinyal militer yang mengatakan sedang bersiap melakukan transisi dari tindakan defensif ke tindakan ofensif terhadap Hizbullah.
Jika ini yang terjadi, maka front tempur Israel-Lebanon akan jauh lebih dahsyat mengingat Hizbullah punya kekuatan senjata jauh lebih lengkap dibanding Hamas.
Iran tidak akan tinggal diam, dan sudah pasti akan memanfaatkan Hizbullah Lebanon sebagai proksinya untuk menyerang Israel.
Hizbullah Lebanon dan militer Israel telah saling melancarkan serangan melintasi perbatasan Lebanon-Israel sejak 8 Oktober 2023.
Itu sehari setelah kelompok Hamas menyeberangi perbatasan Jalur Gaza ke Israel, menggempur sejumlah target dan permukiman pendudukan.
Serangan sporadic Israel ke Lebanon Selatan telah menewaskan sekurangnya 330 anggota Hizbullah Lebanon, termasuk 66 warga sipil.
Sebaliknya, serangan Hizbullah telah menewaskan 18 orang di pihak Israel, terdiri 12 tentara dan enam warga sipil.
Warga sipil telah keluar dari daerah rawan perang di kedua sisi perbatasan. Pemerintah Israel mengevakuasi orang-orang dari wilayah utara.
Puluhan ribu warga Lebanon menjauh ke utara, meninggalkan wilayah Selatan yang sangat rapuh keamanannya.
Perang tujuh bulan di Gaza bakal memasuki fase baru. Terlebih Israel sepekan lalu menewaskan dua jenderal Korps Garda Republik Iran di Suriah, yang juga memimpin misi di Lebanon.
Perbatasan Israel-Lebanon sejatinya tidak pernah tenang. Kerawanannya sangat tinggi. Konflik bisa meledak sewaktu-waktu meski ada pasukan PBB menjaga tapal batas kedua negara ini.
Israel berkepentingan menjaga warganya yang berdiam di sepanjang perbatasan dengan Lebanon, dan berusaha melenyapkan ancaman Hizbullah.
Sebuah jajak pendapat di sebuah surat kabar Israel pada Februari 2024 menemukan lebih dari 70 persen warga Israel mendukung keterlibatan militer skala besar dengan Hizbullah.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun secara terus terang bertekad akan beralih ke front utara sesudah urusan di Jalur Gaza diakhiri.
Hilal Khashan, seorang profesor ilmu politik di American University of Beirut mengatakan, ofensif di Israel utara akan mengubah wajah Timur Tengah.
“Kami tegas dalam mewujudkan perubahan mendasar di sepanjang perbatasan kami dengan Lebanon, memastikan keselamatan warga negara kami dan memulihkan perdamaian di utara kami,” kata Netanyahu di sebuah pertemuan pada Februari.
“Israel merencanakan perang jangka panjang dengan Iran dan proksinya yang bisa meledak kapan saja dan merusak seluruh wilayah,” kata Tannous Moawad, seorang analis keamanan dan purnawirawan brigadir jenderal militer Lebanon.
Hal ini juga dirasakan banyak orang di Lebanon. Kenangan traumatis mengenai serangan militer Israel yang mematikan masih relatif segar. Perang besar Israel terakhir di Lebanon terjadi pada 2006.
Kekuatan Hizbullah di Lebanon
Hizbullah memiliki kekuatan yang besar di wilayah selatan Lebanon. Mereka mendapat dukungan rakyat dan merekrut banyak pejuangnya dari akar rumput Lebanon.
Mereka adalah aktor politik dan militer terkuat di Lebanon saat ini dan satu-satunya kelompok politik yang tetap bersenjata setelah Perang Saudara Lebanon berakhir pada 1990.
Meskipun serangan Israel terhadap Gaza tidak dapat dikendalikan, Israel lebih berhati-hati di Lebanon, meskipun sebagian dari pengekangan tersebut kini telah dicabut.
Bahkan dengan intensitas yang terbatas ini, beberapa analis yakin konflik tersebut – dan hilangnya komandan lapangan dan pejuang – telah memberikan dampak buruk bagi Hizbullah.
“Hizbullah kini terjebak karena mereka tidak menyadari kesenjangan antara mereka dan Israel, yang kini jelas tidak dapat dijembatani,” kata Khashan.
“Serangan teknologi tinggi Israel membunuh para pemimpin Hizbullah, dan menyerang mereka tanpa mendapat hukuman,” lanjutnya.
Di antara para pemimpin yang dibunuh Israel adalah Ali Abed Akhsan Naim, wakil komandan bagian roket dan rudal Hizbullah, serta Wissam al-Tawil dan Ali Ahmed Hussein, keduanya merupakan tokoh di unit elit Hizbullah, Pasukan Radwan.
Hamas juga menyalahkan Israel atas serangan pesawat tak berawak di pinggiran kota Beirut pada Januari 2024 yang menewaskan Saleh al-Arouri, komandan Brigade Qassam Hamas di Tepi Barat.
Meski kehilangan elitenya secara signifikan, Hizbullah tetap berbicara menantang, dan beralasan segala sesuatunya masih berjalan sesuai rencana.
“Perlawanan (Hizbullah) hanya menggunakan satu persen senjata kualitatifnya. Semua bentrokan yang terjadi saat ini menggunakan senjata konvensional yang dikembangkan kelompok perlawanan,” kata Hassan Ezzeddine, anggota Hizbullah di Parlemen Lebanon, 8 April 2024.
“Sejauh ini keadaan masih terkendali. Musuh tahu jika tindakan ini berlanjut, hal itu akan menyebabkan perang yang luas dan global,” katanya.
Terlepas dari keunggulannya di medan perang, baik di Gaza maupun Lebanon Selatan, Israel menghadapi masalah dalam negeri yang cukup pelik.
“Israel saat ini berada dalam krisis internal dan situasi militernya sulit,” kata Qassem Kassir, analis politik yang dekat dengan Hizbullah.
Banyak analis yakin Netanyahu ingin menjaga negaranya tetap berperang agar tidak dipenjara atas tuduhan korupsi yang dihadapinya.
Jajak pendapat yang diterbitkan minggu ini menunjukkan hampir tiga perempat warga Israel menginginkan dia mengundurkan diri.
Tingkat dukungan terhadap dirinya anjlok karena kegagalan keamanan menjelang serangan 7 Oktober 2023, dan penolakan massal terhadap perubahan hukum yang coba dipaksakan oleh pemerintah sayap kanan pada tahun lalu.
Dia telah menerima banyak kritik dari seluruh masyarakat ketika para pengunjuk rasa menentang pemerintahan dan memprotes cara dia mengelola perangnya.
Sementara itu, musuh dalam negerinya terus bermunculan.
Seruan untuk diadakannya pemilu baru semakin meningkat, termasuk dari pesaing utama Netanyahu untuk jabatan perdana menteri, Benny Gantz, yang saat ini bertugas di kabinet perang.
“Kita harus menyepakati tanggal pemilu pada September, atau satu tahun sebelum (peringatan) perang jika Anda mau,” kata Gantz dalam jumpa pers yang disiarkan televisi pada tanggal 3 April.
“Menetapkan tanggal tersebut akan memungkinkan kami untuk melanjutkan upaya militer sambil memberi isyarat kepada warga Israel kami akan segera memperbarui kepercayaan mereka kepada kami,” tegas Gantz.
Kecil Peluang Invasi Darat ke Lebanon
Ada dua hal yang jelas, menurut analis yang berbicara kepada Al Jazeera.
Pertama, keinginan Netanyahu untuk tetap berkuasa akan membuatnya memperpanjang perang selama mungkin, yang berpotensi menjadi “perang selamanya” milik Israel.
Kedua, serangan terhadap Hizbullah di Lebanon mendapat dukungan publik yang luas di Israel.
“Saya pikir dampaknya terhadap Lebanon cukup signifikan karena jajak pendapat di Israel menunjukkan lebih dari 70 persen warga Israel mendukung Israel menyerang Hizbullah,” kata Karim Emile Bitar, profesor hubungan internasional di Universitas Saint Joseph Beirut.
“Hal ini dapat mendorong Netanyahu untuk melakukan serangan cepat dan menyerang Lebanon serta memperluas skala konflik (terutama) mengingat banyak warga Israel yang ingin mengambil kesempatan untuk menyerang Hizbullah dan membatasi sayap Iran di seluruh wilayah,” katanya.
Para analis percaya ada dua cara bagi Israel untuk memperluas operasi melawan Hizbullah: invasi darat atau perluasan serangan udara menggunakan drone dan jet tempur.
Sebagian besar analis yang dihubungi Al Jazeera mengatakan mereka tidak melihat kemungkinan terjadinya invasi darat ke Lebanon, mengingat sejarah konflik Israel dengan Lebanon.
Israel menginvasi Lebanon pada 1978 dan 1982 ketika mereka mengepung Beirut barat.
Mereka menduduki bagian selatan negara itu dari 1985 hingga 2000. Hizbullah dan Israel juga berperang pada 2006.
“Invasi darat sangat kecil kemungkinannya,” kata Bitar.
“Orang Israel mempunyai pengalaman panjang di Lebanon, Hizbullah mengetahui medannya dengan sangat baik dan tentara Israel akan berada dalam situasi di mana mereka harus menderita kerugian besar yang kemudian dapat mengubah opini publik Israel terhadap Netanyahu.
“Israel lebih memilih menggunakan serangan udara dan serangan udara dari F-16 daripada menyerang sama sekali,” katanya.
Khashan mengatakan dia merasa Israel mungkin akan melakukan serangan darat terbatas yang “bahkan tidak akan mencapai Sungai Litani” untuk membersihkan daerah yang paling dekat dengan perbatasan pejuang Hizbullah, sehingga menciptakan zona penyangga.
“Tidak akan ada invasi darat,” kata sumber pensiunan tentara Lebanon kepada Al Jazeera.
“Akan ada lebih banyak serangan yang ditargetkan. Warga sipil (kemungkinan) akan terbunuh, tapi ini bukan invasi skala penuh.”
Apa yang disetujui sebagian besar analis adalah Israel akan terus memperluas serangan pesawat tak berawak dan serangan udara terhadap sasaran Hizbullah.
Frekuensi serangan militer Israel di bagian utara Lembah Bekaa, tempat Hizbullah juga mendapat dukungan rakyat, telah meningkat.
Konfrontasi intensif Israel dengan Hizbullah di Lebanon mungkin akan terjadi, namun kecil kemungkinannya mengubah Beirut menjadi Gaza.
Pemerintah berada di bawah tekanan setelah enam bulan serangannya di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 33.000 warga Palestina.
Bahkan sekutu setia Israel seperti AS dan Jerman mengubah sikap mereka setelah militer Israel membunuh tujuh pekerja bantuan dari World Central Kitchen.
Meskipun demikian, para analis yakin Israel merasa mereka memiliki cukup pengaruh untuk memperluas keterlibatan dengan Hizbullah.
“Ini adalah tahun pemilihan umum di AS, dan tidak banyak pengaruh yang siap digunakan AS meskipun mereka memiliki pengaruh yang sangat besar,” kata Bitar.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)