Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Viktor Orban Duri dalam Daging Rencana Perang NATO Melawan Rusia
PM Hongaria Viktor Orban memperingatkan elite Uni Eropa dan NATO sedang mempersiapkan perang langsung melawan Rusia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Viktor Orban menjadi satu di antara sosok penting antitesis Uni Eropa dan NATO saat Ukraina berperang melawan Ukraina.
Tokoh berpostur tinggi besar ini bersama Menlu Peter Szijjarto membawa Hongaria menjadi satu di antara sedikit negara yang melawan agresifitas Uni Eropa dan NATO.
Perdana Menteri Hongaria ini menolak berpartisipasi dan membantu Ukraina, baik dalam bentuk dukungan dana maupun senjata.
Orban juga konsisten menentang semua bentuk aksi dan sanksi yang dijatuhkan Uni Eropa terhadap Rusia.
Pernyataan terbaru Viktor Orban sangat keras. Ia memperingatkan NATO sedang mempersiapkan perang langsung melawan Rusia.
Orban tidak ingin negaranya terseret, dan tengah mengevaluasi posisinya di blok politik militer Atlantik tersebut.
Atas sikap dan posisinya itu, Hongaria saat ini di NATO statusnya diturunkan ke peran non-peserta.
Baca juga: PM Hungaria Viktor Orban: Eropa Kehilangan Kekuatan Damaikan Rusia-Ukraina
Baca juga: PM Hongaria Viktor Orban Peringatkan Eropa Bakal Hadapi Resesi dan Kekacauan
Budapest sekarang sedang mencari cara hukum untuk mempertahankan keanggotaannya tetapi berhak untuk tidak ikut serta dalam operasi NATO yang tidak disetujuinya.
Orban telah membaca apa yang dipikirkan para elite di Brussel (Uni Eropa) dan Washington (Gedung Putih) terkait kemungkinan konfrontasi langsung melawan Rusia.
NATO bahkan telah membentuk kelompok kerja yang mengkaji cara terbaik bagi blok tersebut untuk lebih menaikkan partisipasinya dalam konflik Ukraina.
Orban mengingatkan, NATO dibentuk dengan tujuan membela negara-negara anggota dari agresor, bukan melancarkan perang di luar wilayahnya.
Mengomentari klaim barat Rusia dapat menyerang Eropa jika mereka mengalahkan Ukraina, Orban mengatakan kemungkinan ini terjadi sangat kecil.
Baginya, alasan itu hanya dalih bagi kelompok yang menginginkan perang untuk terlibat langsung dalam konflik Ukraina.
Hongaria menentang Langkah NATO mempersenjatai Ukraina sejak awal konflik pada Februari 2022.
Negara tersebut belum mengirim senjata apa pun ke Kiev, dan tidak mengizinkan wilayahnya digunakan untuk pengiriman senjata.
Budapest telah menyerukan gencatan senjata dan solusi diplomatik terhadap konflik tersebut.
Ini dilakukan Viktor Orban secara konsisten, karena sejak awal ia melihat ada tindakan tak bertanggung jawab yang tak memperhitungkan dampak keterlibatan UE dan NATO dalam konflik ini.
Eropa menjadi begitu terlibat dalam perang sehingga mereka bahkan tidak memiliki perkiraan mengenai skala biaya dan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan militernya
“Saya belum pernah melihat tindakan yang lebih tidak bertanggung jawab dalam hidup saya,” kata Orban dalam sebuah wawancara dengan saluran YouTube Patriota.
Dia kembali menekankan, NATO ingin menjadi salah satu pihak dalam konflik di Ukraina dan peluang aliansi tersebut untuk dicegah sangat kecil.
Gagasan ekstrem mula-mula diserukan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang tidak mengesampingkan pengiriman tentara Eropa ke medan perang Ukraina.
Ide Macron ini belakangan disambut Sekjen NATO Jens Stoltenberg dalam bentuk dan pendekatan yang agak berbeda.
Jens Stoltenberg berpendapat NATO harus membiarkan Ukraina bebas menggunakan senjata mereka untuk melancarkan serangan lebih jauh ke wilayah Rusia.
Senjata itu meliputi semua bentuk rudal dan jet tempur yang memiliki jangkuan di atas 500 kilometer, yang dikirim AS, Inggris, Prancis, dan anggota NATO lainnnya.
Selama ini, NATO dan sponsor barat masih membatasi bantuan persenjataan jarak jauh ke Ukraina karena mempertimbangkan dampak eskalasi konfliknya.
Jika ide itu disetujui, tidak bisa disangsikan lagi, perang akan melebar, dan sangat terbuka kemungkinan konflik akan melibatkan negara-negara Eropa dan NATO.
Rusia sejak awal sudah mendeklarasikan, setiap senjata dan personal militer asing maupun tentara partikelir yang memasuki Ukraina, menjadi target sah untuk dihancurkan.
Lantas, mengapa Viktor Orban dan Hongaria memilih bersikap melawan kebijakan NATO dan Uni Eropa?
Kita bisa memulai dari segi geografis Hongaria dan Riwayat sejarahnya yang sangat panjang baik di Eropa maupun kea rah Asia.
Dikutip dari Wikipedia, Hongaria (bahasa Hongaria: Magyarország) adalah sebuah negara kecil yang terkurung daratan di Eropa tengah.
Negara ini terletak pada Cekungan Karpatia dan berbatasan dengan Austria di sebelah barat, Slowakia di sebelah utara, Ukraina di sebelah timur, Rumania di sebelah tenggara, Kroasia dan Serbia di sebelah selatan, Slovenia di sebelah barat daya.
Hongaria membentuk kumpulan Visegrád bersama Polandia, Slowakia dan Republik Ceko. Kota terbesar dan ibu kotanya adalah Budapest.
Bahasa resminya adalah bahasa Hongaria, yang merupakan bahasa non-Indo-Eropa yang paling banyak dituturkan di Eropa.
Setelah masa pendudukan bangsa Keltik, Romawi, Hun, Slavia, Gepid, dan Avar, kerajaan Hongaria terbentuk pada akhir abad ke-9 oleh pangeran agung Hungaria bernama Arpad.
Cucunya, Stephen I naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1000 M, mengubahnya menjadi kerajaan Kristen.
Kerajaan Hongaria bertahan hingga 946 tahun, dan pada beberapa waktu menjadi pusat kebudayaan dunia barat.
Setelah Pertempuran Mohács dan pendudukan oleh Kesultanan Utsmaniyah (1541-1699), Hongaria menjadi bagian dari Kekaisaran Habsburg, yang kemudian membentuk bagian dari Kekaisaran Austro-Hungaria.
Batas negara yang sekarang dipakai didasarkan pada Perjanjian Trianon (1920), segera setelah Perang Dunia I diakhiri.
Negara ini kehilangan lebih dari 71 persen wilayah, 58 % penduduk, dan 32 % etnis Hongaria. Di pihak Poros (Axis), Hongaria juga mengalami kerugian hebat pada Perang Dunia II.
Hongaria memberlakukan sejumlah undang-undang anti-Semit selama 1920-an dan 1930-an, dan sejumlah pembantaian terhadap orang-orang Yahudi oleh tentara Hungaria terjadi di awal Perang Dunia II.
Hongaria mulanya menolak untuk melakukan deportasi besar-besaran terhadap penduduk Yahudi di negara itu.
Namun akhirnya, pada masa pendudukan Jerman, Partai Salib Panah dan para pejabat pemerintah ikut serta sepenuhnya dalam holocaust.
Pada Mei dan Juni 1944, polisi Hongaria mendeportasikan hampir 440.000 orang Yahudi dalam lebih dari 145 kereta api, kebanyakan menuju kamp Auschwitz.
Akhirnya, lebih dari 533.000 orang Yahudi di Hongaria dibunuh pada masa holocaust, ditambah lagi beberapa puluh ribu orang gipsi Roma.
Setelah kekalahan Jerman Nazi, Hongaria menjadi bagian dari daerah kekuasaan Soviet dan dijadikan sebuah negara komunis setelah suatu masa demokrasi yang singkat pada 1946–1947.
Setelah pemimpin komunis 1948, Mátyás Rákosi, membentuk suatu pemerintahan Stalinis di negara itu. Ini memantik perlawanan Sebagian kelompok di Hongaria.
Revolusi Hungaria pecah 1956, dan Hongaria keluar dari Pakta Warsawa. Hal ini dijawab intervensi militer besar-besaran Uni Soviet.
Dari tahun 1960-an hingga akhir 1980-an Hongaria menikmati status khusus sebagai "barak yang paling bahagia" di lingkungan blok timur.
Perlahan perubahan terjadi di Hongaria. Pada 1989, Hongaria membuka batas wilayahnya dengan Austria, yang sebelumnya ditutup dengan Tirai Besi.
Setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991, Hongaria mengembangkan ikatan yang lebih erat dengan Eropa Barat, bergabung NATO pada 1999 dan Uni Eropa pada 11 Mei 2004.
Dari peta geografis dan riwayat sejarahnya ini, alasan yang membuat Viktor Orban teguh menentang agresifitas Uni Eropa dan NATO antara lain terkait kelangsungan ekonomi Hongaria.
Sebagai negara yang terkurung daratan, Hongaria sepenuhnya tergantung pada pasokan bahan energi dari Rusia lewat jalur darat.
Ketika Uni Eropa ramai-ramai menolak impor migas Rusia, Hongaria bersama Ceko dan Slovakia menjadi pihak yang sangat tidak diuntungkan.
Hubungan Viktor Orban dengan para pemimpin Rusia sangat baik. Begitu pula hubungannya dengan China.
Hongaria bisa kolaps jika mengikuti sikap Brussel, karena sudah pasti akan sangat sulit mendapatkan pasokan baru migas selain dari Rusia.
Hongaria selama ini mendapatkan bahan migas Rusia lewat jalur pipa langsung yang melintasi Ukraina, dan sampai di kilang migas di dekat Budapest.
Mereka memperbarui kontrak pembelian migas ke Rusia di tengah peperangan Ukraina. Pilihan tidak mudah ini dijelaskan Menlu Hongaria Peter Szijjarto.
Hongaria saat ini juga tengah membangun pembangkit nuklir atas dukungan Rusia.
“Keamanan pasokan energi Hongaria memerlukan transportasi gas, minyak, dan bahan bakar nuklir yang tidak terputus. Untuk memenuhi ketiga syarat tersebut, kerja sama energi Hongaria-Rusia tidak boleh terputus. Ini tidak ada hubungannya dengan preferensi politik,” kata Szijjarto.
Ini menandai betapa hubungan Hongaria dengan Moskow jauh lebih dalam daripada semata hubungan minyak dan gas.
Perdana Menteri Viktor Orban telah berulang kali menolak seruan barat untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan Moskow.
Orban bahkan mengeca apa yang dilakukan Uni Eropa mempertontonkan kegagalan yang akut dan memalukan.
“Strategi Brussel terhadap Ukraina telah gagal secara spektakuler. Tidak hanya di medan perang yang situasinya sangat buruk, tetapi juga dalam politik internasional,” kata Orban.
“Kami telah mengatakan dengan sia-sia perang ini adalah perang persaudaraan antara dua negara Slavia (Rusia-Ukraina), dan bukan perang kami (Eropa),” kata Orban awal tahun ini.
Selain Hongaria, Serbia termasuk negara di Eropa yang juga getol mengritik agresifitas negara-negara Eropa dan NATO.
Turki, anggota NATO, juga dalam beberapa kesempatan menentang agenda militeristik NATO di Ukraina.
Namun, hanya Viktor Orban dan Peter Szijjarto dari Hongaria lah yang terang-terangan melawan campur tangan begitu dalam Uni Eropa dan NATO di Ukraina.
Viktor Orban kerap dikatai ‘duri dalam daging’ di tubuh Uni Eropa dan NATO. Dia juga dianggap ‘kerikil dalam sepatu’ barat saat perang proksi melawan Rusia.
Apa yang paling dikhawatirkan Orban adalah, permusuhan terbuka Eropa dan NATO melawan Rusia, bisa meletakkan benua itu di tepi perang nuklir.
Eropa mungkin memandang senjata nuklir adalah kekuatan penangkal atau pencegah (deterence power) perang.
Tapi tidak ada yang menjamin, nuklir tidak akan digunakan dalam perang akbar jilid tiga di Eropa.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)