Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam?
Badan Legislasi DPR saat ini sedang merumuskan RUU Penyiaran sebagai Revisi dari UU Penyiaran No. 32/2002, namun "menabrak' UU Pers No 40/1999.
Editor: Choirul Arifin
Dimulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya dan daerah2 lain yg sedang direncanakan. Kegiatan pertama akan diselenggarakan bertepatan dgn Hari Kebangkitan Nasional (Senin, 20/5/24 pukul 13.00 WIB) bertempat di HEYOO Coffee Jl.Pierre Tendean 41, Jakarta Selatan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Para pakar independen ini secara prinsip mirip dengan yang sudah sering juga dilakukan oleh para jurnalis kita dengan membuat berbagai tayangan liputan investigatif.
Tayangan-tayangan cerdas dan mengedukasi masyarakat tsb dibuat tidak dgn asal kejar tayang namun melalui proses Riset dan Analisis Ilmiah sebelumnya, karena tidak jarang pembuatannya juga melibatkan para pakar dibidangnya sehingga saling sinergi.
Judul-judul acara tayangan investigatif yang tayang di TV nasional kemarin sudah saya tulis seperti SiGi, Realitas, Telusur, berkas dan sebagainya dan ada juga yang menggunakan nama anchor/host-nya (Aiman, AFD, Rosi, Ni Luh, Rully dan sebagainya).
Semuanya merupakan Karya Jurnalistik Investigatif menarik yang layak diapreasiaai, bahkan menjadi judul film yang bisa ditonton melalui YouTube seperti Sexy Killer, Dirty Vote dan sebagainya.
Masalahnya dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas sekarang mendadak (di) muncul (kan) ide kontroversial utk membatasi bahkan bisa disebut melarang jenis Jurnalistik Investigatif di atas.
Padahal kalau pembuatan RUU adalah utk antisipasi terhadap munculnya Teknologi baru yg belum diatur oleh UU sebelumnya, itu wajar dan justru harus dilakukan, misalnya ttg Penyiaran digital, khususnya layanan OTT / Over The Top, UGC / User Generated Content, bahkan AI / Artificial Intelligence yang kini mulai marak.
Namun kalau dibuat justru utk menghambat kehidupan media yg sudah berjalan benar sebagai "The fourth pillar of democrazy" bersanding dengan kekuatan eksekutif, legislatif dan yudikatif, hal tersebut menjadi salah dan patut dipertanyakan ada apa di baliknya.
Kalaupun revisi harus dilakukan karena adanya perubahan bentuk atau lembaga penyiaran, misalnya Penggabungan LPP / Lembaga Penyiaran Publik RRI & TVRI (menjadi RTRI) dalam Pasal 15A (1) hal tsb-pun masih bisa dimaklumi. Namun terkait dgn jurnalistik Investigasi, mendadak RUU ini memuat Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yg melarang media menayangkan siaran ekslusif jurnalistik investigasi (?).
Tak hanya itu, RUU ini juga disisipkan Pasal 42 ayat 2 yg mengatur soal penyelesaian sengketa pers di KPI/Komisi Penyiaran Indonesia.
Hal ini jelas tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999 yg menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
Secara lebih detail saya tuliskan disini Pasal2 RUU Penyiaran (berdasar bukti versi 27/03/2024) yg Kontroversial tsb: 1. Pasal 42 ayat 2 (tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999) karena di RUU ini berbunyi "Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
2. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) (melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi) yg berbunyi "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:dst (c.) Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi".
Kemudian yangg ke 3 Pasal 50B ayat 2 huruf k (larangan konten siaran yg mengandung penghinaan & pencemaran nama baik, padahal sudah ada di UU ITE) "Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.".