Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Koordinasi Sat-set Jelang Kunjungan Paus Fransiskus

Indonesia dan Timor Leste maupun Indonesia-Papua Nugini memang harus mempersiapkan langkah sat-set agar para pelintas batas

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Koordinasi Sat-set Jelang Kunjungan Paus Fransiskus
Dok. pribadi
Algooth Putranto 

Oleh Algooth Putranto*)

TRIBUNNEWS.COM - Kita bisa pastikan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada 3 – 6 September 2024 menjadi pesta bagi umat Katolik Indonesia.

Jakarta sebagai satu-satunya kota yang masuk dalam jadwal kunjungan bersejarah tersebut harus siap menyambut sukacita umat dari luar kota dan luar pulau.

Soal kesiapan? Ah, sudahlah ini bukan gelaran kali pertama bagi Jakarta menjadi pusat kegiatan internasional. Secara infrastruktur, Jakarta sudah pasti paling siap menyambut ribuan umat Katolik yang ingin melihat langsung Sri Paus non-Eropa pertama tersebut.

Infrastruktur seluruh moda transportasi hingga penginapan di Jakarta selama kunjungan Paus Fransiskus akan bekerja pada kapasitas maksimalnya. Lagi-lagi, penulis optimistis Jakarta tidak akan kerepotan. Seharusnya sudah bukan menjadi isu lagi. 

Baca juga: VIDEO WAWANCARA EKSKLUSIF Saat Mgr Pius Datubara Kenang Kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Medan

Hal menarik yang mungkin terlewat adalah bagaimana memastikan umat Katolik di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua-Papua Barat yang berkepentingan untuk menyambut Sri Paus ketika berkunjung ke Dili, ibukota Timor Leste dan Vanimo, Papua Nugini. Satu pulau tapi sudah beda negara.

Diketahui setelah mengunjungi Indonesia, Sri Paus dijadwalkan melanjutkan kunjungan ke Port Moresby  dan Vanimo (Papua Nugini) dari 6-9 September 2024. Kemudian, Dili (Timor Leste) dari 9-11 September 2024 sebelum kemudian ke Singapura pada 11-13 September 2024.

BERITA REKOMENDASI

Jika dihitung perjalanan darat dari Kupang ke Dili via Atambua paling lama 12 jam perjalanan darat, sementara perjalanan darat dari Jayapura ke Vanimo via Skow sekitar 3 hingga 4 jam. Upaya yang lebih masuk akal dibandingkan memaksakan diri berjejalan ke Jakarta.

Baca juga: Diplomasi Menjual Bahasa Indonesia Harus Intensif Jelang Kunjungan Paus Fransiskus

Tentu saja karena ini menyangkut urusan pelintas antar negara, jelas akan lebih rumit dibandingkan sekadar kunjungan pesiarah Katolik dari wilayah dalam negeri ke Jakarta sesederhana urusan bis Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). 

Sebaliknya urusan peziarah dari NTT dan Papua sudah masuk isu Pelintas Batas. Ini tak lagi sederhana. Dibutuhkan diplomasi alias praktik mempengaruhi keputusan dan perilaku pemerintah asing atau organisasi antar pemerintah melalui dialog, negosiasi, dan cara non-kekerasan lainnya

Sayang hingga saat ini proses diplomasi penulis lihat hanya untuk mengupayakan agar umat Katolik NTT agar bisa menyeberang dengan aman ke wilayah Timor Leste, sementara kerja diplomasi mengupayakan umat Katolik Papua nyaman masuk ke Papua Nugini belum terdengar sama sekali.

Upaya Pemerintah Indonesia bagi umat Katolik NTT terlihat dari kerja keras instansi Imigrasi Republik Indonesia maupun Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Instansi Imigrasi, dalam hal ini Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Silmy Karim langsung melobi Dirjen Imigrasi Timor Leste Adelaide da Rosa. Sementara BNPP juga telah melakukan koordinasi dengan mitra Timor Leste.  

Bagi yang belum akrab dengan BNPP adalah Badan Pengelola Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Lembaga nonstruktural ini dipimpin Kepala Badan yakni Menteri Dalam Negeri, langsung di bawah Presiden.

Secara struktur, lembaga ini cukup gemuk karena harus mampu mengkoordinasikan fungsi pengawasan perlintasan di daerah lintas batas seperti imigrasi, bea cukai, karantina hewan, karantina tumbuhan, kepolisian, TNI, dan Pemerintah Daerah. 

Koordinasi-Sosialiasi

Urusan perlintasan antar negara ini tak sederhana karena harus memenuhi kaidah hukum nasional, reportnya Indonesia-Timor Leste maupun Indonesia-Papua Nugini berbatasan darat serupa halnya perbatasan kita dengan Malaysia alias berpeluang memiliki banyak jalan tikus karena keadaan topografi perbatasan.

Kita harus sadar keterbatasan anggaran negara menyulitkan pembangunan pagar batas wilayah dan pengawasan yang menjamin keamanan seperti halnya Amerika-Mexico, Israel-negara-negara tetangganya atau Korea Utara-Korea Selatan.

Alhasil untuk urusan peziarah nanti, Indonesia dan Timor Leste maupun Indonesia-Papua Nugini memang harus mempersiapkan langkah sat-set agar para pelintas batas wilayah antar negara ini benar, lancar dan mencegah masuknya peziarah ilegal.

Hal ini mutlak diperlukan karena sampai saat ini untuk urusan perlintasan antar negara ya hanya dua yakni menggunakan paspor atau surat perjalanan lintas batas (pas lintas batas). Di luar itu ya pelintas gelap.

Paspor adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara. Bagi pemilik Paspor Indonesia, sejak 25 September 2019, Pemerintah Timor-Leste telah memberlakukan bebas visa kunjungan wisata /kunjungan singkat 30 hari bagi WNI. 

Sementara pas lintas batas hanya dimiliki para pelintas batas yaitu penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam Kawasan Perbatasan negara serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pelayanan Lintas Batas Negara (PLBN).

Dalam hal ini, syarat paspor dan pas lintas batas akan menjadi isu besar bagi mayoritas umat Katolik NTT yang akan menyambut Paus. Proses pembuatan paspor butuh waktu dan biaya tidak sedikit, sementara pas lintas batas lebih sederhana namun butuh administrasi yang rapi di tingkat pelaksana   

Apapapun itu sudah pasti baik Indonesia dan Timor Leste harus memikirkan proses masuk (pintu) berikut administrasi bagi WNI yang diperkirakan akan mencapai sekitar 30 ribuan orang. Mereka umumnya akan masuk ke Dili via jalur darat.  

Tidak seperti WNI yang akan menuju ke Vanimo melalui darat hanya melalui PLBN Skouw, maka WNI yang akan ke Dili bisa melalui beberapa perlintasan a.l Mota’ain – Batugade, Haumusu C/Wini – Wini, Metamauk – Salele, Napan – Bobometo, Haekesak/Turiskain – Tunubibi dan Builalo – Memo.

Koordinasi antar negara perlu dilakukan agar para peziarah tidak mengalami penumpukan akibat proses administrasi. Penulis melihat urgensi adanya sosialisasi yang cukup dan intens dari berbagai stakeholder bagi para peziarah agar patuh aturan.

Tidak saja patuh namun juga menjamin kenyamanan, ini penting karena September besar kemungkinan sudah masuk pada kondisi cuaca panas. Pengalaman tragedi mudik Brexit (Brebes Exit) akibat kemacetan pintu keluar Tol Brebes Timur saat arus mudik Lebaran Juli 2016 jangan sampai terulang.

Sekadar mengingatkan paling tidak 17 orang tewas dalam tragedi Brexit, dan puluhan lainnya harus dirawat di rumah sakit. Penyebab korban meninggal dunia bermacam-macam, mulai akibat serangan jantung, keracunan karbon dioksida, hingga kelelahan.

*) Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas