Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Membedah Kasus Viral Vina Cirebon di Mata Kriminolog Universitas Budi Luhur

Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Studi Global, Universitas Budi Luhur, Arsenius Wisnu Aji Patria Perkasa membedah kasus Vina Cirebon.

Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Membedah Kasus Viral Vina Cirebon di Mata Kriminolog Universitas Budi Luhur
Kolase Tribunnews/net
Kasus pembunuhan disertai pemerkosaan pasangan asal Cirebon, Vina dan Eki. Dosen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Studi Global, Universitas Budi Luhur, Arsenius Wisnu Aji Patria Perkasa membedah kasus Vina Cirebon. 

Lalu jika memang Pegi adalah benar pelaku yang buron, mengapa lima terpidana lainnya mengatakan bukan Pegi sebagai pelakunya?

Berbagai kejanggalan ini lah yang menyebabkan Keluarga Vina maupun publik memiliki persepsi bahwa kasus Vina Cirebon semakin janggal dan mungkin saja melibatkan pejabat pemerintah tertentu.

Bila menganalisa dasar forensik dari sudut kajian kriminologi Forensik, buku berjudul Forensic Criminology yang ditulis oleh Petherick, Turvey, & Ferguson (2010) bisa menjadi pegangan. Pada buku tersebut dijabarkan dua klaster analisis yaitu: (1) nomothetic examination dan (2) idiographic examination.

"Poin pertama lebih berfokus pada analisis makro dimana investigasi dan pengetesan yang dilakukan berfokus pada sistem, proses, pengelompokan pola, dan karakteristik lainnya yang sejenis. Oleh karena itu, poin ini lebih sering dikaitkan dengan tes dan eksperimen biologis melalui laboratorium," jelas Arsenius yang merupakan Kriminolog dari Universitas Budi Luhur.

"Sedangkan poin kedua lebih berfokus pada analisis mikro dimana investigasi dan pengetesan yang dilakukan berfokus pada tes secara individual yang terlibat dalam kasus, menemukan keunikan tertentu dari mereka, dan pendalaman secara interpersonal. Oleh karena itu, poin ini lebih sering dikaitkan dengan interpretasi sosial dari penyidik terhadap manusia lain yang terlibat dalam suatu kasus, baik itu terduga, saksi mata, tersangka, keluarga korban maupun pelaku, dan lain sebagainya," papar Arsenius lebih mendalam.

Baca juga: Kasus Vina Cirebon: Kuasa Hukum Bantah Pegi Disembunyikan Ayahnya

Dua klaster analisis ini, lanjut jebolan Universitas Indonesia tersebut, seharusnya digunakan secara bersamaan. Akan tetapi nomothetic terkadang memiliki kendala kerusakan dan/atau hilangnya barang bukti biologis. Sedangkan keterbatasan ideographic adalah daya nalar, ketidakjujuran, dan bahkan hilangnya kontak.

"Berkaca dari hal tersebut, proses hukum kasus Vina Cirebon tentu akan mengalami hambatan yang sangat besar jika menggunakan analisis nomothetic," lugasnya.

Berita Rekomendasi

Jeda waktu delapan tahun sudah pasti merusak seluruh bukti biologis yang telah dikumpulkan sebelumnya. Terlebih lagi giat prarekonstruksi pembunuhan yang digelar oleh Polda Jawa Barat bersama Polres Cirebon di enam titik TKP pada 29 Mei 2024. Tidak mungkin bukti fisik seperti darah, tubuh korban, atau barang bukti lainnya yang dapat dikumpulkan di lokasi-lokasi tersebut.

Anehnya, polisi membuat gambar lingkaran merah atau putih seolah-olah itu adalah korban dan/atau letak barang bukti lainnya. Gelar prarekonstruksi menjadi dipertanyakan manfaatnya dan wajar saja jika muncul opini bahwa giat tersebut adalah gimmick belaka.

Klaster analisis ideographic masih lebih logis untuk dilakukan pada saat ini. Polri dapat melakukan interogasi ataupun wawancara dengan saksi mata lain, keluarga korban, atau yang lainnya. Bahkan lebih masuk akal jika polisi melakukan wawancara dengan sahabat Vina yang dikatakan kesurupan arwah almarhum di media lain.

Analisis ini lebih mudah dilakukan oleh polisi namun kenyataannya tidak dilakukan secara maksimal. Argumen ini terbukti melalui kesaksian lima dari delapan terpidana yang mengatakan bahwa Pegi bukan pelakunya, tidak ada pengakuan dari Pegi bahwa dia melakukan tindakan pembunuhan, dan bahkan katanya Pegi tidak mengenal Vina. Lalu bukti valid seperti apa yang dapat membenarkan penangkapan Pegi? Memang terdapat pengakuan dari satu terpidana bahwa Pegi adalah pelakunya, tapi pengakuan satu dari delapan orang apakah sudah cukup kuat untuk pengujian validitas keputusan? Saya rasa belum cukup.

Baca juga: Sidang Belum Mulai, Eks Kabareskrim Susno Duadji Sudah Prediksi Pegi Pasti Menang, Kok Bisa?

Oleh karena itu, pengusutan kasus Vina Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 silam sudah pasti sangat amat sulit untuk dilakukan. Selain adanya kecacatan analisis melalui idiographic examination saja, masih banyak juga fakta-fakta yang mungkin ditutupi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini.

Bisa saja dugaan Hotman Paris bahwa terdapat anak mantan pejabat Cirebon yang terlibat sebagai pelaku itu benar. Meski demikian, hal tersebut masih dugaan dan tidak bisa diamini begitu saja.

Pada akhirnya, Polres Cirebon, Polda Jawa Barat, dan Bareskrim Polri harus bekerja sangat amat ekstra keras untuk mengungkap kebenaran pada kasus Vina Cirebon.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas