Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Dinasti Politik Jokowi, Sebuah Penghancuran Sistem Demokrasi dan Penegakan Hukum
Kini Jokowi diduga terjebak dalam praktik korupsi, gratifikasi berupa ijonisasi jabatan Ketua DPA melalui revisi UU No 19 Tahun 2006 tentang Wantimpre
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Petrus Selestinus SH
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara
TRIBUNNEWS.COM - Perjalanan panjang perjuangan mengakhiri pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto dilakukan sejak 1996 hingga lahirnya Reformasi pada 21 Mei 1998 dan merupakan perlawanan rakyat bersama Ibu Megawati Soekarnoputri terhadap rezim di bawah kekuasaan Presiden Soeharto melalui "legal action" (aksi hukum).
Mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998 tidak bisa dilepaskan dari 2 dua peristiwa hukum dan politik yang sangat penting dalam sejarah perjalanan politik bangsa Indonesia yang diperhadapkan pada Ibu Megawati dan rakyat pendukungnya, yaitu:
Pertama, keputusan pemerintah melahirkan "dualisme" kepengurusan PDI, yang satu dipimpin Soerjadi (PDI Soerjadi) dan dibekingi oleh Soeharto, sedangkan PDI Pro Mega dipimpin Ibu Megawati, didukung oleh rakyat bawah.
Kedua, peristiwa 27 Juli 1996 atau disingkat Kudatuli merupakan tindakan kekerasan aparatur TNI-Polri melakukan penyerbuan terhadap kantor PDI Pro Mega.
Kedua peristiwa hukum dan politik di atas merupakan rekayasa politik Orde Baru dan Soeharto demi menyingkirkan Megawati dari pentas politik nasional.
Baca juga: Pengangkatan Orang Dekat Prabowo Jadi Wakil Menteri Jokowi, Kompromi Politik atau Hidupkan Dinasti?
Namun dalam perjalanannya ternyata rekayasa Soeharto dan Orde Baru gagal total, akibatnya Soeharto harus mundur dari jabatan Presiden ketika itu dan bersamaan dengan itu kekuasaan tirani Orde Baru berakhir.
Karena itu, kedua peristiwa hukum dan oolitik di atas harus dinyatakan sebagai "cikal bakal" Reformasi dan juga sebagai "trigger" (pemicu) lahirnya perlawanan rakyat menuju lahirnya Reformasi pada Mei 1998.
Tumbangnya Orde Baru
Mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998 sekaligus membuat Orde Baru tumbang, membawa perubahan yang fundamental terutama di bidang konstitusi, pembangunan demokrasi dan penegakan hukum.
Hampir semua tuntutan pejuang reformasi dipenuhi melalui pers yang bebas, hapusnya Dwifungsi ABRI, pisahnya TNI dan Polri, pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, TAP MPR melarang KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), termasuk KKN mantan Presiden Soeharto dan kroninya, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus dari UUD 1945, dan adili Soeharto dan kroninya.
Yang menarik, pemerintahan Reformasi (Presiden Gus Dur dan Wapres Megawati) tampil tanpa beban melakukan penindakan terhadap Soeharto dan kroninya atas dugaan KKN menggurita selama Orde Baru, dengan menjadikan Soeharto sebagai tersangka dan terdakwa korupsi.
Soeharto didudukkan sebagai terdakwa guna dimintai pertanggungjawaban pidana atas seluruh KKN yang dilakukannya melalui 7 yayasannya, antara lain Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, dan Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais).
Pertanyaannya, mungkinkah pada saat ini PDIP diperhadapkan pada situasi harus melakukan perlawanan terhadap Presiden atau mantan Presiden Jokowi, setidak-tidaknya meminta pertanggungjawaban pidana atas dugaan korupsi, nepotisme dan penyalahgunaan wewenang lainnya, pasca-lengsernya pada 20 Oktober 2024, sebagaimana pada tahun 1998 PDI Megawati bersama rakyat menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap Soeharto.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia