Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pesan Iran Jelas, Setiap Jengkal Israel Kini Bisa Dijangkau Rudal Mereka
Iran mengirimkan pesan kepada Israel, AS dan dunia, setiap jengkal wilayah Israel kini bisa dijangkau rudal mereka.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Para pemimpin Iran menyatakan operasi ‘Janji Kebenaran’ ke Israel telah dituntaskan dalam satu gelombang serangan rudal dan drone kamikaze, Minggu (14/4/2024).
Operasi pembalasan atas serangan Israel ke konsulat Iran di Damaskus itu dinyatakan berhasil mencapai sasaran secara presisi.
Mantan inspektur senjata PBB yang juga purnawirawan Marinir AS, Scott Ritter, memuji keberhasilan aksi Iran yang dinilainya sangat bagus.
Bukan kerusakan dan korban di pihak Israel yang ia pandang sangat luar biasa. Tapi pesan yang disampaikan Iran sangat jelas dan dibaca warga dunia.
Teheran mengirimkan pesan bahwa kini tak ada sejengkalpun tanah di Israel yang aman dari jangkauan rudal balistik Iran.
Baca juga: Apa yang Kita Ketahui saat Iran Gempur Langsung Israel
Baca juga: Yordania Bantu Israel Cegat Puluhan Drone dari Iran, Jadi Negara Arab Pertama yang Melindungi Israel
Baca juga: Iran Sebut Negara Inggris, Jerman, Perancis Telah Menerapkan Standar Ganda terkait Serangan Israel
Jika selama ini ancaman Iran ke Israel dipahami hanya gertak sambal, pasukan rudal Iran telah membuktikan kemampuan mereka.
Pesan yang sama juga ditujukan ke AS. Bahkan Pentagon sudah merasakan secara langsung kehebatan rudal Iran saat pangkalan militer AS di Irak dihantam telak beberapa tahun lalu.
Serangan 300 rudal dan drone Iran, yang juga serentak diikuti aksi Houthi Yaman serta Hizbullah Lebanon, praktis bukan pemantik perang skala kawasan.
Ini tampak dari pernyataan militer Iran yang menegaskan operasi balasan ke Israel sudah berakhir. Hanya ada satu gelombang serangan pada dini hari itu.
Pernyataan pengakhiran serangan itu disertai peringatan ke Israel, jika mereka membalas akan menerima balasan jauh lebih dahsyat.
Sejumlah pengamat geopolitik Timur Tengah membaca, rencana serangan Iran sebenarnya telah diinformasikan ke pihak lain, terutama AS melalui Kedubes Swiss di Teheran.
Ini mirip dengan serangan rudal Iran ke pangkalan militer AS di Erbil. Pentagon telah mendapat informasi lebih awal, yang memberi waktu mereka mengamankan aset penting dan para prajuritnya.
Israel pasti juga telah menerima informasi ini lebih awal, yang memberi kesempatan pasukan Iron Dome bersiaga di unit-unit rudal pencegatnya.
Informasi serangan Iran juga membuat pasukan AS di Irak dan Suriah serta skuadron udaranya di Timur Tengah mengetahui melintasnya rudal dan drone Iran di Irak dan Yordania.
Inggris pun menerbangkan jet-jet tempurnya dari Siprus Utara guna membantu mencegat rudal-rudal Iran saat melesat menuju Israel.
Di darat, Yordania menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang turut aktif mengoperasikan pertahanan udaranya guna menembaki rudal Iran yang melintas di wiayah udara mereka.
Artinya, serangan balasan bukan bersifat dadakan atau dirahasiakan sepenuhnya. Dari sini menjadi jelas, pesan apa yang ingin disampaikan Teheran.
Presiden AS Joe Biden yang langsung menggelar rapat kilat merespon aksi Iran, mengulang sikap dukungannya ke Israel.
Tapi Biden pun menegaskan, AS tidak akan terlibat serangan balik Israel ke Iran sesudah ini, jika Netanyahu memilih jalan kekerasan baru.
Hal itu dikatakan Biden langsung ke Netanyahu dalam percakapan telepon kedua pemimpin. Gedung Putih khawatir balasan Israel bakal memicu perang regional bersifat katastrofik.
Menurut sumber Gedung Putih, Perdana Menteri Israel berusaha memahami tindakan pembalasan apa pun oleh Israel tidak akan didukung Washington.
Ini menjadi tantangan terberat Netanyahu, yang kekuasannya terancam secara domestik akibat tekanan oposisi maupun elite radikal sayap kanan.
Sepanjang karier Netanyahu, musuh utama dia adalah Iran. Berulangkali Israel mengorkestrasi operasi mematikan di dalam negeri Iran.
Mossad menjalankan taktik senyap guna menghentikan program nuklir Iran, yang amat sangat dikhawatirkan Tel Aviv.
Lewat agen-agen sendiri maupun kelompok proksi di Iran, dinas intelijen Israel itu menyabot dan menggelar serangkaian aksi melemahkan Teheran.
Lantas, bisakah Joe Biden benar-benar mampu menahan Israel untuk tidak melanjutkan pertempuran langsungd dengan Iran?
Dalam kasus penghancuran Gaza, Netanyahu dan cabinet perangnya tampak mampu mengatasi tekanan berat Washington.
Mereka tidak peduli tekanan internasional, yang memaksa AS berakrobat meredakan kemarahan dunia atas kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina.
Namun dalam konteks perang melawan Iran, kemungkinan kalkulasinya akan sangat berbeda. Skala risikonya menjadi sangat besar bagi kawasan dan dunia.
Israel harus menghitung dampak konfliknya di jalur perdagangan minyak Laut Merah dan Teluk Persia.
Jika pun tetap nekat memberi respon atau balasan atas serangan rudal ke Israel, Netanyahu kemungkinan akan membuat skalanya mengecil.
Mungkin hanya sekadar pamer sebagai kekuatan militer paling dominan di Timur Tengah, dan bukan balasan yang bisa menyebabkan banyak kematian di Iran.
Jika tujuannya yang terakhir ini, maka mudah untuk memperkirakan reaksi apa yang akan ditunjukkan Iran.
Mungkin tidak hanya Israel dan AS, Yordania kemungkinan akan menerima balasan atas kerjasamanya mencegat rudal-rudal Iran yang melesat ke Israel.
Washington memang memiliki kekuatan lebih untuk mencegah Israel melakukan hal-hal konyol dan provokatif sesudah ini.
Bagaimanapun Pentagon dan industri militer AS masih menjadi tulang punggung Israel. Begitu pula dari segi pendanaannya.
Biden sejauh ini telah dipusingkan sikap keras kepala Netanyahu. Termasuk Keputusan provokatifnya menyerang komplek diplomatik Iran di Damaskus, Suriah.
Gedung Putih tahu dan bisa menduga, serangan ke konsulat Iran itu membuat Teheran tidak punya pilihan lain selain merespon langsung Israel sebagai pelakunya.
David Des Roches, seorang Profesor Madya di Universitas Pertahanan Nasional di Washington DC, mengatakan kepada Al Jazeera, dia terkejut Iran menggunakan serangan langsung ke wilayah Israel.
Ia menilai, tindakan itu harus mereka lakukan sebagai pertunjukan kemampuan dan rasa bangga untuk kekuatan tempur strategis yang mereka miliki.
Hal yang mungkin sedikit jadi pertanyaan, bagaimana Iran menghitung efek dari terbukanya konflik langsung dengan Israel, dengan persoalan Jalur Gaza.
Fokus dunia bisa beralih dari petaka kemanusiaan di Gaza. Israel bisa memperoleh untung dari situasi ini.
Tekanan kuat publik yang selama ini diarahkan ke Israel, bisa melemah karena konflik beralih ke persoalan lebih serius antara Israel dan Iran.
Israel pun berpotensi mendapatkan pengaruh AS dengan menawarkan diri akan menghindari konflik regional yang meluas sebagai imbalan tujuan strategisnya di Gaza.
Sementara melihat reaksi dunia, pernyataan-pernyataan para pemimpin Eropa pro-AS agaknya tidak bakal signifikan.
Umumnya mereka mengutuk serangan Israel, dan sebaliknya memperlihatkan sikap standar ganda mereka terhadap Israel.
Persis sikap sama mereka tunjukkan dalam konteks perang Rusia-Ukraina.
Menlu Rusia Sergey Lavrov meminta Iran dan Israel menahan diri guna menghindari permusuhan lebih lanjut. Hal sama diserukan pemerintah China.
Tidak ada kata kutukan atau kecaman terhadap Iran. Ini mencerminkan sikap Moskow yang berusaha memahami tindakan balasan Iran ke Israel.
Sementara para pemimpin Arab umumnya menghindari pernyataan yang bisa memicu permusuhan dengan Iran, serta menjaga jarak dengan Israel.
Mereka memahami betapa sensitifnya situasi di kawasan Timur Tengah. Adapun mengenai Yordania, situasinya mungkin jauh lebih rumit daripada yang diperkirakan.
Selain Mesir, Yordania adalah pintu masuk keluar jalur darat ke Israel yang sangat strategis. Jalur Yordania sangat penting secara ekonomi karena rute wisata religius paling ramai di dunia.
Amman juga memiliki perjanjian damai dengan Israel, dan secara historis Yordania memiliki hak khusus di Yerusalem.
Hubungan Raja Abdullah dengan barat juga sangat Istimewa, yang menjadikan klan Hashemite Yordania walau kecil, tapi sangat penting bagi AS.
Tapi secara historis politis pula, kini menjadi kian nyata betapa para penguasa Arab masih ada di bawah hegemoni barat.
Sebaliknya, Iran telah mampu membuktikan kegarangan mereka melawan Israel secara langsung. Nilai Teheran kian kuat di mata masyarakat Arab yang peduli dengan masalah Palestina.
Secara militer, Israel memiliki kompetitor baru yang nyata di Timur Tengah. Turki juga kuat, tapi mereka tak berani melawan Israel secara langsung.
Suriah puya keberanian seperti Iran, tapi kemampuan militer dan teknologi tempur mereka tak sebanding karena dirundung perang.
Irak punya potensi seperti Iran, tapi kemampuan militer dan teknologinya juga masih rendah setelah Saddam Hussein dijatuhkan.
Apalagi Irak masih jadi tempat bercokolnya ribuan tentara AS dan mesin-mesin perangnya yang melindungi penghisapan sumber-sumber minyak di negara itu dan tetangganya, Suriah.
Baghdad masih ada di bawah hegemoni Washington, walau berusaha keras mulai melepaskan diri dengan cara menegosiasi ulan kehadiran pasukan AS di negara itu.
Situasi sesudah gelombang serangan rudal balasan Iran agaknya akan lebih cenderung kembali ke kenormalan awal.
Israel tidak akan langsung membalas. Iran akan menahan diri sepanjang Israel tidak memprovokasi mereka.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)